Ramalan Mengerikan Gaddafi Tentang Eropa Menjadi Nyata!
Arus imigran Afrika yang kerap mendatangi negara-negara Eropa nampaknya akan semakin meningkat dalam beberapa tahun ke depan. Selama berpuluh-puluh tahun, Libya lah yang berperan mencegah gelombang pengungsi Afrika melarikan diri menuju Eropa. Namun, ketika sekarang Libya berada di bawah kekuasaan para pemimpin Eropa, ramalan mengerikan yang pernah disampaikan Kolonel Muammar Gaddafi bersiap menjadi kenyataan.
Ramalan mantan pemimpin Libya Muammar Gaddafi perlahan berubah menjadi nyata saat gelombang imigran miskin Afrika menyerang wilayah perbatasan Spanyol-Maroko pada tanggal 26 Juli lalu, tulis contributor kantor berita Sputnik Jerman Bernhard Schwarz. Ia menekankan bahwa kejadian ini turut memberikan sinyal peringatan yang kuat pada Jerman.
“Akibat mengalami keputusasaan dan kelaparan, mereka rela mempertaruhkan nyawanya dan nyawa para penjaga perbatasan untuk bisa sampai di Eropa. Mereka akan lakukan apapun untuk sampai ke Eropa. Kebrutalan mereka terhadap oknum kepolisian yang baru-baru ini terjadi juga sangat mengejutkan. Sayangnya, Uni Eropa masih belum bereaksi terhadap kejadian ini, kecuali kejadian serupa juga terjadi di wilayahnya. Namun jika hal semacam ini sampai terjadi, Eropa dipastikan berada dalam bahaya,” sang jurnalis asal Jerman memperingatkan.
Pada tanggal 26 Juli lalu, sebanyak 800 imigran asal Afrikan menyerbu pagar pembatas setinggi tujuh meter yang memisahkan wilayah Moroko dan Spanyol. Dalam kejadian ini 602 imigran berhasil memasuki wilayah Spanyol. Dilaporkan bahwa para imigran tak segan melempar bebatuan, tongkat, bom Molotov bahkan kotoran untuk menyakiti para petugas penjaga.
Sebagai hasilnya, sebanyak 132 imigran dan 15 petugas kepolisian mengalami luka-luka.
Organisasi Internasiolan urusan Imigrasi sendiri sebelumnya melaporkan, sejak awal tahun 2018 tercatat ada 3.125 warga negara Afrika yang berhasil memasuki Uni Eropa setelah melintasi wilayah perbatasan Spanyl, Melilla dan Ceuta.
Peringatan Gaddafi Pada NATO
“Dengar wahai kalian pasukan NATO,” ujar Gaddafi di malam saat pasukan NATO menginvasdi Libya di tahun 2011. “Kalian sedang membombardir dinding penahan gelombang imigran Afrika dan teroris al-Qaeda yang ingin memasuki Eropa. Dan dinding itu adalah Libya.”
Setelah era Gaddafi berakhir, Libya berubah menjadi negara gagal yang tak memiliki hukum dan aturan resmi dari dua kelompok pemerintah penguasanya. Sementara itu, pemberontak Libya yang dulunya digunakan AS dan Prancis sebagai alat untuk menggulingkan Gaddafi nyatanya tak mengembalikan seluruh senjata yang sempat dipinjamkan oleh kedua negara ini. Persediaan senjata milik Gaddafi yang kala itu dijarah para pemberontak juga membuat Libya berubah menjadi negara yang memiliki pasar gelap senjata terbesar saat ini.
“Situasi serupa ternyata juga terjadi di Irak, Afghanistan dan juga Suriah setelah Amerika mengintervensi ketiga negara tersebut sebelum pada tahun 2015 Rusia akhirnya menginjakkan kaki di sana,” Schwarz menjelaskan sambil menekankan bahwa para pencari suaka saat ini tengah bersiap menuju Jerman dari ketiga negara yang disebutkan di atas.
Kendati demikian, upaya yang dilakukan Kanselir Jerman Angela Merkel dalam mengatasi masalah pengungsi ini justru mengingatkan kita pada ketidakberdayaan Kekaisaran Roma menjelang keruntuhannya. Menurut Schwarz, kebijakan yang dibuat Merkel saat ini jauh berbeda dengan kebijakan pemerintah sebelumnya, Willy Brandt yang menjadi Kanselir Jerman dari tahun 1969 sampai 1974 dan Helmut Schmidt yang menjabat dari tahun 1974 sampai 1982.
Baik Brandt maupun Schmidt dari jauh-jauh hari telah memperingatkan bahwa arus imigran yang datang ke Jerman akan semakin tak terkendali. Mereka merasa dampak arus imigran ini nantinya akan memberikan konsekuensi serius bagi seluruh masyarakat Jerman. Omongan mereka terbukti benar karena saat ini data menunjukkan ada sekitar 10,6 juta pendatang dari luar negeri yang tinggal di Jerman, sementara arus pengungsi lainnya terus berdatangan ke Jerman.
- Source : sputniknews.com