Marak Perkosaan di Luwu Timur Sulsel, Kenapa?
Kasus kejahatan seksual terhadap tiga anak di bawah umur di Malili, Luwu Timur, Sulawesi Selatan oleh ayahnya sendiri dihentikan dengan dalih tidak cukup bukti. Data di Sulsel menunjukkan peningkatan kekerasan seksual, bahkan sebagian besar kurang mendapatkan perlindungan hukum yang layak.
Seorang ibu berinisial RS (41), aparatur sipil negara (ASN) di Kecamatan Malili, Kabupaten Luwu Timur, Provinsi Sulawesi Selatan memboyong tiga anaknya, AL, perempuan (8), MR, laki-laki (6), dan AZ, perempuan (4) ke Polda Sulsel didampingi tim Koalisi Bantuan Hukum Advokasi Kekerasan Seksual Terhadap Anak pada 23 Desember 2020. Mereka melaporkan kasus dugaan pencabulan yang dialami tiga anak itu oleh ayah kandungnya SA (43), juga ASN di Luwu Timur tetapi berbeda instansi dengan RS yang telah diceraikannya beberapa tahun silam.
Laporan lainnya dari Tagar.id menyebutkan SA, ayah ketiga korban sekaligus terduga pelaku merupakan ASN di Inspektorat Pemerintahan Kabupaten Luwu Timur, Sulsel.?
Sebelumnya, dikutip dari Merdeka.com, kasus tersebut telah dilaporkan setahun sebelumnya, tepatnya pada 9 Oktober 2019 ke Polres Luwu Timur. Namun sayangnya, penyelidikan dihentikan karena dianggap tidak cukup bukti setelah dilakukan pemeriksaan kejiwaan dan fisik kepada anak-anak selaku korban maupun ibunya.
Cacat prosedur hukum
Menurut salah satu pengacara koalisi yang mendampingi korban, Haswandy Mas, kasus tersebut ditarik dari Luwu Timur ke Makassar dan langsung dilaporkan ke Polda Sulsel lantaran sejak awal mulai pelaporan hingga visum, sang ibu dan anak-anaknya yang menjadi korban tidak mendapat pendampingan hukum yang layak.
“Setiap anak yang berhadapan dengan hukum baik itu sebagai pelaku apalagi sebagai korban kekerasan seksual harus didampingi pengacara, tapi ini sama sekali tak ada pendampingan. Sehingga, berdampak tidak adanya perspektif perempuan dan anak dalam proses penanganan kasusnya,” tutur Haswandy Mas yang juga menjabat direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar.
Awal Oktober 2019 saat kasus pertama kali dilaporkan ke Polres Luwu Timur, penyidik meminta ke ibu korban agar ada pendampingan. Sang ibu lantas meminta pendampingan ke kantor Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Luwu Timur, meski hasilnya nihil. Penyidik akhirnya menghentikan penyelidikan.
Meski telah dua kali menjalani visum dan hasilnya tidak menyatakan adanya petunjuk kekerasan seksual, RS terus berjuang hingga akhirnya berangkat ke Makassar untuk mencari pendampingan. Dia bersikukuh anaknya telah menjadi korban kekerasan seksual ayahnya sendiri, berdasarkan fakta perubahan fisik dan perilaku anak-anaknya yang dilihatnya sendiri.
“Pertama-tama kita lihat dari tidak adanya pendampingan sehingga kasusnya kita anggap tidak berperspektif perempuan dan anak. Kedua, ibu korban menduga dalam penanganan kasus ini ada intervensi dari SA, ayah korban yang tergolong berpengaruh di daerahnya,” tegas Haswandy.
Berdasarkan hasil reportase di Project Multatuli, disebutkan pada 26 Desember 2019, LBH Makassar bersama RS mendatangi Polda Sulsel dan meminta gelar perkara khusus atas penghentian penyelidikan di Polres Luwu Timur. Dalam surat itu dilampirkan foto-foto luka pada anus dan vagina ketiga anak.
Awal tahun berikutnya, pada 10 dan 13 Februari 2020, tim hukum mengajukan surat gelar perkara tetapi tidak direspons. Pada 19 Februari, Kabid Humas Polda Sulawesi Selatan Kombes Pol Ibrahim Tompo malah menyampaikan ke media kalau mereka telah “melaksanakan gelar perkara internal” dan penghentian penyelidikan disebutnya sudah sah dan sesuai prosedur.
5 Maret, Polda Sulsel secara mendadak mengabarkan ke LBH Makassar, gelar perkara khusus akan dilakukan pada 6 Maret pukul 1 siang di kantor Polda. Kabar mendadak itu membuat penasihat hukum kelimpungan dan tak siap.
“Waktunya sangat singkat untuk persiapan,” keluh Rezky Pratiwi dari LBH Makassar. “Psikolog anak yang mendampingi korban sejak awal tidak dapat hadir karena benturan kegiatan.”
Selanjutnya pada 14 April, hasil gelar perkara menyebutkan Polda Sulsel merekomendasi Polres Luwu Timur untuk tetap menghentikan proses penyelidikan atas laporan kekerasan seksual tersebut.
Kabid Humas Polda Sulsel Kombes Pol Ibrahim Tompo mengatakan, berdasarkan hasil pemeriksaan penyidik di Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditkrimum), tidak ditemukan adanya tindak pidana pencabulan terhadap tiga bersaudara AL (8), MR (6), dan AL (4) sehingga penyelidikan diberhentikan sementara sampai ditemukan bukti kuat, Tagar.id melaporkan.
“Belum ada penetapan tersangka pada proses sidik tersebut. Namun saat pendalaman kejadiannya ditemukan bahwa tidak ada bukti yang dapat mendukung tentang terjadinya kejadian tersebut,” papar Ibrahim kepada Tagar.id pada 31 Januari 2020.
Usai masuknya laporan awal, petugas saat itu lkonon angsung melakukan penyelidikan dan memeriksa sejumlah saksi hingga Visum Et Repertum terhadap ketiga korban di Puskesmas Malili, Luwu Timur maupun pemeriksaan Visum Et Repertum di RS Bhayangkara Polda Sulsel.
“Di Pusat Pelayanan Kota Makassar, psikolog anak yang memeriksa anak-anak meyakini terjadi kekerasan seksual,” tutur Rezky Pratiwi dari LBH Makassar.
Kepada reportase Project Multatuli, Pratiwi menyebut proses penyelidikan Polres Luwu Timur sudah mengalami kecacatan prosedur sejak visum pertama hingga pengambilan keterangan setiap anak. Anak-anak seharusnya didampingi oleh orang tua serta pendamping hukum, pekerja sosial, atau pendamping lain sebagaimana mandat dalam Undang-Undang 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Faktanya, Polres Luwu Timur sangat tidak profesional karena malah fokus kepada ibu yang diduga bermotif lain. Ibu korban justru diperiksa psikiater dengan prosedurnya tidak layak. Keterangan terhadap anak tidak didalami dan tidak dilakukan pemeriksaan saksi lain untuk menemukan petunjuk-petunjuk baru. Misalnya, keterangan tetangga atau orang yang mengenal mereka,” kata Pratiwi.
Saat polisi menerima laporan RS sang ibu korban pada 9 Oktober 2019, seorang petugas polisi perempuan mengantarkan ketiga anaknya ke sebuah puskesmas untuk divisum tanpa pendampingan. Ketiga korban lantas dimintai keterangan oleh penyidik berseragam tanpa didampingi sang ibu, penasihat hukum, pekerja sosial, ataupun psikolog.
Terlebih, RS juga diminta menandatangani berita acara pemeriksaan (BAP) tetapi dilarang membacanya terlebih dulu. Sang ibu pun menyesali telah tergesa membubuhkan tanda tangan karena terdesak waktu dan paksaan penyidik, usai ia diinterogasi penyidik tanpa didampingi penasihat hukum.
Belakangan, dilansir dari Tagar.id, kasusnya dihentikan dengan bukti adanya SP2HP A2 (surat pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan belum dapat ditindaklanjuti ke penyidikan) kepada pelapor, dengan dalih alat bukti yang tidak kuat.
Maraknya kekerasaan seksual di Luwu Sulsel
Tribun News mencatat, sebanyak 13 kasus kekerasan seksual terjadi di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan selama periode Januari-Juni 2020. Jumlah itu diketahui lewat data yang dirilis Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Luwu.
Kepala DP3A Luwu Buhari menuturkan, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2017, terjadi 53 kasus kekerasan fisik dan 18 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Tahun 2018, terjadi 41 kasus kekerasan fisik dan 28 kasus kekerasan seksual.
Pada 2019, ada 49 kasus kekerasan fisik perempuan dan anak, 8 kasus KDRT, 10 kasus kekerasan psikis, 32 kasus kekerasan seksual, dan 4 kasus penelantaran. Sementara itu, hingga Juni 2020 tercatat 13 kasus kekerasan seksual,
Secara umum, kasus pemerkosaan terhadap anak terus meningkat di Sulsel.
Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Sulsel Titin Sutarti menjelaskan, data lembaga perlindungan anak (LPA) daerah menunjukkan sekitar 82 persen pelaku kekerasan terhadap anak ialah orang terdekat korban.
Meski dari data yang dihimpun LPA maupun dinas sosial angka kekerasan anak menurun, jumlah kasus kekerasan seksual terhadap anak dan terutama perempuan justru meningkat. Berdasarkan data LPA tahun 2010, terjadi 82 kasus kekerasan seksual.
Dari jumlah itu, kasus inses (hubungan seksual dalam keluarga) dan perkosaan anak meningkat. Pada 2010, terdapat delapan kasus inses dengan korban anak dengan pelaku ayah kandung, paman, hingga kakek. Sedangkan, angka kekerasan fisik mengalami penurunan, meski kasusnya justru terjadi di sekolah dan rumah tangga.
Kurangnya perspektif korban di kalangan aparat
Berdasarkan Catatan Akhir Tahun 2014 LBH Makassar bertajuk “Anomali Penegakan Hukum dan HAM di Sulsel”, pengalaman Advokat Publik LBH Makassar selama 2014 dalam melakukan pendampingan hukum kepada korban kekerasan seksual menunjukkan bahwa aparat penegak hukum Penyidik Kepolisian dan Jaksa Penuntut Umum di semua tingkatan tidak memiliki perspektif perlindungan korban.?
LBH Makassar menemukan, korban dan keluarga mendapatkan stigma dari lingkungan tempat tinggal karena adanya pemberitaan di media cetak yang tidak melindungi privasi anak sebagaimana diatur dalam Undang-undang Perlindungan Anak. Meski pemberitaan di media massa hanya menyebutkan inisial nama anak, nama sekolah dan kelasnya sama sekali tidak disamarkan sehingga pemberitaan tersebut menimbulkan penderitaan psikis bagi korban dan keluarga korban. Hal tersebut jelas melanggar Pasal 64 Undang-Undang nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Sementara itu dalam kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), aparat penegak hukum sulit menjerat pelaku kekerasan yang tidak lain kebanyakan adalah suami pelapor. Polisi selalu beralasan tidak cukup alat bukti penganiayaaan karena penyidik selalu mencari alat bukti visum untuk menjerat pelaku kekerasan KDRT, sementara bagi mayoritas korban KDRT, antara waktu pengaduan dan terjadinya peristiwa penganiayaan sudah berlangsung lama sehingga bukti visum jarang ditemukan. Ujungnya, aparat pun menyarankan korban untuk rujuk dengan pelaku.
- Source : www.matamatapolitik.com