Beredar Isu Ahok Jadi PLH Gub DKI 2022-2024, Karena Kinerja Kominfo Gak, Nih?
Kementerian Kominfo pernah jadi sasaran kritik saya dan sebagian besar warganet tatkala Saracen dan MCA versi Jonru Ginting menguasai jagad permedsosan tanah air. Hoax, intoleran dan hate speech yang kerap disemburkan kelompok ini ke udara informasi seakan dibiarkan oleh stakeholder utamanya Kominfo. Saya merasa tak berdosa saat kementerian yang bertanggung jawab atas sehatnya dunia maya tanah air itu saya hantam dengan kritikan-kritikan pedas, tajam menikam.
Jika Kominfo saat itu banyak kuserang lantaran dipegang oleh politisi PKS yang mana sering dikonotasikan sebagai patron politik bagi kaum intoleran, bagaimana ketika kini kementerian itu dipegang oleh politisi Nasdem dalam diri Johnny Plate? Akankah saya tetap konsisten menyerang kementerian itu ketika masih dijumpai hal-hal yang tadi disebutkan dalam blantika bermedsos setanah air?
Untuk memahami dengan baik atas jawaban yang nanti kuberi, sebaiknya saya beberkan dulu fakta yang saya alami dalam proses berliterasi sosial selama ini berikut ini, sebelum nantinya saya ajak Anda sekalian untuk fair menilai pelaku penyebar isu bahwa Ahok hendak diangkat oleh Presiden Jokowi sebagai PLH Gubernur DKI 2022-2024 mendatang sebagai sosok yang patut dibela atau malah perlu kita hujat. Here we go...
Seiring waktu berjalan, saya mulai dihadapkan pada kenyataan bahwa kewenangan Kominfo baru akan legitim menindak konten apabila terpenuhinya unsur pelanggaran UU ITE dalam sebuah unggahan. Tanpa itu, Kominfo malah akan terjebak dalam praktek otoritarian dan tyran. Saya pun perlahan mulai sadar bahwa Kominfo akan bekerja maksimal apabila ada peran serta masyarakat dalam keaktifan melaporkan konten-konten unggahan yang meresahkan atau mengganggu keadaban publik.
Kita memang sedang berada pada situasi peralihan dari zaman konvensional ke zaman serba digital. Dalam era ini semua pihak dihadapakan pada situasi kegagapan (shock). Maka kalau banyak dijumpai kejanggalan di sana-sini, itu lumrah. Tak bisalah bila hanya Kominfo yang dituntut untuk bertanggung jawab atas berbagai pelanggaran berinternet ria.
Jika kini kita mulai menikmati kualitas unggahan di medsos yang relatif mulai jarang menampilkan konten hoax, hatespeech dan intoleransi, dengan sendirinya juga tak bisa dikatakan sebagai prestasi Kominfo semata. Ini adalah situasi yang dikondisikan oleh semua pihak.
Jika demikian kondisinya, pertanyaan soal apakah saya pantas untuk tetap salahkan Kementerian Kominfo saat sebuah konten unggahan seseorang warganet mengandung pelanggaran atas UU ITE, dengan tegas kujawab TIDAK. Mengapa begitu?
Selain karena mulai paham kewenangan yang dimiliki Kominfo, juga karena tanggung jawab penggunaan media, sepenuhnya ada pada pengguna. Kominfo atau pemerintah hanya penyedia fasilitas, melengkapi fasilitas tersebut dengan pemberlakuan sejumlah syarat aturan. Selebihnya, itu urusan pengguna. Salah menggunakan fasilitas, tentu bego akut apabila pemberi fasilitas yang disalahkan.
Bagaimana dengan Isu Ahok Jadi PLH Gubernur DKI 2022-2024?
Sudah paham kan sekarang bahwa baik buruknya kualitas konten unggahan, itu tidak bisa seketika dikreditkan pada Kominfo. Semua, baik yang berkualiats bagus pun yang berkualitas buruk, kreditnya ada pada pengunggah.
Sekarang mari kita "mengadili" isu Ahok jadi PLH Gubernur DKI mendatang!
Saya dapat memahami kegemesan seperti apa yang dialami sebagian warga DKI di bawah kepemimpinan Anies Baswedan selaku gubernur. Kebijakan-kebijakan yang dilahirkan di era gubernur keturunan Yaman ini memang banyak yang unfaedah. Pengalokasian anggaran yang dikeluarkannya juga terdapat kelebihan bayar pada sejumlah mata anggaran.
Akan tetapi, ketidakpuasan terhadap kepemimpinannya tidak bisa seketika membuat siapa saja menjadi benar saat membuat atau menyebar isu sesat terkaitnya. Dia memang akan meletakkan jabatannya tahun depan. Setelahnya DKI akan dipimpin oleh seorang PLH hingga Pilkada DKI digelar lagi pada 2024 berbarengan dengan Pemilu Nasional secara serentak.
Dalam wacana demikianlah sebuah isu sesat dihembuskan oleh kaum tak puas akan Anies bahwa yang akan mengisi jabatan tersebut adalah Ahok. Tak tanggung-tanggung, Presiden Jokowi dibawa-bawa dalam isu tersebut dengan mengatakan bahwa Jokowi akan turun tangan langsung untuk mengangkat Ahok mengisi jabatan tersebut.
Isu tersebut, walau motifnya karena ketidakpuasan akan Anies yang mengalahkan Ahok dalam Pilkada terburuk sepanjang sejarah DKI dan bahkan nasional akibat dimainkannya ayat dan mayat guna memuluskan agenda menjadikan Anies sebagai gubernur, tetap saja salah karena tak berdasar. Isu itu masuk dalam katagori HOAX.
Kronologinya bermula pada unggahan yang dilakukan sebuah channel youtube. Dalam unggahannya tersebut, Jokowi diframingkan akan angkat langsung Ahok sebagai PLH Gubernur ibukota negara. Bagi mereka yang kurang kritis dan malas melakukan crosscheck, pencocokan informasi dengan fakta atau pembuktian terbalik, framing itu ditelan mentah-mentah sebab pada tayangan videonya memang menampilkan sosok Presiden Joko Widodo yang mengatakan akan mengangkat Ahok sebagai PLH di ibukota negara.
Padahal, pada faktanya perkataan Jokowi dalam tayangan itu adalah perkataannya terkait ibu kota negara yang baru. Jadi, bukan untuk konteks DKI pasca Anies meletakkan jabatannya. Jadi, jelas ini merupakan hoax.
Sekarang, untuk konteks hoax tersebut, andaikata saya masih belum paham kewenangan Kementerian Kominfo, saya bisa pastikan bahwa saya akan sudutkan Kominfo atas konten hoax tersebut. Namun, karena kini saya paham kewenangan lembaga negara tersebut di bidang kesehatan berinformasi, dan sekalipun termasuk orang yang sangat gemas dengan kinerja buruk Anies Baswedan di DKI, saya memilih patut untuk menyesalkan pencipta hoax tersebut (channel Roda Politik). Gila aja kalau saya tetap ikut salahkan Kementerian Kominfo.
Bagaimana dengan kasus fintech ilegal, Peduli Lindungi dan sejumlah lain kasus terkait aplikasi digital, apakah Kominfo tetap tak tepat disalahkan? Ya iyalah, goblok yang hakiki jika kementerian itu disalahkan atas praktek keliru para pengguna aplikasi.
Jika sulit memahaminya, bayangkan saja bahwa DLLAJR dan Dirlantas POLRI adalah institusi yang berwenang dalam melancarkan dan menertibkan pengguna jalan raya. Jika ada kecelakaan di jalan raya karena ulah pengguna yang tidak tertib dan tidak ikuti aturan berlalu lintas, sudah pasti salah kalau kita menuntut Dirlantas Polri dan DLLAJR bertanggung jawab.
Fintech ilegal itu benar menggunakan aplikasi digital. Jika dalam praktek, fintech ilegal tersebut menjerat mangsa sampai tak berdaya, itu tanggung jawab pelanggarannya ada pada pemilik aplikasi.
Kasus Peduli Lindungi pun juga sama sekalipun tercatat di Google Playstore dan App Store sebagai milik Kominfo (aslinya, saat kasus pecah, itu bukan milik Kominfo sekalipun tercatat atas nama Kominfo di platform-platform store). Milik Kominfo sekalipun ya, jika dimanfaatkan untuk kejahatan, masa iya Kominfo yang tetap kamu salahkan, Bambang?
- Source : seword.com