www.zejournal.mobi
Rabu, 20 November 2024

Sri Mulyani Tak Bisa Lagi Dikadali Oleh Teknologi. Sikaaaaat Semuanya Buuuuu!!!

Penulis : Erika Ebener | Editor : Admin | Kamis, 04 Juni 2020 12:06

Banyak negara-negara maju masih beranggapan bahwa Indonesia ini adalah negara yang primitive, negara yang masih menjalankan keseharian dalam kehidupannya sangat sederhana. Tidak seprimitif negara-negara di Afrika Tengah, tetapi keprimitifan a la asia, kesederhanaan Indonesia disamakan dengan negara Laos, Vietnam, Thailand, atau Myanmar. Dibedakan kelasnya dari Singapura, Malaysia, Cina, bahkan Filipina.

Tahu ga kenapa bisa begitu?

Karena gaya kepemimpinan Soeharto dan SBY yang alay dan lebay abis! Yang membuat dunia memandang Indonesia dengan sebelah mata. Mau bukti? Sederhana saja, kok bisa orang lain di luaran sana bertanya, “Indonesia sebelah mana Bali?”

Kalau Soeharto, kita ga perlu lagi bicara. Namanya kepemimpinan diktator dan otoriter, membicarakan Indonesia di masa kepemimpinan Soeharto dulu, sama dengan membicarakan Korea Utara sekarang. Tapi SBY? Dengan semboyan “Seribu Teman Nol Musuh”, membuat Indonesia lebay habis selebay-lebaynya! Kepemimpinan SBY atas Indonesia, memunculkan peribahasa baru, “Air tenang TAPI tak dalam” yang jelas salah kaprah, tidak benar, bodoh dan ini harus dibenarkan, diluruskan dan kembali ke peribahasa yang benar, agar tidak membodohi bangsa Indonesia.

Itu sebabnya, ketika Jokowi muncul sebagai Presiden Indonesia, tugas Jokowi hanya satu. Yaitu membetulkan kalimat peribahasa yang sudah disalah kaprahkan oleh SBY. Yang benar itu adalah “Air tenang menghanyutkan”.

Ya, air tenang itu menghayutkan. Air beriak tanda tak dalam. Tapi air bisa tenang itu harus dalam agar tidak mudah beriak sampai menciprat ketika sebuah kerikil besar dilemparkan. Jika air cukup dalam, kerikil besar itu akan tenggelan, air hanya beriak sebentar lalu tenang lagi. Namun, untuk mendalamkan air, tidak mungkin tidak beriak, setelah mendalamkan air selesai dan pekerjaan selesai, maka beriak itu berhenti, lalu air menjadi tenang dengan kedalaman.

Hebatnya, Jokowi tak mau menunggu air sampai tenang untuk membuat Indonesia mampu membuat dunia terhanyut. Jokowi seakan tahu pasti, apa peran dirinya yang sebenarnya bagi danau besar Indonesia. Yang pertama Jokowi pikirkan adalah bahwa dunia harus tahu, kalau Indonesia itu bukan air kubangan yang bisa dipermainkan, Indonesia adalah sebuah danau besar yang dalam yang patut ditakuti siapapun terutama mereka yang tak bisa benerang.

Itu sebabnya, di setiap pidatonya, baik di luar maupun di dalam negeri, Jokowi selalu dan selalu mengatakan, “Indonesia itu besar!” dengan segala penjelasan tentang luasan wilayah, banyaknya pulau, suku dan bahasa yang dimiliki oleh Indonesia.

Jokowi, sebagai Presiden Indonesia ketujuh, di mata dunia, tak hanya menampilan dirinya seorang Presiden dan pemimpin negara besar yang kaya raya dan memiliki potensi sebagai negara adi daya saja. Jokowi juga menampilakan dirinya sebagai seorang Pemimpin Negara yang selalu UP TO DATE dengan segala bentuk teknologi dan menyerang dunia. Jokowi tak ragu menampilkan dirinya sebagai pemimpin yang siap menghadapi Revolusi Industri 5.0. Jokowi adalah pemimpin Indonesia yang sangat paham bahwa negara Indonesia yang besar dan “cepat” akan mengalahkan negara besar yang lambat dan negara kecil yang cepat.

Caranya? Well, saya tidak sedang membicarakan olahraga lari cepat yah… saya sedang membicarakan bagaimana Jokowi menaklukan para pembisnis teknologi dunia yang merambah pasar Indonesia tanpa dibebani pajak karena ke-oon-an presiden sebelumnya.

Adalah Sri Mulyani Indrawati, Srikandi Indonesia, yang oleh SBY dilepas untuk bekerja pada Bank Dunia, demi dedemit yang ada di Indonesia, oleh Jokowi ditarik kembali dengan kepastian bahwa Presiden akan mendukung dan mem-back-up semua kebijakan dan sepak terjang dilakukan oleh Menteri Kuangan. Maka lahirlah pasangan pasangan maut : Jokowi-Sri Mulyani,

Selama kepemimpinan Jokowi, Sri Mulyani menebarkan jaring untuk menangkap para pembisnis teknologi dunia yang bertahun-tahun menikmati pasar Indonesia. Setelah SMI berhasil menang atas Google yang akhirnya bersedia dinyatakan sebagai Pengusaha Kena Pajak atau PKP, SMI juga akan memaksa semua perusahaan Over The Top atau OTT untuk juga menjadi PKP.

Artinya, Netflix, Spotify hingga Zoom harus membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10% dari hasil jualannya. Dan ini dilakukan agar tercipta keadilan (level playing field) bagi perusahaan yang tercatat sebagai subjek pajak dan selama ini taat membayar pajak ke pemerintah. Pemungutan PPN ini dilakukan untuk semua produk yang dikonsumsi baik barang dan jasa yang diperjualbelikan di Indonesia, terlepas barang dan jasa tersebut diproduksi dalam negeri maupun di luar negeri. Semuanya dipungut pajaknya melalui daerah pabeanan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) .

Selama ini para Perusahaan OTT memanfaatkan kelemahan UU PPN, yang dibuat pada tahun 1983, saat semua transaksi barang yang dijual tanpa bentuk atau digital tidak sedikitpun terpikirkan akan terlahirkan.

Para pengusaha perusahaan OTT begitu cepat menjadi kaya raya karena semua perdagangan yang mereka lakukan berharga lebih murah karena tak terkena pajak. Karena kondisi ini, SMI merasa dikadali oleh para perusahaan OTT yang menikmati pangsa pasar Indonesia, membantai para pedagang tradisional yang menjual barang mereka dengan dikenakan 10 persen pajak.

Now the party is over.

Melalui Perppu nomor 1 tahun 2020 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 48 tahun 2020 yang mengatur tata cara pemungutan pajak digital, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Keuangan Dirjen Perpajakan, memiliki izin untuk menarik pajak atas barang digital yang berasal dari luar negeri dan di jual di Indonesia.

Dengan dilakukanya penarikan ini, maka semua perusahaan digital luar negeri yang berjualan di Indonesia harus membayar pajaknya. Artinya, semua pelanggan perusahaan digital tersebut harus membayar PPN 10% atas barang dan jasa yang dikonsumsinya.

Dengan langkah ini, Sri Mulyani memastikan bahwa tidak akan lagi terjadi KEBOCORAN EKONOMI INDONESIA. Perppu nomor 1 tahun 2020 memberi dampak signifikan bagi SMI untuk mengejar jasa asing yang menjual barang dan jasa mereka di Indonesia.


Berita Lainnya :

"Jadi pengertiannya nggak hanya harus adanya kehadirian fisik, tapi seperti subtansial economic presence, kalau mereka dapat penghasilan dari Indonesia, konsumennya di Indonesia itu kita anggap sebagai punya economic presence di Indonesia. Nah sehingga kita masukan sebagai BUT. Sehingga bisa kita pajaki di Indonesia. Selama ini BUT definisi kan kehadiran fisik, physical existency begitu. Dan selama mereka tidak ada di sini, maka kita tidak bisa mengenakan PPh-nya ke mereka atas penghasilan dari Indonesia," kata Hestu Yoga, Juru Bicara DJP.

Well, bagi mereka yang selama ini menikmati harga murah dari belanja online, sekarang siap-siap saja, kalau perusahaan OTT tak mau menanggung pajak penjualan, artinya kalian sebagai pembeli yang harus membayar pajaknya. Di sini akan tercipta keadilan. Dan para pedagang tradisional, akan mampu bersaing kembali.

Keren memang Sri Mulyani… sikat terus Bu, semua penjual barang dan jasa on line !! Jangan dikasih ampun!!! Dan Indonesia akan menambah pendapatan negara…


- Source : seword.com

Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar