AHY yang Malang, Menanggung Dosa Besar SBY
Membahas tentang demokrat maka tak pernah lepas dengan AHY karena AHY adalah ketua umumnya, membahas tentang demokrat juga tidak lepas dengan SBY karena dia adalah baureksonya (penunggunya dalam artian ghaib). Namun jika kita flashback ke masa sebelum era ini, demokrat bukan hanya sekadar tentang AHY dan SBY.
Demokrat juga bukan hanya tentang AHY versus Moeldoko. Demokrat ini juga tentang Marzuki Alie, demokrat juga tentang Anas Urbaningrum, demokrat juga tentang Andi Malarangeng, Angelina Sondakh, Nazarudin, bahkan almarhumah Ani Yudhoyono dan masih banyak yang lainnya karena sebuah partai bisa jadi menonjolkan satu brand tokoh. Tetapi membangunnya tidak hanya dengan tetesan keringat 1-2 tokoh saja tentunya ada puluhan, ratusan, ribuan keringat yang bercucuran di dalamnya.
Berkali-kali saya mengatakan dalam tulisan, bahkan 2017 lalu saya sempat mengatakan bahwa demokrat era AHY tidak akan bertahan lama karena keroposnya dasar bangunan yang ada. Seperti halnya tahun 2017 saya pernah mengatakan bahwa kemenangan Anies Baswedan di pemilihan gubernur DKI menjadi jalan utama kegagalan Prabowo. Dan keduanya terbukti.
Masa depan amat sangat dipengaruhi dengan masa sekarang, dan masa sekarang amat dipengaruhi dengan masa lampau. Tanpa harus membahas sunatullah/hukum Allah pun masa depan seseorang bisa sedikit ditebak jika kita mencoba menerka apa saja yang dia lakukan pada masa lampau.
Jokowi takkan mungkin jadi presiden RI tanpa mencalonkan diri jadi gubernur, takkan mungkin jadi gubernur jika sebelumnya tidak tenar dan viral dengan kesuksesannya di Solo. Pun sama dengan anaknya Gibran, diakui atau tidak nama Jokowi cukup berpengaruh dengan keterpilihan Gibran di Solo. Tak ada satupun pengamat politik yang bisa membantah itu. Tetapi tanpa disertai pendidikan yang jelas, karier bisnis yang mumpuni keterpilihan Gibran pun rasanya menjadi berat.
Kita masih ingat Gibran berkali-kali mengatakan takkan dahulu terjun ke politik 2014-2019 silam. Dia juga mengatakan takkan mau menggunakan fasilitas negara, bisnisnya sama ASN juga dipisahkan secara rapat. Entah itu by desain atau tidak, disengaja atau tidak secara tidak langsung itu adalah sebuah brand yang dibangun Gibran. Dan itu terbukti laku di pasar. Sosok anak presiden yang mandiri, yang merakyat, yang sukses tanpa proyek bapaknya dan sebagainya. Itu adalah hasil dari masa lalu yang dia bangun.
Kita masukkan studi kasus tersebut terhadap kasus yang sedang menggerogoti SBY. Kita mulai dengan ucapan Marzuki Alie beberapa saat yang lalu tentang Megawati yang kecolongan kedua kali oleh SBY. Pertama SBY yang mengundurkan diri dari jabatan menteri dan mencalonkan diri jadi calon presiden, sekaligus mengandeng Jusuf Kalla yang ikut mengundurkan diri jadi menteri yang kemudian bersama SBY maju pemilihan umum menjadi wakil presiden.
Ini adalah teknik mencuri tingkat kelas kakap, halus, senyap dan begitu jenius. Tarikan anak panah dari busurnya cukup satu kali hentakan maka target langsung kena. Secara strategi benar-benar meniru seorang militer yang identik ahli strategi. Tetapi secara moral meniru anak-anak ABG yang mahir di tikungan untuk merebut pacar kawannya.
Belum usai kisah SBY mencuri dua kali dari Megawati muncul lagi cerita soal SBY yang mencuri partai demokrat dari Anas Urbaningrum. Ungkapan ini dimunculkan oleh Sri Mulyono seorang loyalis Anas yang baru-baru ini di up oleh Jhoni Allen mantan politisi demokrat yang dipecat. Mereka berdua memiliki pandangan bahwa SBY lah pencuri sesungguhnya yang mencuri demokrat dari Anas Urbaningrum. Dan SBY adalah justru pelopor utama yang memulai era KLB di tubuh di demokrat.
Sebenarnya secara teori politik pada umumnya, apalagi kiblat politikus kita di Indonesia ini sebagian besar adalah machiavellin maka mencuri itu hal sangat lumrah yang penting kekuasaan. Jadi saya pribadi juga tidak percaya dosa yang dilakukan SBY ini tidak pernah dilakukan Megawati, Jusuf Kallah, Wiranto, Ahok bahkan Presiden Jokowi sekalipun. Yang membedakan Cuma kadar mencurinya, dan apakah ada alasan kuat dibaliknya. Entah itu alasan demi ambisi pribadi atau hitung-hitungan matang demi bangsa Indonesia.
Jika menilik dari kasus di atas, seharusnya AHY tidak marah-marah ke Moeldoko terlepas di mata saya pribadi yang dilakukan Moeldoko juga tidak etis karena akan menjadi contoh buruk bagi generasi berikutnya. AHY dan istrinya Annisa Pohan tidak semestinya marah atau menuding Moeldoko dan kroni-kroninya sebagai pengkhianat yang menjadi pelopor kudeta partai demokrat. Seharusnya AHY sebagai seorang anak yang berkali-kali mengatakan bahwa SBY adalah guru politiknya becermin diri.
Jika SBY adalah guru politiknya maka yang dilakukan KLB sekarang itu hal lumrah dan biasa saja karena bapaknya sendiri adalah guru besar yang mengajari kader-kader demokrat menjadi seperti itu. Orang-orang demokrat menjadi seperti itu ya bapaknya yang ngajari bukan orang lain. Sekarang kembalikan kepada mekanisme internal demokrat atau kembalikan ke masyarakat.
Kira-kira jika Moeldoko sama AHY dimasukkan kedalam ring MMA (politik) dan kita beri waktu 3-5 ronde siapa yang menang. Itu saja menurut saya, tidak perlu drama politik, tidak perlu saling tuding. Sediakan lahan tanding, kasih aturan tanding, suruh mereka baku hantam (politik) dan siapa yang menang maka itulah sesungguhnya pemilik demokrat.
Suruh Moeldoko lepas dari kekuasaan Jokowi. Suruh AHY menjauh dari ketika bapaknya. Baru kita sama-sama tahu siapa pencuri yang gentle dan berani menghadapi kenyataan. Toh sama saja, SBY itu pencuri, Moeldoko juga pencuri. Gitu saja kok repot.
- Source : seword.com