Hadapi Corona: Menpar Beri Diskon Pesawat, Menkes Berdoa, Menkominfo Sembunyi
Masih terkait virus corona. Ketidak percayaan pihak asing dan sebagian warga Indonesia terhadap pemerintah, yang dinilai tak mampu mendeteksi virus corona, diakibatkan karena buruknya komunikasi para menteri. Termasuk Presiden Jokowi juga.
Bayangkan, semua negara sedang serius antisipasi virus corona, di negara kita justru memberi diskon penerbangan agar orang bepergian. Malah berencana membayar influencer mancanegara untuk mempromosikan wisata Indonesia. Ya ngga nyambung. Semua negara sedang fokus menangani virus corona, Arab Saudi malah menutup negara mereka dari kunjungan orang asing, di kita kok malah mau membuka pintu lebar-lebar dan memberi diskon?
Dengan kebijakan ini saja sudah cukup untuk membuat pihak asing, untuk menilai kita tidak paham terkait situasi yang sedang terjadi sekarang. Tapi itu baru dari satu Kementerian Pariwisata.
Dari Menteri Kesehatan, yang terdengar nyaring di media justru pernyataan doa yang menyelematkan warga negara Indonesia. Padahal Menteri Kesehatan seharusnya lebih ilmiah. Lebih teknis menjelaskan terkait penanggulangan virus corona.
Misalkan memberikan informasi terkait apa yang sudah dilakukan sejauh ini. Berapa dokter dan tenaga ahli yang sudah dilibatkan dan menguji sampel pasien yang flu dan batuk, yang menurut WHO sudah harus masuk dalam kategori dicurigai virus corona.
Yang paling krusial tentulah pemeriksaan di bandara dan pelabuhan. Sebagai pintu masuk orang asing ke Indonesia. Seperti apa pelayanan dan pemeriksaannya?
Atau yang paling sederhana adalah hotline dan alokasi anggaran khusus untuk pencegahan dan pemeriksaan.
Informasi terkait itu semua harus ada. Harus disebarkan. Baru masyarakat bisa melihat kalau kita sudah melakukan segala tindakan pencegahan. Dan setelah itu, seharusnya masyarakat lebih mudah untuk percaya bahwa belum ada kasus virus corona di Indonesia.
Apa yang terjadi sekarang, hampir tak ada informasi terkait penanganan di lapangan. Malah bilang ini semua berkat doa kita bersama. Maka jangan heran kalau media sedikit melakukan spin, menyebut angka suspect corona, banyak pihak kaget dan menafsirkan sendiri-sendiri. Seolah negara kita sudah darurat corona.
Ini soal persepsi yang harus dimenangkan. Penanganan yang biasa-biasa saja namun diinformasikan, dampak persepsinya jauh lebih baik. Ketimbang penanganan maksimal dan ketat, tapi tak ada informasi atau dokumentasinya.
Bukannya saya tak percaya dengan kekuatan doa. Saya juga muslim. Bukannya saya tak percaya dengan doa qunut Wapres. Tapi ini soal persepsi. Ini tentang masalah virus dan medis yang harus kita hadapi secara logis. Doa itu urusan masing-masing, silahkan saja lanjut. Tapi jangan diandalkan seolah hanya doa saja yang dapat kita lakukan saat ini.
Kalau sudah begini, ya wajar kalau pihak asing dan masyarakat kita sendiri curiga negara tak mampu mendeteksi.
Selain itu, Menkominfo saharusnya berperan penting dalam hal penyebaran informasi di media. Sederhana saja, misalnya mengarahkan agar media menggunakan istilah dicurigai, ketimbang suspect. Memanggil pihak-pihak wartawan dari beberapa media yang sebelumnya sudah menuliskan berita meresahkan akibat ketidak pahaman logika awam.
Ini bukan mendikte, tapi lebih kepada memberikan cara yang benar untuk informasi yang benar. Orang-orang kita banyak tak paham apa itu suspect. Ya kalian mungkin banyak yang paham, tapi orang-orang desa?
Dan satu yang harus terus ditempel dan dijelaskan di semua berita, adalah penjelasan terkait penetapan pasien yang dicurigai terjangkit virus corona. Yaitu mereka yang terkena flu, demam dan batuk.
Dalam hal pencegahan, Kominfo juga sudah seharusnya bisa menonaktifkan/memblokir URL dari berita yang dinilai framing atau berpotensi menimbulkan misinformasi di kalangan masyarakat.
Yang terjadi sekarang, Menkominfo tidak informatif. Di saat Indonesia dihajar berbagai isu dan persepsi negatif dari pihak asing, Menkominfonya entah ke mana. Maksud saya, apa gunanya punya Menkominfo yang tidak informatif? Sekalian aja ga perlu Menkominfo.
Sebenarnya, dalam banyak kasus, Presiden Jokowi tampil sebagai senjata terakhir. Ya karena menteri-menterinya adalah orang-orang tua yang tak mau belajar berkomunikasi. Akhirnya ya sosial media Presiden sendiri yang turun tangan menginformasikan kepada masyarakat.
Tapi sekarang, yang terlihat di facebook malah Jan Ethes disuapin eskrim. Ya ga salah sih, ini kan hari minggu. Libur. Menjadi salah karena belum ada juga informasi terkait virus corona, untuk melawan narasi-narasi negatif dari pihak asing.
Saya paham bahwa Menteri Pariwisata fokus pada peningkatan pendapatan. Tapi ya harus paham situasi dan kondisi yang sedang terjadi. Jangan malah memaksakan. Ini soal strategi. Dalam setahun ada 12 bulan. Kadang kita tak bisa profit di semua bulan.
Saya juga paham bahwa Menteri Kesehatan mungkin sudah malas ditodong wartawan dan seterusnya. Tapi itulah resiko pekerjaan dan harus dihadapi dengan fokus. Kalau menjawab doa menangkal virus corona, justru merugikan negara.
Saya juga paham Menkominfo mungkin takut menghadapi media. Karena latar belakangnya juga bukan IT dan informasi. Diam dan sembunyi mungkin efektif menjaga citra, tapi itu tak menyelesaikan apa-apa.
- Source : seword.com