www.zejournal.mobi
Sabtu, 28 Desember 2024

Benang Merah Tweet SBY dan Pembakaran Bendera PDIP

Penulis : Alifurrahman | Editor : Anty | Kamis, 25 Juni 2020 11:22

SBY, bagaimanapun adalah Presiden dua periode. Selemah-lemahnya, dia tetap penguasa yang memiliki jaringan. Meskipun partainya nyungsep, dari partai pemenang menjadi calon degradasi, SBY tetaplah sosok berpengaruh. Bahkan menurut saya, SBY jauh lebih besar dari partai Demokrat itu sendiri.

Maka kemarin ketika SBY menulis tweet galau soal RUU HIP, sebagai Pakar Mantan saya sudah merasa akan ada sesuatu.

“Saya mengikuti hiruk pikuk sosial dan politik seputar RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Saya juga sudah membaca dan mengkaji RUU tersebut. Tentu ada pendapat dan tanggapan saya. Namun, lebih baik saya simpan agar politik tidak semakin panas.”

Itu tweet SBY beberapa hari yang lalu.

Sebenarnya semua pernyataan SBY sejak dulu terpola. Sama saja. Selalu ingin tampil bijaksana, tapi juga menyisipkan kesimpulan provokatif terkait kondisi. Lihatlah tweet tersebut. SBY menyimpulkan bahwa kondisi politik kita sudah panas. Jadi dia tidak mau menyampaikan tanggapan dan pendapatnya, agar tidak semakin panas.

Meski begitu, tetap saja yang disampaikan terlebih dulu adalah soal kepedulian dirinya kepada RUU HIP. Mengaku sudah baca dan mengkaji. Juga mengikuti hiruk pikuk sosial –mungkin maksudnya juga mengikuti rencana aksi demo kemarin.

Dalam logika orang waras, kalau benar SBY ini sadar akan kondisi sekarang dan tidak mau semakin panas, maka yang perlu dilakukan SBY adalah komunikasi secara tertutup. Bukan menulis tweet. Sebagai Presiden dua periode, SBY pasti paham betul soal ini. Tapi dengan sengaja dan kesadaran penuh, SBY justru memilih menulis tweet. Pertanyaanya kemudian, apa tujuannya? Apa motifnya?

Lalu kemarin, saat aksi demo RUU HIP, ada insiden pembakaran bendera PDI Perjuangan. Novel Bamukmin yang merupakan pentolan geng cingkrang 212, mengaku tidak tahu ada pembakaran bendera partai. Yang dia tahu hanya pembakaran bendera PKI.

Di mata hukum, jelas itu tidak penting lagi. Novel tahu atau tidak, pembakaran telah terjadi. Dan sebagai jubir atau aktor yang berada di atas panggung, Novel layak dimintai pertanggung jawaban.

Secara politik, saya paham kenapa bendera PDIP yang jadi sasaran. Kenapa bukan partai lain? karena Presiden Jokowi adalah kader PDIP. Dan target mereka adalah menurunkan Jokowi, seperti yang selalu didzikirkan dalam demo-demo jalanan.

Secara propaganda, jelas PDIP adalah partai yang paling militan dan kuat. 128 anggota DPR RI. 18 Ketua DPRD. 416 anggota DPRD Provinsi. 3232 anggota DPRD Kabupaten dan Kota. 237 kepala daerah dan wakil kepala daerah. 1.43 juta pengurus partai, lengkap dengan nama dan alamatnya. Semua itu mewakili suara ril di masyarakat. Bukan sebatas klaim, katanya atau prediksi google map –seperti yang dilakukan 212.

Menyerang PDIP berarti membuka perang terbuka untuk memicu konflik dan kerusuhan. Dan itu yang sangat mereka harapkan, rusuh.

Hal ini nampaknya sangat disadari betul oleh Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto. Maka dalam rilis media yang ditulisnya, partai menginstruksikan agar para kader tidak terprovokasi dan menempuh jalur hukum. Dari 5 poin yang disampaikan, 3 diantaranya mengingatkan agar tidak terprovokasi.

Karena memang agak mengerikan kalau sampai terjadi bentrok antara PDIP dan ormas kumpulan HTI dan yang seselangkangan dengan rizieq. Efeknya akan sangat besar dan bisa terjadi di berbagai daerah.

Tapi yang menarik dari rilis media tersebut, ada satu poin yang menyinggung soal insiden tahun 1996. “Jalan hukum inilah yang dilakukan oleh PDI Perjuangan pada tahun 1996, ketika pemerintahan yang otoriter mematikan demokrasi.”

Saya tahu cerita 27 Juli 1996 ini dari tembang Sudjiwo Tedjo. Seniman yang mengaku kenal akrab dengan Bu Mega itu bercerita, saat itu kantor PDIP diserbu. Dirusak. Namun dalam kondisi seburuk itu, Bu Mega justru pergi ke pasar bunga. Tersenyum dan begitu tenang. Pesan tersebut begitu kuat meredam amarah kader dan simpatisan.

Maka kalau hari ini ada sekelompok ormas-ormasan, atau terong-terongan yang melakukan provokasi pada PDIP, nampaknya mereka salah memilih lawan. 32 tahun Soeharto tak mampu membubarkan PDIP, apalagi hanya terong-terongan modal kencing onta.

Namun poin saya bukan itu. Insiden tahun 1996 ini sejatinya bisa menjebloskan SBY ke penjara andai waktu itu tidak ada even politik. Pelaku penyerbuan ke kantor PDIP, Yorrys Raweyai mengaku ditugaskan untuk melakukan penyerbuan, atas perintah asisten intelijen Kodam Jaya, Kolonel Haryanto.


Berita Lainnya :

Setelah Yorrys Raweyai ditahan, pengacara menyampaikan kejanggalan. Karena aneh kalau Kolonel Haryanto meminta Yorrys tanpa ada perintah atasan. Dan benar saja, pada tahun 2004, atasan yang dimaksud ditetapkan sebagai tersangka, Sutiyoso.

SBY sebagai bawahan Sutiyoso sudah sempat diperiksa. Namun karena berdekatan dengan Pilpres, kasus tersebut ditunda. Dan rupanya SBY menang Pilpres dua periode, sehingga agak berat untuk mengusut kasus 1996 lagi. Inilah sejarah panjang antara SBY dan PDIP.

Dalam pandangan awam saya, rilis media yang disampaikan Hasto dan mengingatkan tragedi 1996, adalah pesan tertutup untuk SBY.

Selain itu, berdasarkan pengalaman, kalau SBY sudah ceriwis dan galau, berarti ada kejadian. Entah terjadi dalam internal, atau demo besar-besaran. Kita pasti ingat konpres SBY “Lebaran Kuda,” yang dua hari setelahnya setelahnya pecah aksi 411. Rusuh hingga tengah malam.

Dan nampaknya, tweet politik panas yang disampaikan oleh SBY dua hari lalu itu sejenis dengan konpres “Lebaran Kuda.”


- Source : seword.com

Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar