Risma dan Strategi Pengelolaan Kota
Pada perayaan hari jadi kota Surabaya yang ke-727 (tanggal 31 Mei 2020), Tri Rismaharini (Risma) mengisyaratkan perpisahan sebagai walikota Surabaya yang akan terjadi tahun depan. Dengan demikian, pada bulan September 2020 nanti, warga Surabaya harus memilih walikota baru. Jadi, sudah sepantasnyalah jika kita belajar dari beliau bagaimana kiat-kiatnya dalam mengelola kota, sampai memperoleh sejumlah penghargaan nasional dan internasional. Juga begitu dicintai oleh mayoritas warga Surabaya.
Pada periode pertama masa jabatannya, berpasangan dengan Bambang Dwi Hartono, Risma memenangkan pilwali dengan perolehan 38,53% suara untuk periode 28 September 2010 sampai dengan 28 September 2015. Kepuasan yang tinggi warga Surabaya terhadap hasil kerja Risma dan jajarannya tercermin dalam kemenangan pada pilwali untuk masa jabatan kedua, yaitu memperoleh 86,34% suara. Periode kedua dijabat mulai 17 Februari 2016, berpasangan dengan Whisnu Sakti Buana.
Sudah barang tentu, kiat-kiat itu hanya Risma yang paling tahu. Jajarannya juga lebih banyak tahu dibanding penulis. Apa yang akan diuraikan di sini hanyalah perspektif penulis sebagai warga Surabaya (pihak luar) yang telah menikmati hasil karya yang diwariskannya.
Penulis sendiri tidak mengenal Risma secara pribadi. Hanya mengikutinya melalui pemberitaan. Informasi juga penulis peroleh dari sejumlah obrolan dengan sesama warga maupun wawancara dengan beberapa pegawai yang bertugas di Balaikota, kantor-kantor dinas dan kantor-kantor wilayah yang berlokasi di Surabaya. Tulisan ini akan mencoba merangkai berbagai kepingan informasi tersebut untuk memperjelas sosok Risma di dalam mengelola kota.
Sebenarnya kiat-kiat tersebut tidak hanya berlaku terbatas di wilayah kota. Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, termasuk pejabat yang dengan rendah hati mengakui bahwa ia “berguru” ke Surabaya. Model pengelolaan kota Surabaya berhasil diadaptasinya agar lebih sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan keluasan wilayah propinsi Jateng.
Keberhasilan Risma dalam mengemban amanah sebagai Walikota Surabaya banyak ditentukan oleh faktor karakteristik pribadi dan sejumlah program kerja yang dijalankannya. Karakteristik pribadi itu akan dituliskan di bagian akhir. Terlebih dahulu, akan ditelaah program-program apa saja yang menjadi kerangka kerjanya di dalam mengelola kota.
Pada hemat penulis, terdapat lima kelompok program yang menonjol, yaitu: pembenahan kegiatan layanan rutin-administratif, perbaikan layanan umum yang menjadi masalah klasik (banjir dan kemacetan), manajemen aset, projek unggulan yang diharapkan menjadi ciri khas kota (keseimbangan ekosistem dan prinsip-prinsip keberlanjutan), dan pengembangan modal insani (human capital). Karena terbatasnya ruang yang tersedia untuk menulis, di sini penulis hanya akan memaparkan pemikiran secara ringkas, meskipun sangat menarik untuk merinci program-program kerjanya.
Lima kelompok program itu tidak menunjukkan keistimewaan tertentu. Dapat ditemukan di berbagai daerah (kota/propinsi) lainnya. Yang menjadi kelebihan adalah kemampuan Risma untuk melakukannya secara bertahap, terencana, serta melaksanakan secara konsisten dan konsekuen.
Pembenahan layanan rutin-administratif dan perbaikan layanan umum menjadi prioritas tahap pertama karena bobot kuantitatifnya paling banyak. Pemanfaatan teknologi ICT (information and communication technology) dan perbaikan budaya kerja (etos) dilakukan sedemikian rupa, sehingga dapat dilaksanakan dan didelegasikan secara sistemik sebagai kegiatan-kegiatan rutin. Untuk menjaga kelancaran layanan, penegakan disiplin pegawai sangat ditekankan.
Setelah penataan sistemik untuk pelaksanaan kegiatan-kegiatan rutin dapat dilakukan secara efisien, Risma mampu memfokuskan diri pada pembenahan manajemen aset dan pengerjaan projek unggulan sebagai prioritas tahap kedua. Hal ini didukung oleh pemberdayaan aparatur-aparatur sipil, terutama yang muda dan potensial, dan pelibatan para rekanan/mitra kerja yang terpercaya.
Manajemen aset diutamakan untuk mengembalikan pemanfaatan teritori sesuai rencana induk tata-kota secara tegas, dan merebut kembali aset-aset Pemkot yang “dialih-tangankan” oleh oknum-oknum di masa lalu. Khusus untuk pengamanan aset, Surabaya mempunyai museum pendukung yang terus dilengkapi, sehingga mudah memperoleh bukti-bukti historis dan dokumen-dokumen legal-yuridis jika pengambil-alihan aset Pemkot yang pernah diselewengkan harus diselesaikan sampai berperkara di pengadilan.
Untuk program unggulan, salah satu program yang paling dikenal dan dirasakan oleh warga adalah penghijauan, sehingga Surabaya mempunyai sekitar 1.900 taman, seperti pernah dikatakan oleh Risma.
Setelah program-program tahap kedua berjalan dengan ritme yang mulai teratur, fokus utama beralih pada program yang tidak ada batas waktunya dan perlu selalu menjadi prioritas, yaitu pengembangan sumberdaya insani, terutama untuk anak-anak dan generasi muda. Hasil program ini tidak dapat dirasakan atau dipanen secara cepat tetapi merupakan pondasi dasar yang sangat penting untuk membentuk manusia yang berkarakter pembelajar.
Dalam hal ini, Risma mengembangkan kelompok-kelompok belajar untuk anak-anak yang menjangkau sampai ke tingkat RT/RW, dan dilakukan oleh tenaga yang dipilih dari para sarjana yang baru lulus (fresh graduate). Para pendamping di kelompok-kelompok belajar itu juga menyasar ibu-ibu untuk menggerakkan perekonomian pada skala RT/RW dan keluarga.
Di samping menyasar anak-anak, pusat kegiatan kaum muda disediakan dan diisi dengan menyelenggarakan program-program kreatif, inovatif dan kewirausahaan. Karakter pembelajar juga difasilitasi dengan mengembangkan museum-museum tokoh-tokoh Surabaya, seperti tokoh bidang olahraga, sosial-politik, dan bidang-bidang lainnya.
Selain mengelola program-program kerja secara bertahap-terencana-konsisten, Risma juga merupakan seorang pembelajar-cepat yang terlatih melalui akumulasi pengalaman (experiential learner). Karena itu, tidak mengherankan, jika terjadi banjir di Surabaya, ia termasuk salah satu orang yang luar biasa cekatan di dalam berpikir, seperti: menentukan pintu-pintu air dan selokan mana yang harus diperiksa, di mana letak pompa dan berapa jumlahnya, bagaimana membagi pompa, siapa saja petugas terdekat yang bertanggung jawab pada lokasi banjir.
Di dalam kegiatan luar lapangan, bisa saja ia tiba-tiba menghentikan mobil yang ditumpanginya jika melihat adanya masalah layanan di kantor-kantor kecamatan dan kelurahan. Karena sungguh-sungguh memahami alur proses layanan, ia cepat melihat akar masalah dan menyarankan solusi efektif.
Mentalitas Karya
Pada hemat penulis, hal yang benar-benar istimewa pada sosok Risma adalah mentalitas karya. Banyak orang yang mengatakan bahwa jabatan adalah amanah. Risma termasuk orang yang paling sering mengatakannya, namun juga melaksanakannya.
Ia sangat bangga dengan tugas-tugasnya, dan hal itu juga yang berulang-ulang ditekankannya pada setiap orang. Termasuk untuk “pasukan kuning” yang bertanggung jawab terhadap kebersihan kota. Mereka harus bangga pada pekerjaannya. Hanya dengan dilandasi rasa bangga, akan muncul kesadaran bertanggung jawab dan merasakan kepuasan dari hasil kerjanya.Rasa bangga dan kepuasan akan menjadi sumber energi untuk berdisipllin bangun di larut pagi, ketika sebagian besar orang masih pada nyenyak tidur.
Kompetesi-kompetensi teknis yang dapat dipelajari merupakan hal yang diperlukan untuk menjalankan program-program seperti diuraikan di atas. Mentalitas karya ini dibentuk secara progresif dalam rentang waktu yang panjang melalui serangkaian pengalaman, termasuk pola asuh yang diterapkan oleh orangtua. Tidak mungkin terbentuk secara instan atau diperoleh dengan mengikuti kursus/pelatihan saja.
Mentalitas karya dilandasi oleh penghayatan dan keterlibatan penuh pada ruang lingkup tanggung jawab, fokus pada pencapaian prestasi, ketangguhan di dalam menghadapi ATHG (ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan), dan kegairahan mental yang deterministik. Jika sudah menetapkan tujuan, ia dapat menjadi sosok yang “berkacamata kuda” karena sangat terfokus pada tujuan dan bersikukuh untuk melewati rute perjalanan yang sudah direncanakan. Jika sudah menyanggupi suatu tanggung jawab, ia akan mengerahkan segenap daya upaya secara total, karena keberhasilan menunaikan tugas merupakan bagian dari pertaruhan harga-diri.
Pada sisi negatifnya, seringkali dapat menjadi sangat dominan dan keras kepala. Reaksi emosionalnya juga dapat meledak jika menghadapi berbagai kendala yang tidak terduga sebelumnya sewaktu menyusun rencana dan sulit dinalarnya. Ibaratnya, ia sudah dalam kondisi sangat siap bekerja dengan energi/BBM penuh namun dipepet oleh tembok raksasa yang memacetkan semuanya. BBM tidak tersalur secara produktif sebagai sumber energi, malah membakar magma luapan emosi.
Meskipun ada unsur negatifnya, namun tokoh-tokoh besar umumnya bertipe deterministik. Jika ingin menjadi sosok yang melakukan hal-hal besar, sepertinya hanya karakter deterministik pilihannya.
Memang sangat mirip dengan karakteristik Ahok sewaktu menjadi Gubernur DKI. Ada ribuan rencana yang ingin segera diwujudkannya bagi DKI Jakarta karena sangat terpepet oleh waktu menjabat yang begitu pendek (setelah terpotong oleh era Jokowi sebagai Gubernur). Koruptor dan oknum-oknum yang melanggar atau "mengkadali" konstitusi akan disikat, dihabisi, dilibas, dan ungkapan-ungkapan khas Ahok lainnya... sampai terpeleset oleh Surat Al Maidah 51 karena begitu menggeloranya semangat untuk memotivasi, tetapi nelayan di Kepulauan Seribu tidak segera menyambut dengan antusiasme yang sama. Ahok tidak sabar dan kesulitan menalar padahal program yang ditawarkan sepenuhnya dirancang demi keuntungan mereka.
Risma pun melewati sejumlah peristiwa yang oleh Bung Karno disebut masa “vivere pericoloso” (hidup di ambang batas bahaya). Terjadi beberapa pergolakan dengan orang-orang lain, seperti dengan DPRD Surabaya, pengembang Pasar Turi, investor jalan tol di tengah kota, germo-germo lokalisasi Gang Dolly, bahkan dengan MUI Jatim. Ia selalu selamat karena memperjuangkan nilai-nilai luhur sehingga memperoleh dukungan dari banyak pihak, seperti: Mendagri Gamawan Fauzi (sewaktu menghadapi upaya pemakzulan oleh DPRD Surabaya yang sudah disetujui oleh 6 dari 7 fraksi DPRD, termasuk PDI-P yang sebenarnya merupakan partai pendukungnya). Contoh dukungan lainnya juga diperoleh dari kapolda/kapolri (kasus Pasar Turi, dan lain-lain), dan sudah pasti dukungan warga (gerakan “Save Risma”, tagar #RismaSelamanya, dan sejenisnya).
Sebagai orang dengan mentalitas karya, ia mempunyai kebiasaan berperilaku disiplin, terencana secara rapi, dan tertib-normatif. Termasuk di dalam tertib-normatif adalah kepatuhan pada program kerja yang sudah dicanangkan, peraturan perundang-undangan yang berpihak pada rakyat, keputusan rapat yang terdokumentasi dengan baik, kode etik korps, dan berbagai peraturan kepegawaian.
Semua kantor pemerintah di Indonesia umumnya sudah mempunyai perangkat tertib-normatif tersebut. Hal yang membedakan pada Risma dari para pejabat di daerah-daerah lain adalah adanya keteladanan dalam setiap gerak-gerik perilaku kerjanya sehingga perangkat tertib-normatif tersebut benar-benar dihidupkan sebagai kekuatan pengatur, bukan sekedar dokumen mati.
Bagaimanakah keteladanan tersebut dirasakan oleh jajaran stafnya?
Di lingkungan kantornya, kehadiran beliau langsung diketahui dan dirasakan oleh para pegawai lainnya. Suaranya menembus dinding-dinding kantornya. Ledakan tertawanya menyeruak melalui lorong-lorong. Ia dapat tertawa ngakak, bebas-lepas, seperti gaya tertawa rakyat jelata yang spontan. Bukan gaya priyayi yang terkikik-kikik tertahan. Suasana kantor menjadi hidup dengan emosi yang serius, sesekali cair dan ditingkahi dengan suara tertawa. Terdapat percampuran secara luwes antara suasana kerja formal dan keakraban informal.
Ketika ia memanggil nama seorang pegawai dengan suara lantang, tidak ada seorang pegawai pun yang berani berperilaku lelet (lambat, menunda-nunda). Mereka yang dipanggil terkadang mengumpat-umpat dalam hati karena tersandung-sandung selagi berjalan tergopoh-gopoh ke meja Risma, namun dengan takzim langsung menghadap dan berkata “ya, Buk...”. Tidak ada yang berani ber-jancuk ria karena terasa tidak beradab jika mengumpat di hadapan Risma.
Semua saluran komunikasi dikuasai dan dimanfaatkan sepenuhnya, termasuk grup WA. Entah berapa jumlah grup WA yang dipunyainya, namun ia merupakan sosok yang mampu memikirkan banyak hal dalam satu satuan waktu (multi-tasking). Semua pejabat di bawah kewenangannya dapat disapanya sewaktu-waktu melalui berbagai saluran komunikasi yang menjangkau berbagai kantor dinas, departemen, unit-unit kerja, dan kelompok-kelompok kerja bentukan (task forces). Dengan adanya kemungkinan disapa oleh Risma sewaktu-waktu tersebut, seolah-olah kehadirannya akan selalu terasa, biarpun ia sedang bepergian untuk mengadakan kegiatan di luar kantor, luar kota, luar propinsi, bahkan luar negara. Secara tidak terduga, ia dapat menyapa dan menanyakan ada/tidaknya masalah atau perkembangan kemajuan pekerjaan yang dipercayakan pada satuan-satuan kerja yang dibentuknya.
Meskipun ia tidak selalu berada di kantor, pasti ada staf tertentu di kantornya yang dapat menjawab boss-nya sedang ada di mana. Tidak ada cerita, bahwa Risma menghilang untuk kegiatan yang tidak jelas, tanpa diketahui keberadaannya.
Tampak bahwa keteladanan merupakan roh untuk menghidupkan etos kerja dan tertib-normatif di kantornya dan berlaku meluas untuk semua jajaran yang dipimpinnya. Untuk menunjukkan keteladanan, ia tidak segan untuk turun sendiri ke lapangan, seperti: menyapu jalan, turun ke gorong-gorong, menyemprotkan disinfektan di jalanan, dan sebagainya. Cara itu diyakininya merupakan pilihan yang paling efektif untuk menyengat semangat dan rasa tanggung jawab anak buahnya. Rasa sungkan, rasa malu, dan sikap hormat yang tumbuh pada jajarannya akan membangkitkan kesigapan bekerja.
Banyak pejabat dari daerah-daerah lain yang sudah melakukan studi banding ke Surabaya. Risma terbuka untuk menerima, berdialog, serta menjelaskan semua hal yang dilakukannya maupun dasar-dasar pertimbangannya. Mengapa hampir tidak terdengar dicapainya keberhasilan yang sama di daerah-daerah yang pejabatnya pernah studi banding ke Surabaya?
Sejauh pengetahuan penulis, keberhasilan di Surabaya hanya tampak nyata “menularkan” inspirasi ke Jawa Tengah. Apa kesamaan di antara Risma dan Ganjar?
Keduanya menunjukkan kekuatan kehendak, konsistensi tindakan, dan keteladanan yang menularkan etos kerja positif di wilayah masing-masing. Ilmu tentang pengelolaan kota/propinsi mudah dipelajari atau ditanyakan kepada konsultan yang jempolan. Hanya saja, prestasi senyatanya hanya dapat diraih jika mampu mengamalkan “amanah jabatan” sebagai bagian dari penghayatan iman.
Mari kita bantu Bu Risma dengan doa untuk karya-karya selanjutnya. Sudah pasti, karya pengabdian apapun yang dilakukannya akan tetap berada dalam koridor untuk makin menjunjung tinggi kemajuan bangsa Indonesia.
Matur nuwun sanget, Bu!
Referensi:
https://news.okezone.com/read/2020/01/18/519/2154627/risma-klaim-surabaya-punya-1-900-taman
https://id.wikipedia.org/wiki/Tri_Rismaharini
- Source : seword.com