www.zejournal.mobi
Kamis, 26 Desember 2024

Krisis Pengungsi: Hentikan Peperangan Ilegal, Jangan Salahkan Para Korban

Penulis : Finian Cunningham | Editor : Samus | Jumat, 29 Januari 2016 17:29

Eropa sedang berada dalam lereng licin berbahaya yang meningkatkan xenophobia dan rasisme yang ditimbulkan oleh masuknya para pengungsi. Hukum penyitaan baru di Denmark adalah pertanda dari situasi yang sangat buruk.

Namun jawaban nyata bagi masalah ini berkaitan dengan dukungan Eropa atas perang kejahatan Washington.

Dengan kata lain, warga Eropa harus mengatasi akar peneybab masalahnya, tidak berekasi terhadap gejalanya. Kita seharusnya mempermalukan penjahatnya, bukan para korban.

Kita harus menuntut sanksi-sanksi hukum dan penuntutan terhadap para pemimpin pemerintahan atas pelanggaran berat hukum internasional yang telah mereka lakukan.

Pemerintah-pemerintah Eropa dituduh telah melakukan kejahatan perang, namun kita memungkinkan mereka lepas dari pembunuhan massal. Kemudian kita dikenakan masalah-masalah sekunder seperti perpindahan besar-besaran pengngsi yang melarikan diri dari peeprangan dan konflik – yang telah disebabkan oleh pemerintahan kita – kita secara pengecut dan tidak logis menyalahkan para korban dari kejahatan pemerintah kita.

Bagian dari mempermalukan di publik dari para penjahat akan melibatkan penahanan anggota-anggota Eropa dari aliansi militer NATO yang dipimpin oleh AS untuk bertanggung jawab di hadapan hukum internasional. Pemerintah individu dan para pemimpin militer harus dituntut atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap perdamaian. Bukti-bukti untuk mendakwa ada di luar sana. Fakta bahwa pemerintah Eropa telah mengobarkan peperangan meragukan di luar negeri – dengan impunitas – adalah sangat memalukan dan merupakan akar dari masalah ini.

Peperangan di bekas Yugoslavia, Afghanistan, Irak, Libya, Suriah dan Ukraina serta pembunuhan-pembunuhan oleh drone di Pakistan, Somalia dan Yaman, ditambah dengan operasi militer rahasia di Mali, Niger dan Pantai Gading semuanya memiliki keterlibatan langsung dari negara-negara anggota Eropa. Inggris dan Perancis pada khususnya telah paling menonjol dalam melaksanakan intervensi militer NATO yang dipimpin oleh AS, baik secara terbuka maupun diam-diam, seperti di Libya dan Suriah.

Jutaan orang terlantar yang tak terhitung di seluruh Asia Tengah, Timur Tengah dan Afrika adalah akibat langsung dari militerisme Eropa dalam hubungannya dengan Washington. Bahkan intervensi Perancis di Mali dan Repubik Afrika Tengah dipertanyakan di bawah hukum internasional. Keduanya diluncurkan tanpa adanya resolusi dari Dewan Keamanan PBB.

Selama lima tahun terakhir, Libya mungkin merupakan kasus yang paling mengerikan dari peperangan ilegal yang dilakukan oleh NATO dan negara-negara anggota Eropa, termasuk Norwegia, Denmark, Belanda, Italia, Inggris dan Perancis. Seiring dengan AS, negara-negara ini melanggar mandat PBB untuk membom negara yang paling makmur dan stabil di Afrika menjadi puing-puing belaka. Ribuan warga sipil tewas dalam serangan AS-Uni Eropa yang berlangsung selama enam bulan, yang berpuncak pada pembunuhan brutal pemimpin negara tersebut, Muammar Ghaddafi.

Libya diubah menjadi sebuah negara yang gagal, diserbu oleh kelompok-kelompok ektrimis yang secara ilegal dipersenjatai dan pemerintahan Eropa lah menyebabkan barbarisme ini. Dimana panggilan keadilan bagi kejahatan-kejahatan mengerikan di Eropa yang disebut-sebut beradab dan penerima hadiah Nobel?

Dan lagi, pekan lalu para pemimpin militer Amerika dan Eropa menyerukan intervensi militer lebih banyak di Libya dan Suriah. Deklarasi intervensi militer ini – terlepas dari tujuan lain dari “memerangi terorisme” – merupakan sebuah tindakan agresi ilegal di bawah hukum internasional; menurut pengacara kejahatan perang yang dihormati, Christopher Black yang mengatakan kepada saya. Jadi, di mana kemarahan publik dan panggilan untuk penuntutan atas kejahatan perang oleh pemerintah Eropa dan AS?

Bahkan negara-negara di mana tidak secara langsung terkena dampak oleh militerisme NATO, seperti Eritrea, Sudan dan Kamrun, pengungsi berdatangan dari tempat-tempat ini terutama karena Libya yang merupakan gerbang ke Eropa telah dihancurkan oleh NATO.

Minggu ini kita melihat bahwa parlemen Denmark memilih suara ke dalam langkah-langkah hukum yang memungkinkan para politisi untuk menyita aset para pengungsi dan pencari perlindungan bernilai lebih dari $1.400. Langkah ini telah menimbulkan kontroversi internasional atas kekhawatiran bahwa otoritas Denmark melanggar hak asasi manusia.

Hukum Denmark adalah satu-satunya pertanda yang menandai bahwa Eropa telah menjadi tempat yang semakin memusuhi para pengungsi. Negara-negara seperti Hungaria, Slovenia, Polandia dan Austria telah menutup perbatasan mereka. Bahkan Jerman dan Swedia yang sebelumnya lebih terbuka bagi para pengungsi sekarang membatasi masuknya mereka dan mengirim banyak kembali ke tempat merka berasal.

Di satu sisi, dapat dimengerti bahwa penduduk di negara-negara ini merasa khawatir dengan lonjakan jumlah warga negara asing yang datang. Terutama ketika orang asing tersebut tampak berbeda dalam warna kulit, pakaian dan agamanya. Umat Muslim dari Afrika Utara dan Timur Tengah menjadi perhatian utama bagi banyak orang Eropa.

Serentetan serangan seksual di kota-kota Jerman dan Swedia yang diduga dilakukan oleh “pemuda Arab” telah memicu reaksi luas. Nmaun ada bahayanya dari sebuah reaksi yang berlebihan yang menguntungkan kepentingan politik dari kelompok-kelompok yang rasis. Sebuah majalah kartun Perancis yang menggambarkan seorang anak kecil Suriah yang meninggal karena tenggelam sebagai penyerang seksual dewasa adalah sebuah hasutan yang tidak bertanggung jawab dan menjijikan.

Begitu juga menghasut bahwa para pengungsi merupakan “simpatisan para teroris”. Menyusul serangan teror jihad di Paris pada tanggal 13 November 2015, telah terjadi peningkatan drastis dalam serangan kebencian anti-Muslim yang dilaporkan terjadi di Inggris dan Perancis. Teroris di Paris mungkin telah menyusup di antara para pengungsi Suriah di Eropa. Namun kenyataannya kita harus berfokus tentang mengapa dan bagaimana teroris ini dapat berada di Suriah pada awalnya. Dan mengapa jutaan orang mengungsi dari negara tersebut.

Minggu ini juga telah ada laporan-laporan yang menyatakan bahwa para pencari suaka di Inggris dipaksa untuk memakai gelang berwarna cerah agar mereka memenuhi syarat untuk mendapatkan makanan. Pemakaian gelang berwarna cerah yang mencirikan ini menyebabkan para penggunanya dianiaya di jalanan, menurut surat kabar Guardian.

Sebelumnya, pintu rumah para pencari perlindungan di kota Middlesbrough, Inggris telah dicat merah oleh pihak otoritas lokal. Sekali lagi, diskriminasi ini menyebabkan serangan-serangan oleh preman rasis.

Baik secara resmi atau tidak, Eropa telah menjadi sebuah benteng xenophobia yang rasis. Mengingat sejarah peperangan, perpindahan, fasisme dan penganiayaan genosida benua itu sendiri, pastinya sangat mengganggu dan mengkhawatirkan bahwa benua ini sekali lagi berada di lereng licin menuju mentalitas nihilistik tersebut. Menjadi lebih mengkhawatirkan ketika kita mendengar para pembela tindakan garis keras terhadap para pengungsi yang berbicara mengenai “menjaga turunan dan budaya Eropa.” Mengingat sejarah migrasi Eropa selama ribuan tahun, “darah murni” apa yang harus dibicarakan selain yang ada dalam pengeritan mitos-mitos yang memfitnah?

Untuk membandingkan Eropa dengan kapal tenggelam karena kelebihan beban yang penuh dengan para pengungsi juga bodoh dan tidak bertanggung jawab. Masuknya satu juta pengungsi di Eropa tahun lalu merupakan 0,2 persen dari total penduduk sebanyak 500 juta orang di benua ini. Masuknya para pencari suaka sebanyak 21.300 orang di Denmark tahun lalu merupakan 0,4 persen dari populasi negara tersebut.

“Krisis” pengungsi Eropa telah berubah menjadi kepanikan xenophobia yang irasiolnal yang tidak dibenarkan oleh fakta-fakta. Hal ini menyesatkan orang-orang ke wilayah politik berbahaya akan penganiayaan, diskriminasi rasis dan pada akhirnya masyarakat fasis yang melanggar hak-hak kita sebagai warga negara.

Namun yang jauh lebih penting, histeria terhadap krisis pengungsi ini adalah sebuah pengalihan dari masalah yang sebenarnya. Yaitu bahwa negara-negara Eropaterlibat dalam peperangan agresi yang ilegal dan intervensi perubahan rezim. Pemimpin-pemimpin politik seperti David Cameron dari Inggris dan Francois Hollande dari Perancis, serta Nicolas Sarkozy harus dituntut di pengadilan internasional atas kejahatan mereka terhadap perdamaian. Warga Eropa yang tidak menuntut pemerintah mereka yang nakan adalah masalah yang nyata.

Permalukan penjahatnya, jangan menyalahkan para korban. Jika kita tidak melawan tirani yang bebas hukum ini, maka kita adalah korban berikutnya.


Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar