Kemenkumham Tolak Bebaskan Koruptor, PKS dan Nasdem Teriak Diskriminasi
Saya ga habis pikir, ketika negeri ini dilanda wabah, masih banyak orang memanfaatkan untuk kepentingan politiknya. Bernafsu sekali untuk memfitnah pemerintah dan menjatuhkan Presiden Jokowi.
Media kita juga tak berkutik. Judul click bait dan bahkan fitnah bertebaran di mana-mana. Bahkan hoax juga mereka tayangkan tanpa rasa bersalah. Hanya minta maaf kalau sudah banyak diprotes warga. Masalahnya, terlalu banyak berita-berita semacam itu. Sampai kita kewalahan untuk menjelaskan propaganda yang sudah mereka lakukan entah untuk tujuan apa dan suruhan siapa.
Tapi ya sudah, pada akhirnya kita tetap harus bahas satu persatu. Meluruskan fitnah-fitnah dan propaganda kolaborasi media uasyu dan politisi jancuk.
Ketika keputusan Menkumham, Yasonna Laoly yang ingin mempercepat pembebasan 30 ribu narapidana demi menghindari penumpukan dan ruang yang sempit, saya masih merasa tak ada yang salah. Ya wajar. Meski judul-judul berita di media sangat menyeramkan. Kesannya, seolah pemerintah mau membebaskan para narapidana itu tanpa kategori yang jelas. Seolah mau dibiarkan berbuat onar di tengah musibah Covid19.
Tapi ya sudah. Itu clickbait. Udah capek lah kita ngurusin media clickbait. Dan dalam kondisi seperti sekarang, bagus juga itu dilakukan. Karena jangan sampai penjara menjadi sarang penyebaran virus. Selain itu, semua itu dilakukan sesuai prosedur pada umumnya, hanya kali ini dipercepat karena ada wabah Corona.
Terlebih, Kemenkumham memastikan, bahwa 30 ribu narapidana yang dibebaskan lebih awal tersebut tak ada teroris dan koruptor. Karena teroris, narkotika, pelaku pelanggaran HAM berat dan koruptor, tak bisa dibebaskan lebih awal. Sesuai peraturan pemerintah nomor 99 tahun 2012.
Sampai di sini, sudah benar apa yang dilakukan oleh Pak Yasonna. Sesuai aturan berlaku.
Namun keputusan Kemenkumham ini ditentang atau dipertanyakan oleh DPR RI. Karena dianggap diskriminasi. Fraksi PKS, Nasir Djamil mengatakan, pengecualian itu seharusnya tidak diterapkan. Sebab, pandemi virus ini bisa menyasar siapa saja, termasuk narapidana extraordinary crime.
“Kenapa napi-napi kasus tipikor tidak dimasukkan? Karena ini kan kita bicara soal wabah corona. Apakah Pak Menteri yakin mereka napi tipikor itu tidak kena virus?” kata Nasir Djamil.
Lebih lanjut, kader PKS itu meminta Kemenkumham untuk merevisi aturan tersebut. acuan PP nomor 99 tahun 2012 dianggap tidak relevan dalam kasus ini.
Selain Nasid Djamil, Taufik Basari dari Partai Nasdem juga menilai diskriminatif. Tidak memperlakukan narapidana ini secara sama.
“Ketika seseorang itu sudah menjadi narapidana, tentu statusnya harus sama. terlepas dari apapun latar belakang kasusnya,” kata Taufik Basari.
Yasonna merinci bahwa sampai hari ini, sudah 5.556 narapidana telah dibebaskan lebih awal, dalam rangka mencegah penyebaran virus. Dan semua mereka bukan koruptor atau teroris. Sesuai Permenkumham nomor 10 tahun 2020.
Tapi, terkait masukan dari fraksi PKS dan Nasdem, Yasonna juga menyatakan bersedia untuk melakukan revisi sesuai permintaan mereka. Yang dianggap diskriminatif dan sebagainya.
Yasonna merinci ada 4 kriteria yang bisa diajukan untuk merevisi PP nomor 99 tahun 2012 tersebut. Pertama, napi kasus narkotika yang memiliki masa pidana 5-10 tahun dan sudah menjalani dua pertiga tahanan.
Kedua, napi koruptor berusia 60 tahun ke atas dan sudah menjalani dua pertiga tahanan.
Ketiga, napi tindak pidana khusus yang mengidap sakit kronis dan telah menjalani dua pertiga masa tahanan. Dinyatakan oleh pihak rumah sakit pemerintah.
Keempat, napi WNA asing.
Tapi, revisi ini pun masih akan dilaporkan dalam rapat terbatas dengan Presiden Jokowi. Sesuai prosedur dan pertimbangan yang ketat.
Jadi sebenarnya, keputusan Kemenkumham membebaskan napi non koruptor itu sudah sesuai undang-undang. Dibolehkan. Demi mengurangi jumlah tahanan. Tapi itupun hanya tahanan yang berkelakuan baik dan memang sudah layak mendapat permohonan bebas bersyarat.
Lalu kebijakan Kemenkumham ini kemudian ditentang oleh DPR. Dari Fraksi PKS dan Nasdem. Dianggap diskriminatif karena peraturan Kemenkumham tersebut tidak berlaku untuk koruptor. Lalu Yasonna bersedia melakukan revisi, dengan kriteria seperti yang sudah saya sebutkan dalam artikel ini.
Tapi kemudian media getar dan buzzer getar menganggap semua koruptor mau dibebaskan, gara-gara corona.
Bagi menteri sekelas Yasonna, yang juga merupakan politisi senior, ini hanyalah soal prosedur, etika dan aturan. DPR minta revisi, oke. Tapi keputusan di Presiden. Bahwa nanti Presiden menolak membebaskan koruptor, seperti usulan Nasdem dan PKS, ya mereka harus menerima dan menghargai.
Ini memang jalan yang harus dihadapi dan diselesaikan. Karena bagaimanapun Menteri juga harus mau mendengar usulan DPR. Begitupula DPR, harus terima dengan keputusan Presiden.
- Source : seword.com