www.zejournal.mobi
Minggu, 22 Desember 2024

Penebang Kayu Indonesia Bersertifikat, RIP Habitat Orangutan

Penulis : Aziza Larasati | Editor : Anty | Rabu, 19 Mei 2021 14:38

Sebuah perusahaan Indonesia yang memiliki hubungan dengan konglomerat Jepang, telah membuka sebagian besar hutan hujan, termasuk habitat orangutan yang terancam punah, menurut sebuah laporan.

Perusahaan tersebut, Alas Kusuma, diduga menebangi 6.000 hektar hutan antara 2016 hingga Maret 2021, melalui anak perusahaan penebangannya, PT Mayawana Persada, di bagian barat Kalimantan, ungkap konsultan penelitian Aidenvironment dalam laporannya.

Pada 2020 saja, Mayawana Persada menebangi 2.800 hektar hutan, menjadikan Alas Kusuma penggundul hutan terbesar kedua di sektor pulp dan kertas Indonesia, ungkap Aidenvironment.

Kajian populasi orangutan dan kelayakan habitat yang dilakukan oleh sekelompok ilmuwan ahli pada 2016, mengidentifikasi sebagian besar area yang dibuka sebagai habitat orangutan.

Mayawana Persada membantah tuduhan tersebut.

“Tidak ada aktivitas deforestasi di habitat orangutan oleh PT Mayawana Persada,” ujar perusahaan tersebut kepada Mongabay melalui email.

“Hal ini terlihat dari peta kerja perusahaan dan aktivitas perusahaan di lapangan, yang telah memperhitungkan hasil studi orangutan dan kawasan dengan nilai konservasi tinggi.”

Mayawana Persada mengatakan, studi tersebut dilakukan oleh sebuah konsultan bernama Ecology and Conservation Center for Tropical Studies (Ecositrop).

“Kajian itu untuk meminimalkan dampak hutan tanaman industri terhadap populasi orangutan di konsesi PT Mayawana Persada,” terang perusahaan itu.

Namun, Aidenvironment mengatakan, sedikit informasi yang tersedia tentang upaya konservasi apa pun, dan kelompok tersebut juga tampaknya tidak memiliki kebijakan “tanpa deforestasi, tanpa gambut, dan tanpa eksploitasi” (NDPE).

Mayawana Persada mengatakan pihaknya mematuhi hukum dan peraturan Indonesia dalam mengelola konsesinya.

Namun, Aidenvironment mengatakan sedikit informasi yang tersedia tentang upaya konservasi apa pun, dan kelompok tersebut juga tampaknya tidak memiliki kebijakan “tanpa deforestasi, tanpa gambut, dan tanpa eksploitasi” (NDPE).

Mayawana Persada mengatakan, pihaknya mematuhi hukum dan peraturan Indonesia dalam mengelola konsesinya.

“Selama ini, PT Mayawana Persada tidak pernah melakukan pelanggaran atau menerima pengaduan dari pemerintah atas isu-isu tersebut (deforestasi),” ujar perusahaan itu, dikutip Mongabay.

Bayi orangutan diselamatkan dari hutan yang hancur oleh kebakaran hutan di Sungai Mangkutub, Kalimantan Tengah, Indonesia. (Foto: AFP)

KURANGNYA TRANSPARANSI

Aidenvironment juga mengkritik Alas Kusuma (yang memiliki konsesi penebangan, pohon industri, dan kelapa sawit) atas kurangnya transparansi.

“Meskipun menjadi penggundul hutan terbesar kedua untuk pulp dan kertas pada 2020, meneliti Alas Kusuma merupakan tantangan karena begitu sedikit yang diketahui tentang perusahaan tersebut,” direktur program Aidenvironment Asia Chris Wiggs mengatakan kepada Mongabay.

Dalam penilaian SPOTT terbaru yang menilai transparansi antar-perusahaan komoditas, Alas Kusuma mendapatkan skor rendah 10,6%.

“Perusahaan itu tidak memiliki situs web atau jenis kebijakan keberlanjutan publik apa pun,” terang Wiggs. “Dan kurangnya transparansi secara umum atas operasinya, mempersulit untuk mengidentifikasi rantai pasokannya, terutama di sektor minyak sawit.”

Meski dirahasiakan, Aidenvironment dapat mengidentifikasi mitra dagang Alas Kusuma. Grup ini terkenal dengan bisnis kayu lapisnya, dengan sebagian besar ekspornya ke perusahaan Jepang Sumitomo Forestry (10.500 ton) dan ITOCHU Corporation (9.200 ton), selama sembilan bulan pertama 2020, menurut data perdagangan Indonesia.

Alas Kusuma memiliki 455.000 hektar konsesi penebangan di provinsi Kalimantan Barat dan Tengah, dan kedua anak perusahaan penebangannya, PT Sari Bumi Kusuma dan PT Suka Jaya Makmur, memegang sertifikat Forest Stewardship Council (FSC).

Menanggapi laporan tersebut, Sumitomo Forestry membenarkan telah membeli 10.500 ton kayu lapis dari Alas Kusuma pada 2020.

“Namun, di lokasi produksi Alas Kusuma tempat kami membeli kayu lapis, kayu gelondongan hanya berasal dari dua konsesi penebangan yang memiliki sertifikasi FSC FM: PT Sari Bumi Kusuma dan PT Suka Jaya Makmur,” Yuuko Iizuka, manajer umum di departemen keberlanjutan Sumitomo Forestry mengatakan kepada Mongabay.

Dari kayu lapis yang bersumber dari Alas Kusuma, sekitar 70% sudah bersertifikat FSC, tambahnya.

“Dan sisanya tidak dijual sebagai produk FSC, bahan bakunya dari konsesi bersertifikat FSC FM dan ini sejalan dengan kebijakan pengadaan kami,” tambah Iizuka.

FSC telah dikritik di masa lalu karena mengizinkan perusahaan bersertifikat untuk terus terlibat dalam deforestasi dan pelanggaran hak asasi manusia. Di Indonesia, beberapa pemasok kayu lapis, seperti Hardaya, saat ini bersertifikat FSC, namun Aidenvironment mendeteksi deforestasi dalam operasi mereka antara 2016 hingga 2020.

Sumitomo Forestry juga dikritik pada 2018 karena secara tidak langsung membeli kayu lapis dari perusahaan perkebunan, PT Tunas Alam Nusantara, yang telah membuka habitat orangutan di provinsi Kalimantan Timur.

Iizuka mengatakan, Sumitomo Forestry telah memperkenalkan tujuan untuk tidak mendapatkan kayu dan produk kayu yang berkontribusi terhadap deforestasi pada 2019, dengan salah satu inisiatif untuk menghilangkan apa yang disebut “kayu konversi” dari rantai pasokannya.

Kayu konversi adalah kayu tua yang ditebang oleh perusahaan perkebunan (biasanya petani kelapa sawit) sebelum penanaman. Sumber kayu yang lebih umum adalah pohon yang ditanam khusus untuk ditebang, biasanya akasia dan kayu putih.

“Dan kami berdagang sesuai pedoman pengadaan internal kami, dengan melakukan uji tuntas yang ketat untuk memastikan bahwa pengadaan dilakukan secara berkelanjutan, dengan pertimbangan kepatuhan hukum, hak asasi manusia, praktik perburuhan, konservasi keanekaragaman hayati, dan masyarakat lokal,” tambah Iizuka.

ITOCHU Corporation tidak menanggapi permintaan komentar Mongabay.


Berita Lainnya :

Alas Kusuma juga memiliki jejak yang signifikan dalam industri kelapa sawit, dengan perkiraan 12.400 hektar perkebunan kelapa sawit. Bisnis kelapa sawitnya di Kalimantan Barat telah dikaitkan dengan deforestasi, melalui laporan Greenpeace pada 2015 serta Aidenvironment dan Mighty Earth pada 2018 dan 2020.

Mungkin juga buah sawit yang ditanam dan dipanen di lahan gundul ini berakhir di rantai pasokan penyuling minyak sawit utama Indonesia, karena tidak diketahui pabrik kelapa sawit mana yang membeli dari Alas Kusuma, menurut Aidenvironment.

“Temuan di Alas Kusuma menunjukkan perlunya perusahaan utama mengadopsi kebijakan NDPE lintas komoditas, karena mitra bisnis di satu sektor dapat melanjutkan deforestasi mereka di sektor lain,” papar LSM itu.

Wiggs dari Aidenvironment mengatakan, dia terkejut bahwa perusahaan dengan cadangan lahan yang begitu signifikan seperti Alas Kusuma, dan jejak di dua sektor pertanian paling terkenal, kayu lapis dan minyak sawit, belum menghadapi pemeriksaan lebih lanjut, terutama karena memiliki sertifikat FSC dan tautan dengan perusahaan Jepang.

“Ini menunjukkan bagaimana beberapa perusahaan di Indonesia masih beroperasi di bawah pengawasan kecil, dan betapa pentingnya untuk terus memantau sektor pertanian ini,” tegasnya kepada Mongabay.


Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar