Pertanyaan Wartawan TV One Semakin Menambah Trauma Korban Tsunami Banten
Bagi saya pribadi, ketika nama TV One disebut, angan dan pikiran saya segera tertuju pada perhelatan Pilpres 2014 yang begitu riuh itu. TV One, stasiun televisi milik Aburizal Bakrie itu, tampil menjadi “media propaganda” Prabowo-Hatta.
Dan puncak dari “kegilaan” TV One adalah ketika stasiun televisi tersebut menyiarkan hasil perhitungan cepat yang berbeda sendiri dengan beberapa hasil perhitungan cepat berbagai lembaga survei lainnya, yang juga disiarkan oleh stasiun televisi swasta yang lain pada saat hari H pencoblosan Pilpres 2014.
Ternyata kegilaan TV One tak kunjung sembuh hingga kini. Stasiun televisi dengan tagline “memang beda” ini, masih kerap melakukan praktik jurnalisme yang tidak sesuai dengan kaidah dan etika jurnalistik. TV One nampaknya hanya ingin mengejar rating saja tanpa pernah menyeriusi pembenahan kualitas siarannya dan kualitas para wartawannya di lapangan.
Hal itu terlihat dalam sebuah liputan terhadap korban tsunami Banten dalam acara Kabar Petang kemarin. Wartawan yang melakukan wawancara kepada salah satu korban sepertinya asal tanya saja tanpa memikirkan apakah pertanyaannya itu pantas atau tidak. Ia tidak peka terhadap situasi dan kondisi yang sedang dihadapi korban.
Sekalipun tugas seorang jurnalis adalah untuk mencari berita, namun ia juga harus tetap mengedepankan sisi humanis dalam liputannya. Ia harus mampu membedakan setiap kondisi yang ia hadapi di lapangan. Apakah dalam kondisi senang, dalam kondisi susah, atau dalam kondisi berduka seperti dialami oleh warga Banten dan Lampung Selatan itu.
Melihat wartawan TV One yang cenderung tidak tahu norma dan tatakrama itu, ke depannya, stasiun televisi milik keluarga Bakrie itu harus benar-benar memperhatikan proses seleksi wartawan baru yang akan bekerja di perusahaannya itu. Sebab kualitas sebuah stasiun televisi berita seperti TV One, sangat ditentukan oleh para wartawannya di lapangan.
Namun, melihat kinerja para wartawan TV One selama ini, nampaknya masih jauh dari kata berkualitas dan profesional. Mereka kerap berbicara seperti tidak beradab. Pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan kepada para narasumbernya terkadang seperti seorang presenter kuis. Mengajukan pertanyaan hanya ingin tau jawabannya tanpa perlu tahu apakah pertanyaan itu pantas atau tidak ditanyakan.
Hal itu terjadi pada salah seorang wartawan TV One saat mewawancarai salah satu korban tsunami Banten bernama Sofian Saleh kemarin (28/12). Pertanyaan yang ia ajukan kepada korban cenderung ngasal, dan justru semakin menambah trauma si korban. Dalam kondisi porak-poranda begitu, semestinya si wartawan harus mampu bersikap dengan baik.
Wartawan : Rumah Bapak yang mana?
Korban : Yang ini. Ini nih. (Sambil menunjuk rumahnya yang sudah rata dengan tanah.)
Wartawan : Yang mana lagi, Pak?
Korban : Yang situ, depan.
Wartawan : Bisa diceritakan kerusakan rumahnya, Pak?
Korban : Ya, parah.
Si wartawan sudah jelas-jelas melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa rumah-rumah di tempat ia melakukan peliputan telah rata dengan tanah. Kenapa lagi ia harus menanyakan, “Bisa diceritakan kerusakan rumahnya, Pak?” Saya pikir ini sebuah pertanyaan bodoh yang sangat tidak wajar ditanyakan oleh si wartawan.
Perasaan korban masih bercampur aduk. Datang lagi si wartawan meminta agar korban menceritakan kerusakan rumahnya. Bukankah hal itu justru akan semakin menambah rasa trauma korban? Si korban sudah kehilangan rumah dan seluruh harta bendanya. Tapi si wartawan justru menanyakan bagaimana proses hilangnya harta benda si korban.
Kurang ajar betul. Dan tidak berhenti sampai di situ saja. Si wartawan masih melanjutkan pertanyaan-pertanyaan anehnya yang sungguh tidak berperikemanunisaan. Bukan justru menghibur dan menyemangati korban, wartawan TV One tersebut justru semakin menambah kesedihan korban. Ia lalu melanjutkan pertanyaannya:
Wartawan : Apa saja yang hilang, Pak?
Korban : Harta benda, rumah, ijazah dan surat-surat penting lainnya.
Wartawan : Seberapa penting surat-surat itu untuk Bapak dan keluarga?
Ya, pentinglah! Pertanyaan apaan itu? Anak TK saja jelas-jelas tahu bahwa ijazah itu penting. Lalu kenapa si wartawan harus menanyakan itu lagi. Apa dia tidak memiliki persiapan atau briefing terlebih dahulu sebelum melakukan wawancara? Sebab kualitas pertanyaannya setara dengan pertanyaan anak SD yang sedang melakukan praktik wawancara.
Baru saja nonton stasiun televisi yang “Memang Beda” itu, setelah sekian lama tidak pernah menonontonnya, segera membuat diriku kesal dan muak. Sudah tahu musibah masa pertanyaannya gitu. TV One memang benar-benar beda. Berbeda bukan karena lebih baik dari stasiun televisi yang lain. Tapi berbeda karena ketidakprofesionalannya.
- Source : seword.com