Tak Lagi Perang Urat Saraf, Turki-Mesir Mulai Berdamai
Dua kekuatan saingan ini mengeksplorasi kepentingan bersama di tengah penataan kembali aliansi di antara negara-negara kawasan Mediterania.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan sering melontarkan kritiknya terhadap Presiden Mesir Abdel Fattah Al-Sisi. Erdogan pernah menyebut Al-Sisi sebagai tiran tidak sah pada 2014 dan mengatakan dia adalah seseorang yang tidak akan pernah dia ajak bicara hingga tahun 2019.
Hubungan Kairo dan Ankara telah memburuk sejak 2013, ketika pasukan Al-Sisi menggulingkan mantan presiden Mohammed Morsi dan pemerintahan Ikhwanul Musliminnya.
Sejak itu, Turki dan Mesir menjadi pihak yang berseberangan dalam konflik di Libia, sementara pada 2017 Kairo bergabung dengan Arab Saudi, UEA, dan Bahrain untuk memblokir sekutu Turki, Qatar.
Sejak penggulingan sekutu dekat Erdogan, Morsi, Turki telah menjadi tempat berlindung yang aman bagi kelompok-kelompok oposisi Mesir, yang telah berulang kali menyerukan penggulingan Al-Sisi dengan restu Erdogan.
Sementara itu, pemerintah Mesir menuduh Turki menyembunyikan teroris dan secara aktif mendukung kelompok jihadis di gurun Sinai yang memerangi militer Mesir.
Semua retorika itu mungkin akan segera berakhir.
Penasihat kebijakan luar negeri Erdogan, Ibrahim Kalin, mengatakan bulan lalu, “halaman baru hubungan kita dengan Mesir akan dibuka.”
Pada 20 April, Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mengumumkan dia telah mengirim ucapan selamat Ramadan ke nomor Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shoukry.
Alhasil, wakil menteri luar negeri Mesir dan Turki dijadwalkan bertemu pada awal Mei. Sementara itu, tanda-tanda lain dari pemulihan hubungan antara rival sejarah ini telah muncul.
Pada 20 April, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) Erdogan mengusulkan pembentukan kelompok persahabatan Mesir-Turki di parlemen Turki.
Ini menyusul tekanan dari pemerintah Turki terhadap media oposisi Mesir yang berbasis di Turki, yang telah diminta untuk memotong kritik mereka terhadap Al-Sisi.
Hal ini menyebabkan stasiun TV oposisi yang berbasis di Istanbul, al-Sharq dan Mekameleen, menangguhkan program utama mereka minggu lalu.
Sebaliknya, pihak berwenang Mesir mengatakan mereka membebaskan beberapa jurnalis dan aktivis pro-Ikhwanul Muslimin dari penjara.
“Pendulum tengah berayun,” kata Muzaffer Senel, dari Departemen Politik dan Hubungan Internasional di Universitas Medipol Ankara, kepada Asia Times. Tidak ada pihak yang ingin kehilangan momen ini.
KEPENTINGAN YANG MENYATU
Pergeseran baru-baru ini menggarisbawahi pemulihan besar dalam hubungan di seluruh kawasan.
Ini berlangsung dari akhir blokade ‘Kuartet Arab’ di Qatar pada Januari hingga pertemuan minggu ini di Baghdad antara pejabat Saudi dan Iran.
Untuk Turki dan Mesir, perbaikan hubungan mereka dimulai di Libia, di mana konflik membawa keduanya ke ambang konfrontasi langsung pada 2019-2020.
Turki sangat mendukung Government of National Accord (GNA) yang diakui secara internasional di Tripoli, sementara Mesir mendukung pemerintahan saingan di Libia Timur dan pasukannya, Libian National Army (LNA), yang dipimpin oleh Jenderal Khalifa Haftar.
Namun, “Mesir selalu sangat pragmatis terhadap Libia,” ujar Claudia Gazzini dari International Crisis Group, kepada Asia Times. “Mereka akan berurusan dengan siapa pun di Libia yang dapat mengontrol wilayah itu.”
Kekhawatiran Mesir terutama adalah kemungkinan kelompok jihadis menggunakan Libia sebagai pangkalan dan menyusup ke Mesir melintasi perbatasan gurun yang luas.
Berakhirnya konflik secara permanen tampaknya memiliki lebih banyak peluang untuk menghentikan infiltrasi semacam itu daripada dukungan berkelanjutan untuk solusi militer Haftar.
Keberhasilan baru-baru ini dengan proses perdamaian yang didukung PBB di Libia mengonfirmasi pendekatan ini sambil membawa Kairo dan Ankara ke halaman yang sama. Keduanya kini mendukung pemerintahan sementara Perdana Menteri Abdel Dbeibah.
URUSAN MARITIM
Ada alasan khusus bagi Turki untuk menjalin hubungan sekarang. “Pertama, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE),” kata Senel.
Di Mediterania Timur, bagaimanapun, luas ZEE diperdebatkan secara luas, dengan Turki mengklaim zona-zona tertentu yang juga diklaim oleh tetangganya Yunani dan Siprus.
Hal ini telah menyebabkan sejumlah insiden dalam beberapa tahun terakhir, seiring Yunani, Siprus, dan Turki berselisih mengenai hak eksplorasi dan pengeboran untuk gas alam lepas pantai.
Pada akhir 2019, Turki dan GNA Libia menandatangani perjanjian yang menjelaskan batas maritim mereka. Namun perjanjian itu disengketakan oleh Yunani dan Siprus.
Mesir dan Yunani kemudian juga menyepakati batas maritim, meskipun kesepakatan ini mengecualikan wilayah yang juga diklaim oleh Turki.
Sementara itu, Mesir, Israel, Siprus, dan Yunani telah beberapa kali bertemu untuk membahas kerja sama di laut, membentuk EastMed Gas Forum yang berbasis di Kairo untuk melakukan hal tersebut.
Kerja sama ini suatu hari nanti mungkin melibatkan jalur pipa yang membawa gas alam Israel, Siprus, dan Mesir ke Eropa. Namun rute seperti itu kemungkinan akan melintasi wilayah maritim yang diklaim oleh Turki.
Oleh karena itu, perselisihan besar antara klaim dan kepentingan yang tumpang tindih telah terjadi, dan inilah yang diharapkan Ankara, pemulihan hubungan dengan Mesir dapat menguntungkannya.
“Turki perlu menandatangani kesepakatan ZEE dengan Mesir. Langkah itu kemudian berdampak positif pada masalah ZEE lebih lanjut,” kata Senol.
Ankara telah menyarankan, di bawah kesepakatan ZEE dengan Turki, Mesir akan diberikan lebih banyak dari Mediterania Timur daripada yang telah disepakati dengan Yunani.
Pengaturan seperti itu juga akan membantu tujuan lain Ankara: memutus kemitraan yang berkembang antara Yunani, Siprus, Mesir, dan Israel.
Pengelompokan ini juga telah menyaksikan peningkatan partisipasi UEA dalam beberapa bulan terakhir. Ini menjadi kekhawatiran tambahan untuk Ankara, yang berdiri di kamp yang berlawanan dengan Abu Dhabi di seluruh dunia Arab.
KONSEKUENSI DAN KEUNTUNGAN
Namun, bagi Mesir, manfaat pemulihan hubungan mungkin kurang jelas.
“Turki adalah pihak yang memulai semua ini,” Sami Hamdi, direktur pelaksana konsultasi risiko global The International Interest, mengatakan kepada Asia Times.
“Mesir enggan untuk terlibat dan sangat lamban dalam melakukannya. Intinya, Mesir tidak mempercayai Turki.”
Untuk mencoba dan mengatasinya, Ankara telah menangani salah satu keluhan lama Mesir: surga media oposisi Mesir di Istanbul.
Namun, Al-Sisi kemungkinan besar menginginkan lebih.
“Karena Erdogan-lah yang menolak untuk bertemu Sisi dan yang menunjukkan kebenciannya di depan umum,” ujar Hamdi, “Sisi mungkin ingin mempermalukan Erdogan dan mewajibkan dia untuk menemuinya dan menjabat tangannya.”
Erdogan akan sangat enggan melakukan itu. Sejauh ini, ia telah mendelegasikan kontak dengan Mesir ke kementerian luar negerinya.
Pertemuan semacam itu mungkin juga akan merusak status quo di kawasan itu.
“Alasan mengapa negara-negara seperti UEA memiliki masalah dengan Erdogan adalah retorika pro-Islamisnya, dukungan populernya untuk perubahan di dunia Arab, memberi Turki ‘kekuatan lunak’ di kawasan itu,” jelas Hamdi.
“Bagi Erdogan, berputar balik di depan umum dan menempatkan kepentingan nasional Turki di atas aspirasi demokratis kawasan akan memberikan pukulan berat baginya dan semua ‘kekuatan lunak’ itu.”
- Source : www.matamatapolitik.com