Melacak Temuan Benda Kuno di Situs Taman Sari Magelang: Sisa Kerajaan Besar?
Beberapa waktu lalu seorang petani di Desa Kalibening, Magelang, Jawa Tengah menemukan sejumlah peninggalan bersejarah. Benda itu berupa lumpang, gandik, yoni, relief kosong dan patung.
Sejumlah spekulasi bermunculan mengenai temuan benda bersejarah itu. Balai Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah sempat menduga
bahwa situs Tamansari itu merupakan peninggalan masa klasik abad 8-9 Masehi. Masa tersebut merupakan era kejayaan Kerajaan Mataram Kuno di Tanah Jawa dan Nusantara.
Namun berdasarkan penelitian literatur yang dilakukan Peneliti Merapi Cultural Institute, Hrb. Binawan, penemuan tersebut diduga kuat terkait dengan keberadaan sebuah kerajaan besar di abad ke-8 atau kurang lebih tahun 717 M yang bernama Medhang Metriam atau Medhang Metriam Poh I Pitu yang berpusat di desa Adireja sebelah timur Gunung Buthak, kini wilayah Kabupaten Temanggung.
"Catatan Brandes, JLA. 1913 'Oud-Javaasche Oorkonde, nagelaten transcripties van wiljen Dr.J.L.S. Brandes, uitgegeven door N.J.Krom. VBG LX, Medhang berarti mandiri atau merdeka. Metriam berarti ibu atau induk. Medhang Metriam sejatinya kerajaan yang merdeka yang juga adalah induk dari kerajaan Medhang Galuh, Medhang Pakuwon dan Medhang Metriam itu sendiri. Poh I Pitu menandakan keberadaan pohon Poh atau Kepoh yang berjumlah tujuh di dekat tujuh pohon Kepoh itulah Keraton atau Kedaton Medhang Metriam berdiri," jelas Binawan yang juga Dosen di Institut Teknologi Yogyakarta (ITY) ini.
Medhang Metriam didirikan oleh Sanjaya atau Hang Sanjaya yang berdarah campuran. Ibunya bernama Sanaha, wangsa Chandra yang berbadan tidak terlalu besar, berkulit putih dan bermata sipit, sedangkan ayahnya bernama Saladu, wangsa Surya yang berperawakan tinggi besar dan berkulit kemerahan, keturunan India.
"Sanjaya menjadi ratu atau datu dari sebuah kerajaan yang sangat heterogen budaya, bahasa, agama dan suku-suku bangsanya. Kemajemukan ini menjadi sebuah simbol kerukunan dan persatuan yang indah, namun di sisi lain pluralitas juga membawa potensi ancaman bagi eksistensi kekuasaan Sanjaya," tegas Alumni Pascasarjana Pendidikan Bidang Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Sanjaya menghadapi pemberontakan hebat dari para kesatria keturunan India yang menamakan diri mereka Syailendra. Akibatnya, Sanjaya kalah dan harus bergeser ke wilayah timur di sekitar Prambanan atau Prambwana. Lalu dinasti Syailendra otomatis memegang kekuasaan di wilayah barat meliputi Magelang, Yogyakarta, Purworejo, Wonosobo, Kebumen dan sebagainya. Kedua wangsa tersebut, baik yang di timur maupun barat, lambat-laun bercampur, sehingga sampai saat ini tidak ada lagi yang benar-benar murni.
Saat memerintah, Sanjaya banyak dipengaruhi oleh falsafah dan budaya wangsa Chandra. Maka Sanjaya membangun keraton/kedaton dari rumah kayu beratap ijuk dan tidak membangun candi melainkan pagoda kayu. Wangsa Chandra memiliki kebiasaan melarung abu raja/bangsawan ke sungai atau laut. Sementara raja-raja dinasti Syailendra kental dipengaruhi budaya wangsa Surya. Mereka membangun keraton secara permanen dari batu dan membangun candi-candi termasuk prasasti-prasati dalam bentuk ukiran batu. Abu raja/bangsawan disimpan di candi-candi. Di sekitar candi, mereka biasanya membangun tempat pemandian bagi para peziarah sebagai bagian dari ritual pencucian diri.
"Mencermati penemuan pekan lalu maka dugaan sementara benda-benda tersebut berasal dari Medhang Metriam masa kekuasaan dinasti Syailendra, yang mana pada masa itu kerajinan batu gencar digalakkan. Raja-raja Dinasti Syailendra mendirikan candi-candi," terangnya.
Menurut Binawan, pada waktu itu mereka menyimpan abu raja atau bangsawan di candi tersebut. Nah, di dekat candi juga biasa ditemukan tempat pemandian sebagai bagian dari sarana ritual keagamaan. Sementara itu, kandang kuda mengindikasikan sarana transportasi yang digunakan sekaligus level ekonomi para peziarahnya. Secara kebetulan, penemuan tersebut di wilayah Tamansari, Desa Kalibening, tempat pemandian bangsawan yang bening kalinya.
Binawan menjelaskan sebutan Mataram Hindu atau Mataram Kuno sebenarnya agak membingungkan. Kata 'mataram' sesungguhnya kurang secara langsung menunjukkan arti tertentu dalam bahasa Jawa.
"Sementara itu, jika yang kita maksud dengan Mataram Hindu adalah kerajaan yang didirikan oleh Sanjaya, maka agama yang dianut penguasa saat itu adalah Budha, baik Budha Khanung (Sanjaya) maupun Budha Mahayana (Dinasti Syailendra)," pungkasnya.
- Source : news.detik.com