Suramnya Nasib Negara Miskin Hadapi Perubahan Iklim, COP26 Sia-Sia?
Para peneliti mengatakan, draf dokumen perubahan iklim COP26 lemah pada masalah keuangan yang penting bagi negara-negara miskin, dengan bahasa yang tidak jelas tentang komitmen dan aturan penegakan.
Para peneliti perubahan iklim di COP26 menantang rancangan komunike akhir yang dirilis oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Rabu (10/11), mempertanyakan kemampuannya untuk melindungi planet ini dari kekacauan cuaca yang membawa bencana.
Rancangan tersebut (yang dirilis menjelang hari terakhir negosiasi antara 197 negara pada Jumat (5/11) untuk membatasi perubahan iklim yang tak terkendali) dipuji karena menyoroti perlunya mengakhiri subsidi bahan bakar fosil untuk pertama kalinya, tetapi dikritik karena bahasa yang tidak jelas tentang komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, dan kurangnya ketentuan pertanggungjawaban yang tegas, tulis Al Jazeera.
Alden Meyer, seorang rekan senior di lembaga pemikir iklim Eropa E3G, mencatat pentingnya subsidi bahan bakar fosil yang ditargetkan dalam rancangan tersebut, tetapi menyesalkan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk ditangani.
Dia menunjukkan, mantan Presiden AS Barack Obama mengangkat masalah ini pada 2009 di KTT G20 di negara bagian Pennsylvania.
“Tidak masuk akal 12 tahun setelah Pittsburgh bahwa kita masih membayar uang pembayar pajak dan ratusan miliar dolar per tahun untuk mendorong produksi dan konsumsi bahan bakar fosil,” ucap Meyer.
“Aturan pertama dari kesalahan: Anda berhenti menggali. Dan kami masih menggali lubang lebih dalam dengan membayar orang untuk memproduksi dan menggunakan lebih banyak karbon. Ini gila.”
Aktivis iklim Jennifer Morgan mencatat, itu akan "sampai ke detik-detik terakhir" apakah teks subsidi akan dimasukkan dalam dokumen COP26 final ketika para pemimpin dunia tawar-menawar bahasa.
"Tentu saja Arab Saudi akan bekerja keras untuk tidak memasukkan itu," tutur Morgan. “Teks ini perlu diperkuat, bukan dilemahkan, dan saya pikir Anda akan melihat negara-negara paling rentan di dunia keluar dan hanya berjuang untuk hidup mereka, yang dipertaruhkan di sini.”
'Perubahan transformasional radikal'
Kelompok peneliti Climate Action Tracker mencatat dalam sebuah laporan pada Selasa (9/11) bahwa di bawah janji pengurangan emisi saat ini, suhu global rata-rata akan memanas 2,4C pada tahun 2100, tingkat yang akan menyebabkan malapetaka bagi planet ini.
Emisi perlu dikurangi setengahnya pada 2030 untuk membatasi pemanasan mencapai 1,5C, menurut para ilmuwan iklim. Namun, data terbaru menunjukkan bahwa emisi akan melonjak 13-16 persen selama delapan tahun ke depan.
“Kami tidak membutuhkan langkah-langkah tambahan, kami membutuhkan perubahan transformasional yang radikal, dan itu harus terjadi dalam dua tahun ke depan. Kami kehabisan ruang dan waktu untuk melakukan perubahan yang kami butuhkan,” terang Meyer.
Pengamat iklim mengatakan, dokumen COP26 yang diusulkan juga lemah dalam masalah penting pendanaan iklim, dengan bahasa yang tidak jelas tentang komitmen dan penegakan janji.
Negara-negara maju sepakat satu dekade lalu untuk mendukung negara-negara berkembang dengan US$100 miliar per tahun untuk melindungi mereka dari kerusakan akibat perubahan iklim, dan untuk mengubah ekonomi mereka agar berjalan dengan energi hijau.
'Kepastian' arus keuangan
Tetapi negara-negara kaya (yang sangat bertanggung jawab membanjiri atmosfer dengan emisi berbahaya dan menciptakan keadaan darurat iklim) sejauh ini telah gagal memenuhi janji keuangan tersebut.
Para pemimpin negara berkembang tetap enggan untuk membatasi pembakaran bahan bakar fosil sampai mereka menerima uang dan jaminan untuk langkah-langkah adaptasi iklim serta pengembangan energi terbarukan.
“Anda tidak dapat meminta negara berkembang untuk berkontribusi menjaga 1,5C jika Anda tidak memberikan kepastian bahwa akan ada aliran keuangan yang akan digunakan untuk transisi ini,” tegas Eddy Perez, manajer diplomasi iklim internasional di Climate Action Network Canada.
Dia juga mencatat US$100 miliar per tahun tidak cukup untuk membantu negara-negara berkembang.
“Tidak satu pun dari masalah ini yang dibahas dalam teks (draf) saat ini,” sambung Perez.
Badan Energi Internasional dan Bank Dunia mengatakan, US$850 miliar per tahun dibutuhkan dari negara-negara kaya bagi negara-negara miskin untuk mendekarbonisasi ekonomi mereka.
Para pemimpin Uni Eropa dan Amerika Serikat harus bekerja untuk memastikan komitmen keuangan yang lebih besar diabadikan dalam dokumen akhir yang dihasilkan di Glasgow, sehingga pengurangan emisi yang lebih besar dilakukan, jelas Meyer.
“Mereka semua perlu menjangkau para pemimpin negara berkembang untuk mengajak mereka bergabung. Itu satu-satunya cara untuk mendapatkan paket yang kami butuhkan,” imbuhnya.
“Saya sudah sering melihat rodeo ini. Tampaknya selalu paling gelap sebelum fajar, dan kami berada pada tahap itu dalam proses (negosiasi COP26).”
'Di bawah tekanan'
James Cameron, seorang penasihat independen kepresidenan COP26, mencatat, 197 negara sedang mencoba menyusun bahasa yang dapat diterima semua orang dalam dokumen akhir. Dia mengatakan, "paket" yang saat ini ada di atas meja membutuhkan banyak kompromi oleh negara-negara.
“Teks tersebut, yang menurut saya cukup bagus saat ini, akan mendapat tekanan dalam 24-48 jam ke depan. Dalam beberapa, hal saya sangat berharap apa yang ada sekarang tetap ada dengan satu atau dua penyesuaian,” tutur Cameron kepada Al Jazeera.
Dia menggambarkan draf komunike sebagai “rencana bisnis umum” bagi pemerintah, setelah COP26 berakhir dan para pemimpin kembali ke negaranya. Namun dia mengakui kekurangannya.
“Orang-orang benar untuk menuntut agar pernyataan niat besar itu diterapkan. Teks itu tidak untuk diremehkan, tetapi sama saja, tidak cukup untuk mengatasi masalah,” pungkas Cameron.
- Source : www.matamatapolitik.com