Jepang berupaya memperluas perang dalam ‘pertahanan dan keamanan global’
Meskipun konstitusi negara yang cinta perdamaian, Jepang berencana untuk memainkan peran yang lebih besar dalam “pertahanan dan keamanan global”. Langkah ini dilakukan di tengah tekanan dari Amerika Serikat, dan kemungkinan besar tidak akan duduk dengan rakyat Jepang yang sudah muak dengan petualangan militer baru pemerintahan.
“Dunia menghadapi ancaman internasional keamanan yang terus bertumbuh dan Jepang ingin memainkan peran utama untuk memeranginya,” Keiichi Katakami, Duta Besar Jepang untuk Uni eropa mengatakan di Brussels minggu ini.
“Jepang dan seluruh dunia menghadapi tantangan-tantangan baru dengan pihak-pihak yang memilih untuk menggunakan kekuatan untuk mengintimidasi.”
Komentar Katakami mengacu sebagian kepada persetujuan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe atas anggaran pertahanan negara sebesar $41,4 milyar. Ini menandakan bahwa Tokyo telah menghabiskan dana yang besar pada pertahanan sejak akhir Perang Dunia II, ketika Jepang mengadopsi klausul pasifis dalam konstitusinya.
Dana ini akan digunakan untuk memperoleh kapal-kapal perang baru, dan untuk meng-upgrade kapal-kapal Aegis Jepang. Pemerintah juga mempertimbangkan utnuk membeli sistem Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) yang berbasiskan di darat dari AS.
Kementerian Pertahanan Jepang juga telah menyusun daftar pembelian yang besar untuk perangkat-perangkat militer ini. Daftar ini termasuk 11 kendaraan serang amfibi AAV7, 17 helikopter anti-kapal selam Mitsubishi SH-60K, 4 pesawat Bell Boeing V-22 Osprey, 3 drone RQ-4 Global Hawk, 6 pesawat tempur 35A Lightning II, pesawat angkut militer Kawasaki C-2 dan 36 kendaraan tempur baru.
Peningkatan minat pemerintah Tokyo dalam kekuatan militer datang atas perintah dari Amerika Serikat, yang telah mendesak Jepang untuk memainkan peran yang lebih aktif dalam memerangi pertumbuhan China di Pasifik. Berbicara selama pengarahan yang sama di Brussels, Luis Simon dari Institute of European Studies menekankan bahwa “Jepang adalah landasan strategi pertahanan AS dan postur kekuatan di Asia-Pasifik.”
“Ketika berbicara mengenai keamanan di Asia-Pasifik dan, lebih khususnya di Timur Laut Asia, Jepang dan AS mengkhawatirkan masalah yang sama,” kata Simon. “Salah satu masalahnya adalah, tentu saja, ancaman nuklir dan rudal yang dilancarkan oleh DPRK (Korea Utara).”
“Tapi bisa dibilang kekhawatiran geostrategis yang lebih luas dan sistemik bagi aliansi AS-Jepang adalah munculnya China secara geopolitis dan strategsi, dan potensinya untuk mengubah keseimbangan kekuasaan di wilayah tersebut.”
Washington telah berulang kali mengkritik pembangunan pulau buatan Beijing di Laut Cina Selatan. Sementara China menyatakan bahwa pihaknya memiliki hak untuk membangun di dalam wilayahnya sendiri, dan bahwa pulau-pulau tersebut akan digunakan terutama untuk tujuan-tujuan kemanusiaan, AS telah meluncurkan patroli-patroli militer yang agresif di wilayah tersebut.
“Untuk bertahan, aliansi AS-Jepang harus beradaptasi dengan lanskap geostrategis yang berubah,” kata Simon. “Ini berarti upaya bersama yang lebih besar dalam bidang pertahanan rudal, peperangan bawah laut dan cybersecurity.”
Namun tidak semua pihak setuju dengna rencana pemerintahan Abe. Rencana untuk memperluas kehadiran militer AS di Okinawa telah menimbulkan aksi-aksi protes yang luas. Pulau ini sudah menjadi lokasi bagi 32 fasilitas militer AS, cukup untuk menutupi 20% dari total wilayah Okinawa.
Pemerintahan tersebut juga telah melihat penentangan luas atas disetujuinya RUU yang kontroversial, yang memungkinkan Tokyo untuk mengerahkan pasukan di luar wilayah Jepang dalam sikap militer yang agresif. Sekitar 40.000 orang berdemonstrasi menentang RUU di luar gedung parlemen bulan September lalu.
- Source : sputniknews.com