Survei Kompas Memperkuat Dugaan Generasi Muda Indonesia Darurat Radikalisme?
Hasil survey litbang Kompas yang menyatakan bahwa 47% pemilih pemula usia kurang dari 22 tahun memilih Prabowo-Sandi, mengingatkan penulis kepada ironi lembaga pendidikan di Indonesia.
Ironi lembaga pendidikan di Indonesia tersebut sedikit terungkap ketika lebih dari 1.600 siswa Kerohanian Islam (Rohis) berkumpul di Bumi Perkemahan Cibubur, Jakarta Timur, Mei 2016.
Pemerintah mengumpulkan para aktivis Rohis unggulan tingkat SMA se-Indonesia untuk mengedukasikan kembali pedoman hidup bertoleransi.
Pada saat bersamaan, pertemuan itu membuahkan kesimpulan bahwa sekolah kini berpotensi jadi ruang penyemaian radikalisme.
Berdasar hasil riset dari 1.626 angket peserta Rohis, Wahid Foundation menyimpulkan potensi radikalisme di kalangan aktivis Rohis cukup mengkhawatirkan.
Simpulan itu merujuk dari pandangan para peserta terhadap isu-isu pidana dan politik Islam, dukungan terhadap organisasi radikal, serta tingkat partisipasi tindakan radikal.
Respons para siswa di antaranya berkaitan dengan dukungan terhadap ide kekhalifahan (78 persen), meyakini Osama bin Laden mati syahid (37 persen), dan siap berangkat jika ada panggilan berjihad ke Palestina, Suriah, atau Poso (68 persen).
Sebanyak 33 persen responden juga meyakini bahwa Amrozi dan Bahrun Naim adalah contoh muslim yang mempraktikan jihad sejati.
Riset bertajuk Laporan Narasi Potensi Radikalisme Rohis itu menyimpulkan bahwa para aktivis Rohis itu merupakan calon-calon potensial yang bisa dipengaruhi pemikiran radikal untuk menjadi 'pengantin' --istilah yang digunakan untuk para pelaku bom bunuh diri atas nama jihad.
Jika sekolah diibaratkan sebagai ruang semai para remaja tanggung yang siap jihad, maka pemupukannya ada di tingkat kampus.
Direktur Wahid Institute Yenny Wahid mengatakan, selama ini tak sedikit orang yang salah kaprah menganggap radikalisme dekat dengan kelompok berpendidikan rendah dan berpenghasilan kecil.
"Ternyata itu tidak ada hubungannya sama sekali. Contoh Bahrun Naim, S2 UI dan anak saudagar batik di Solo. Dia sekarang ISIS," kata Yenny di Balai Kartini, Jakarta Selatan, Senin (14/8).
Itu baru tingkat SMA.
Bagaimana pula untuk tingkat pendidikan yang lebih tinggi lagi?
Mari simak bersama ulasan berikut.
Mobil yang membawa Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto tiba di depan kantor HTI di Crown Palace, Tebet, Jakarta Selatan, pada awal bulan ini. Ia didampingi oleh tiga orang ketika turun dari mobil dan langsung menyapa Tim CNNIndonesia.com.
Ismail langsung mengajak masuk ke dalam kantornya. Dia bepesan untuk tidak memotret bagian dalam kantor HTI. Kantor HTI tampak sepi pasca-dicabutnya SK badan hukum organisasi tersebut. Tulisan HTI di depan kantor, ditutup kain hitam.
Ismail pun langsung mengajak ke sebuah ruangan guna melakukan wawancara. Dia mulai bercerita tentang konsep Khilafah yang mereka usung untuk ditegakkan. Dia juga menjawab tudingan soal anti-Pancasila.
HTI dibubarkan pemerintah karena dianggap bertentangan dengan Pancasila dan mengancam keutuhan bangsa Indonesia.
HTI merupakan perpanjangan Hizbut Tahrir, sebuah partai politik yang lahir di Palestina. Hizbut Tahrir memiliki arti Partai Pembebasan.
Organisasi yang mengusung agar syariat Islam ditegakkan secara khafah itu, dikabarkan sudah memiliki anggota hingga 2 juta orang. HTI masuk ke Indonesia sekitar tahun ’80-an. Ismail menceritakan bagaimana kaderisasi anggota HTI dilakukan.
Ismail mengatak pihaknya menyasar semua kalangan untuk dijadikan ‘aktivis’ HTI, mulai dari akademisi, profesional, birokrat, pengusaha, pelajar hingga mahasiswa. Ada sebuah badan untuk menggalang kader dari masing-masing segmentasi tersebut.
Kelompok mahasiswa sendiri menjadi bidikan utama HTI.
Ismail menyebut dalam melakukan pengkaderan kalangan mahasiswa, mereka membentuk sebuah organisasi, Gerakan Mahasiswa (Gema) Pembebasan.
“Kalau yang disebut dengan berafiliasi ya itu ya seperti Gema Pembebasan, itu memang kita yang membentuk. Gema Pembebasan itu kan gerakan mahasiswa pembebasan,” kata Ismail.
Selain menggunakan Gema Pembebasan sebagai organisasi sayap untuk menjaring kader, para aktivis HTI juga ‘menyusup’ ke lembaga dakwah kampus yang ada di setiap universitas.
Namun Ismail tak mau disebut pihaknya menyusup ke lembaga dakwah yang ada di kampus-kampus untuk menjaring kader.
“Ini juga pembinaan yang biasa, yang wajar gitu. Jadi kalau disebut menyusup itu, itu lah yang kemudian terjadi monsterisasi itu kayak gitu. Istilah menyusup seperti itu. Padahal sebenarnya juga yang diomongin dakwah, sebagaimana yang lain-lain juga berdakwah,” ujarnya.
Konsep Khilafah yang diusung HTI tumbuh subur di perguruan tinggi negeri. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya mahasiswa di perguruan-perguaran tinggi negeri bergabung menjadi aktivis HTI, baik masuk dalam Gema Pembebasan atau ikut di lembaga dakwah.
Sebut saja kampus Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Padjadajaran (Unpad), Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Sebelas Maret (UNS) hingga Universitas Indonesia (UI).
“Yang penting dia mengikuti pembinaan halaqah bersama Hizbut Tahrir untuk memahami saqafat mutabana yang saya sebutkan itu. Ada nizam islam, ada nizam hukum, ada nizam itisodi, ada nizam istimai, ada macam-macam,” tuturnya.
“Termasuk membahas mengenai khilafah itu apa. Di situ mengkaji mengenai khilafah, lalu khilafah seperti apa. Kira-kira sistem pemerintahan itu kayak apa, nah itu dibahas,” ujar dia.
Sebagai anggota HTI, menurut Ismail, mereka wajib menyebarluaskan pandangan Khilafah ke setiap tempat mereka berada. Baik kepada sesama teman angkatannya, sesama fakultas hingga saat berada dalam lembaga internal kampus.
Lembaga internal kampus ini bisa berupa Badan Eksekutif Mahasiswa, Himpunan jurusan hingga lembaga dakwah kampus.
Peneliti HTI, Arif Mulizar memberikan gambaran bagaimana HTI masuk ke dalam kampus hingga merekrut mahasiswa menjadi anggotanya. Arif merupakan alumni Unpad dari Fakultas Ilmu Komunikasi.
Dia menghabiskan sisa masa kuliahnya untuk meneliti HTI. Arif menjadikan HTI sebagai subjek dan objek penelitian untuk bahan skripsi dan tesisnya. Dia pun mengaku sempat menjadi simpatisan HTI selama melakukan penelitian untuk dua tugas akhirnya itu.
Arif mengatakan, HTI masuk ke dalam kampus tidak dengan membawa benderanya. Mereka menyelimuti ‘pergerakannya’ dengan masuk ke sejumlah lembaga yang ada di kampus-kampus, termasuk di Unpad sendiri.
Untuk di Unpad sendiri, HTI masuk lewat lembaga dakwah kampus. Organisasi transnasional itu bergerak menjaring mahasiswa, baik itu tingkat jurusan, fakultas serta yang rajin beribadah di masjid.
Dalam proses rekrutmen ini, setiap anggota atau simpatisan HTI akan mendatangi mahasiswa yang dinilai memiliki potensi. Mereka langsung mendekati mahasiswa yang ‘diincar’ satu per satu.
“Kalau di kampus sih, jadi konsep rekruitmennya gini, HTI itu dia milih orang, dia enggak asal,” katanya.
Arif menuturkan, mahasiswa yang baru dijaring untuk masuk ke HTI tak bisa langsung disebut anggota. Mereka baru disebut sebagai simpatisan selama menjalani proses rekrutmen. Menurutnya, selama menjadi simpatisan mereka harus menamatkan tiga kitab, yakni Nizamul Islam, Takattul dan Mafahim.
“Kalau dia sudah tamatkan sampai tiga kitab itu baru dia akan namanya di-kosam. Kalau di-kosam dia sudah disumpah,” ujarnya.
Simpatisan HTI dikenal dengan sebutan darif, sementara untuk anggota disebut musyrif. Prosesi kosam atau sumpah ini yang harus dilalui darif untuk menjadi musyrif.
“Kalau dia disumpah, statusnya berubah, dari darif atau orang yang belajar dia mulai boleh menjadi musyrif, boleh mengajarkan kitab. Sehingga dia bisa melakukan rekruitmen dan mengajarkan langsung,” tutur Arif.
Selama menjadi bagian HTI sebagai simpatisan, Arif menyebut ada sejumlah kegiatan rutin yang dilakukan HTI. Mereka menggelar diskusi setiap seminggu sekali di hari Kamis. Kemudian pada Jumat, mereka menyebarkan selebaran bernama Al-Islam.
Al-Islam merupakan buletin yang diterbitkan rutin oleh HTI pada Salat Jumat. Isi dari buletin tersebut seragam dari Aceh sampai Papua. Namun pasca-dibubarkan pemerintah, Al-Islam berhenti terbit untuk sementara.
Arif menyatakan selain di Unpad, HTI juga sudah masuk ke kampus-kampus yang ada di wilayah Bandung dan sekitarnya, seperti ITB, Universitas Islam Bandung (Unisba), Universitas Komputer Indonesia (Unikom) hingga Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).
Artikel ini mungkin hanya salah satu dari sekian banyak yang berusaha untuk menjawab tentang mengapa Jokowi dikalahkan oleh pemilih pemula serta yang berpendidikan tinggi.
Namun terlepas dari konteks politik, pada akhirnya fenomena seperti yang telah diulas tersebut wajib menjadi perhatian semua pihak guna pencarian solusi terbaiknya, agar generasi muda Indonesia dapat bebas dari darurat radikalisme, yang memang telah rembes serta menyusup kemana-mana.
Gambar: CNN Indonesia.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170814132927-20-234597/jurus-tiga-kitab-penyokong-khilafah/1
- Source : seword.com