Dahulu Dihempaskan, Kini Amien Rais Puji Habibie Setinggi Langit
Benar sekali ungkapan yang cukup populer di masyarakat, bahwa kalimat yang keluar dari mulut politikus itu tak mudah dipercaya, karena nilai benar dan salah yang diucapkannya tergantung kepada maksud di balik kalimatnya.
Demikianlah yang kita cermati ketika Amien Rais mengeluarkan komentar tentang Almarhum BJ Habibie, Presiden ke-3 Republik Indonesia. Dipujinya setinggi langit, karena kita tahu sosok itu tak lagi menjadi ancaman secara politik bagi dirinya.
Sangat kontras jika kita mintakan komentarnya dua puluh tahun lalu, ketika Amien menjabat Ketua MPR saat itu. Di tangannya lah BJ Habibie dihempaskan sedemikian rupa, karena kursi panas yang diduduki Almarhum, sangat menggoda. Tak penting soal nasib bangsa, seandainya kursi Presiden itu dipaksa dilepas dari tangan Habibie.
Bagi komplotan Amien Rais saat itu, yang paling menjadi fokus pikirannya, agar segera seluruh kekuatan yang menghadang ambisinya dienyahkan, sehingga jalan menuju kekuasaan tertinggi di negeri ini diperolehnya dengan tanpa hambatan berarti.
Tanpa perhitungan panjang tentang nasib bangsa, yang menjadi warisan bagi generasi yang akan datang, yang seharusnya dijaga dari tangan-tangan kotor yang akan merusak tata kehidupan berbangsa, namun oleh sekelompok yang diantaranya adalah Amien Rais yang berdiri paling depan, harapan Indonesia untuk segera tinggal landas, hilang lenyap dalam sekejap.
Tahukah konsekwensi dari ketok palu Amien Rais saat itu, yang menolak pidato pertanggungjawaban BJ Habibie ? Setelah turun dari podium, Habibie yang namanya dikenang justru oleh kalangan luar negeri, sebagai sangat berjasa, akhirnya mengurungkan niatnya kembali mencalonkan diri sebagai Presiden.
Jasa Habibie dikenang oleh kalangan luar negeri, misalnya bagi rakyat Timor Leste, yang memberi mereka jalan untuk memerdekakan diri, justru tak dianggap cukup oleh kelompok Amien Rais, karena semata-mata obsesi kekuasaan menjadi fokus di pikirannya, lebih dari kepentingan bangsa yang lebih luas.
Jika kita mengandai-andai, ketika itu rakyat Indonesia telah mengalami demokratisasi seperti saat ini, dan pemilihan Presiden langsung diberikan kepada rakyat, bukan hal yang mustahil Habibie kembali akan mendapatkan mandat. Namun patut pula kita beri pujian dan acungan jempol kepada BJ Habibie, yang tanpa melakukan upaya politik terhadap keputusan MPR yang dipimpin sang sengkuni, semata-mata karena kepentingan yang lebih luas dibanding dengan ambisi pribadinya.
Habibie akhirnya memutuskan untuk mengurungkan niat kembali mencalonkan diri sebagai Presiden, sementara masa jabatannya baru diembannya hanya selama satu setengah tahun, dari masa jabatan normal yang lima tahun bagi seorang Presiden.
Seandainya pujian Amien Rais saat ini keluar dari lubuk hati terdalamnya, dan tidak terlambat disadari, dalam arti dia mengatakan hal yang sama ketika pada tahun 1999 masih menduduki kursi Ketua MPR, tentu sejarah akan mencatatnya secara berbeda.
Sayangnya, kita hanya bisa membaca ke arah mana Amien Rais akan melangkah, seandainya kesempatan baginya terbuka. Bukan hanya seorang BJ Habibie yang dengan dukungan mayoritas suara anggota MPR saat itu, didongkelnya dengan mudah dari kursi kekuasaan, bahkan bagi seorang Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat sekalipun, Amien Rais demikian beraninya mengganggu mengintimidasi publik.
Hal yang kita bicarakan adalah manuver Amien Rais, yang dengan kenekatannya berupaya melakukan permufakatan jahat, tujuannya hanya satu, kekuasaan Presiden Jokowi digoyang, dan tentu saja demi keuntungan pribadinya sendiri.
Dengan mengandaikan hal yang sama, jika saja Amien Rais berhasil mendongkel kekuasaan Presiden saat dirinya memprovokasi publik, dan Joko Widodo berhasil dilengserkan, barangkali kata-kata pujian yang sama akan dialamatkan kepada Jokowi dari mulutnya, sebagaimana diucapkannya kepada BJ Habibie.
Dalam perhitungan matematis, ketika BJ Habibie menduduki kursi Presiden, nilai kurs rupiah dengan cepat membaik, menunjukkan kepercayaan publik terhadap pemerintah dalam penanganan ekonomi, sangat baik. Namun sangat janggal, ketika kondisi itu sangat menguntungkan, justru secara politik Habibie tidak mendapat dukungan, dan akhirnya harus berhenti di tengah jalan.
Menyadari kondisi yang merugikan bagi kepentingan nasional seperti itu, tentu publik saat ini sedang bertanya-tanya, peran apa yang dimainkan oleh kalangan politisi saat itu, yang karena eforia mendapatkan kekuasaan sepeninggal rezim Orde Baru, tega menghempaskan Presiden yang sedang menata kembali bangsa ini agar pulih dari keterpurukan.
Ironisnya, salah satu sosok yang paling bertanggungjawab dalam hiruk pikuk politik saat itu, adalah orang yang saat ini memuji-muji sosok yang dahulu memberi bangsa kita harapan besar. Dialah Amien Rais, yang bertanggung jawab atas kegagalannya mengawal reformasi secara benar.
Ternyata reformasi yang ditafsirkan oleh rakyat sebagai perbaikan bagi seluruh sendi kehidupan berbangsa, sangat jauh dari penafsiran seorang Amien Rais. Karena baginya, reformasi itu mudah diterjemahkan sebagai sarana bagi dia dan kelompoknya, mengais kekuasaan, meskipun dengan mengorbankan masa depan bangsa.
- Source : seword.com