Rusia Taruhan Dukung Militer Myanmar, Apa Alasannya?
Pada 1 Februari 2021, junta militer Myanmar mengumumkan keadaan darurat dan merebut kekuasaan dari pemerintah sipil yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi. Kudeta tersebut segera menciptakan krisis politik dan mengakibatkan pertumpahan darah massal, tetapi tanggapan internasional masih terpecah-pecah.
Sementara Barat yang dipimpin AS dan sekutu utamanya di Asia seperti Jepang dan Korea Selatan mengecam kudeta dan menjatuhkan sanksi pada junta, kekuatan utama lainnya lebih ambigu.
Di Dewan Keamanan PBB, China, India, dan Rusia telah melakukan upaya untuk melindungi para pelaku dari kecaman yang lebih keras dan potensi sanksi PBB, lapor East Asia Forum.
Sejak awal, Rusia telah menolak untuk mengutuk kudeta tersebut, di mana Kementerian Luar Negeri Rusia hanya mengungkapkan harapan untuk ‘penyelesaian damai situasi melalui dimulainya kembali dialog politik’.
Dalam pernyataan yang sama, Moskow mencatat sebagai tanda yang menggembirakan bahwa militer bermaksud mengadakan pemilihan parlemen baru. Kantor berita milik negara Rusia RIA Novosti membenarkan kudeta tersebut, dengan menyatakan bahwa tentara Myanmar, Tatmadaw, adalah satu-satunya penjamin persatuan dan perdamaian negara multi-etnis itu.
Bukti paling kuat dari dukungan Rusia untuk junta Myanmar terjadi pada akhir Maret, ketika Wakil Menteri Pertahanan Rusia Alexander Fomin menjadi pejabat asing berpangkat tertinggi yang menghadiri parade Hari Angkatan Bersenjata Myanmar di ibu kota Naypyidaw.
Saat militer menindak keras para pengunjuk rasa, Fomin mengadakan pembicaraan dengan pemimpin junta Jenderal Senior Min Aung Hlaing. Dia menyebut Myanmar sebagai ‘sekutu dan mitra strategis Rusia yang dapat diandalkan di Asia Tenggara dan Asia Pasifik’, dan menekankan bahwa Moskow ‘mengikuti jalur strategis untuk meningkatkan hubungan antara kedua negara’.
Ada beberapa alasan mengapa Rusia muncul sebagai pendukung pemerintah militer Myanmar yang paling terkenal, Artyom Lukin dan Andrey Gubin menerangkan di East Asia Forum.
Hubungan dekat Moskow dengan Myanmar dimulai pada 1950-an. Mengingat sebagian besar sejarah modern Myanmar telah diperintah oleh militer, Rusia telah mengembangkan hubungan kerja dengan para penguasa berseragamnya.
Jenderal kuat petahana Min Aung Hlaing telah mengunjungi Rusia dalam banyak kesempatan, terakhir pada Juni 2020, untuk menghadiri parade Hari Kemenangan di Moskow, dan dikenal sebagai pentolan hubungan Myanmar-Rusia.
Di bawah Min Aung Hlaing, kerja sama militer Myanmar-Rusia semakin meningkat. Setelah China, Rusia adalah pemasok senjata terbesar kedua di negara itu, menjadi sumber setidaknya 16 persen persenjataan yang diperoleh Myanmar dari 2014-2019.
Militer Myanmar sekarang menunggu pengiriman enam jet tempur Su-30 yang dipesan pada 2019, dan pada Januari 2021, kedua pihak menandatangani kontrak untuk sistem pertahanan udara Rusia dan serangkaian drone pengintai, catat Artyom Lukin dan Andrey Gubin.
Ribuan perwira militer Myanmar juga telah menerima pelatihan di akademi militer Rusia. Yang menarik, panglima tertinggi Myanmar tersebut memiliki akun resmi di jejaring sosial VK Rusia, sementara dilarang dari Facebook dan Twitter.
Bukan kebetulan bahwa lawan bicara utama Kremlin dengan Myanmar adalah Menteri Pertahanan Rusia Sergey Shoigu, yang kebetulan mengunjungi negara itu hanya beberapa hari sebelum kudeta 1 Februari.
Mengingat hubungan jangka panjang dan menguntungkan dengan militer Myanmar ini, masuk akal bahwa Rusia tidak akan mengutuk kudeta tersebut, apalagi memberikan sanksi kepada junta Myanmar, Artyom Lukin dan Andrey Gubin menekankan.
Presiden Rusia Vladimir Putin tidak pernah dikenal karena simpatinya terhadap gerakan pro-demokrasi yang didukung oleh Barat, dan Kremlin hampir tidak melihat Aung Sang Suu Kyi yang berpendidikan Inggris (yang kedua putranya berkewarganegaraan Inggris) sebagai alternatif yang diinginkan untuk penguasa berseragam.
Dukungan Moskow untuk kediktatoran militer dapat merusak reputasi internasionalnya, tetapi dengan apa yang telah terjadi antara Putin dan Barat, Kremlin hampir tidak peduli dengan kejatuhan reputasinya gara-gara Myanmar.
Dalam mempertahankan sikapnya terhadap Myanmar, Rusia juga dapat menunjukkan kemunafikan Barat. Negara tetangganya, Thailand, diperintah oleh para jenderal dengan kredensial demokrasi yang meragukan, tetapi negara itu tetap mendapat tanggapan baik Barat karena menjadi ‘sekutu perjanjian’ Amerika Serikat.
Tidak jelas sejauh mana Moskow akan mengoordinasikan kebijakan Myanmar dengan Beijing, mitra strategis utama Rusia dan sesama otokrasi. Pemerintah China telah menahan diri untuk tidak mengutuk pengambilalihan militer, tetapi dibandingkan dengan Rusia, China secara mencolok kurang mendukung. Hubungan China dengan Tatmadaw selalu rumit, dan Beijing hampir tidak senang dengan kudeta tersebut.
Sementara hubungan Moskow dengan Myanmar sebagian besar terbatas pada hubungan militer-ke-militer, dengan sedikit interaksi sosial dan ekonomi, hubungan China dengan tetangga selatannya itu lebih multi-dimensi. Beijing tidak mampu memusuhi segmen pro-demokrasi dari populasi Myanmar, sehingga perlu mengadopsi pendekatan yang lebih kompleks.
Moskow dan Beijing kemungkinan besar membahas situasi di Myanmar, tetapi strategi mereka berbeda. Rusia didorong oleh keinginan untuk mempertahankan kontrak militer yang menguntungkan, dan mungkin mendapatkan pijakan di Samudra Hindia. Sebaliknya, Beijing dipandu oleh kepentingan strategis jangka panjang yang ditentukan oleh kedekatan Myanmar dengan provinsi Yunnan di China.
Melihat dirinya sebagai kekuatan besar global, Rusia memiliki kepentingan dalam mempertahankan keberadaan strategis di Myanmar, negara yang secara geopolitik penting di Indo-Pasifik. Untuk mempertahankan dan memperluas hubungan Rusia dengan Myanmar, Kremlin mengandalkan para jenderal. Masih harus dilihat apakah perhitungan Moskow adalah keputusan yang benar, Artyom Lukin dan Andrey Gubin menyimpulkan.
- Source : www.matamatapolitik.com