www.zejournal.mobi
Selasa, 19 November 2024

ISIS di Negara Muslim Terbesar di Dunia

Penulis : Edward Delman - The Atlantic | Editor : Samus | Rabu, 13 Januari 2016 13:32

Dalam beberapa hari terakhir, kabar burung berbunyi bahwa ISIS telah mencapai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Pasukan keamanan di Indonesia, yang merupakan rumah bagi sekitar 200 juta umat Muslim, meluncurkan perburuan bagi pemimpin militan Santoso, yang telah berjanji setia kepada ISIS secara publik. Polisi telah menangkap beberapa tersangka pendukung ISIS di tengah obrolan mengenai rencana-rencana teror, sementara jaksa agung Australia memperingatkan bahwa ISIS sebelumnya berencana untuk mendirikan sebuah “kekhalifahan” di negara kepulauan Asia Tenggara ini. Namun kesibukan tersebut tidak menceritakan seluruh kisah terobosan ISIS di Indonesia. Pertimbangkan ini, misalnya, sementara jumlah pejuang asing yang bepergian ke Suriah dan Irak untuk bergabung dengan ISIS dan kelompok-kelompok ekstrimis kekerasan lainnya diperkirakan menjadi dua kali lipat antara bulan Juni 2014 dan Desember 2015, relatif sedikit yang datang dari Indonesia – setidaknya untuk saat ini. Pertanyaannya adalah: Mengapa?

Indonesia secara pasti telah merasakan gerakan terorisme dan jihad sejak mendeklarasikan kemerdakaan dari Belanda pada tahun 1945. Setelah memproklamirkan sebuah “negara Islam” pada tahun 1949, Darul Islam mengecam negara Indonesia sebagai murtad dan melakukan serangkaian pemberontakan bersenjata melawannya pada tahun 1950-an dan awal 1960-an, sebelum bergerak di bawah tanah. Gerakan Islam militan tersebut kemudian dipecah menjadi beberapa kelompok, dari Laskar Jihad, yang memimpin kampanye anti-Kristen di seluruh Indonesia, sampai Jemaah Islamiyah, yang melancarkan bom Bali pada tahun 2002. Para jihadis Indonesia belum sepenuhnya terfokus pada sasaran lokal; banyak yang pergi ke Afghanistan selama invasi Soviet sebagai mujahidin, meskipun sebagian besar hanya menerima pelatihan daripada terlibat langsung dalam pertempuran di sana.

Selain itu, sudah jelas bahwa ada sebagian yang mendukung ISIS di Indonesia. Sebuah laporan pada bulan September 2014 oleh Institut Analisis Kebijakan Konflik / Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) yang berbasis di Jakarta merincikan upaya-upaya perekrutan dan propaganda agresif ISIS di negara ini. (Seperti dari laporan-laporan dan yang baru-baru ini dari USAID, deklarasi depan umum dari sekitar 1.000 sampai 2.000 orang tidak selalu merupakan langkah-langkah aktif bagi ISIS.) IPAC mencatat dalam laporan lain bahwa “konflik di Suirah telah menangkap imajinasi dari para ekstrimis Indonesia dengan cara yang belum pernah dialami sebelumnya pada peperangan di negara asil,” atas alasan-alasan seperti penderitaan umat Muslim Sunni di sana, pemulihan khalifah Islam di sana, sampai sebuah fakta bahwa “Suriah secara langsung terkait dengna prediksi Eskatologi Islam bahwa pertempuran akhir jaman akan berlangsung di Sham, wilayah ini terkadang disebut dengan Suriah Raya atau Levant, yang meliputi Suriah, Yordania, Lebanon, Palestina dan Israel.”

Apapun tingkat dukungan ISIS di Indonesia, dukungan tersebut belum diartikan bagi Indonesia untuk mengindahkan panggilan jihad dan menuju ke Timur Tengah dalam jumlah besar. Sebuah laporan dari Kelompok Soufan baru-baru ini mengenai pejuang asing di Irak dan Suriah (yang tidak berarti harus berjuang dengan ISIS) mengutip sebuah perkiraan dari pemerintah Indonesia bahwa 700 orang dari pejuang tersebut berasal dari Indonesia per Juli 2015 – sejumlah kelompok pejuang yang kemungkinan terlalu tinggi. Sebagai perbandingan, perkiraan resmi untuk negara Perancis adalah 1.700 orang; Rusia, 2.400 orang; AS, 150; dan Tunisia, 6.000 orang. Di Perancis, 18 orang dari setiap sejuta umat Muslim diperkirakan berjuang di Suriah dan Irak, menurut penelitian USAID. Di Tunisia jumlahnya adalah 280. DI Indonesia, hanya lebih dari satu.

Mengapa begitu sedikit orang Indonesia yang pergi ke Suriah untuk melawan? Statistik di Indonesia sesuai dengan negara-negara terdekatnya. Perkiraan resmi menunjukkan bahwa hanya 100 pejuang asing di Irak dan Suriah berasal dari Malaysia yang mayoritasnya Muslim, dan 23 orang berasal dari India, yang populasinya termasuk 177 juta umat Muslim. Namun menjelaskan fenomena tersebut sebagai tren yang memberikan keterangan dari dinamika negara-negara yang spesifik. ISIS mungkin telah mendapatkan kurang daya tarik di Malyasia daripada di dunia Arab atau Eropa Barat, namun Malaysia masih memiliki rata-rata umat muslim yang pergi untuk bertempur di Timur Tengah daripada Indonesia. Jajak pendapat juga menunjukkan bahwa persentase yang lebih tinggi dari Malaysia dari pada Indonesia yang bersimpati dengan ISIS dan taktik-taktik bom bunuh dirinya, meskipun dalam kedua negara yang mendukung terbatas pada minoritas kecil dari populasi negara. Di India, banyak dari masyarakat Muslim telah menolak ISIS dan organisasi-organisasi teroris Islam lainnya, dengan hampir 70.000 ulama yang menandatangani fatwa anti-ISIS.

Pada bulan November, The New York Times menunjuk satu faktor di balik respon yang sedikit untuk ISIS di Indonesia: Nahdlatul Ulama (NU), seebuah organisasi Islam yang mengklaim memiliki 50 juta anggota. NU mengajarkan Islam yang welas asih, inklusivitas dan toleransi terhadap agama lain sebagai lawan dari para fundamentalis ISIS yang terinspirasi oleh teologi Wahhabi. “Kami secara langsung menantang gagasan ISIS, yang ingin Islam menjadi seragam, yang berarti bahwa jika ada ide lain mengenai Islam yang tidak mengikuti ide-ide mereka, orang-orang ini adalah orang kafir dan harus dibunuh,” Yahya Cholil Staquf, sekjen dewan tertinggi NU mengatakan kepada Times.

Sydney Jones, direktur dari Institut Analisis Kebijakan Konflik, sepakat bahwa NU telah memainkan peran dalam meminimalkan daya tarik ISIS di Indonesia. “NU memang sebuah benteng untuk mencegah lebih banyak orang tertarik dengan ideologi-ideologi ekstrimis,” kata Jones. Namun, “orang-orang yang sebelumnya direkrut dalam barisan seperti ISIS dan kelompok-kelompok jihad lainnya tidak berasal dari Nahdlatul Ulama.”

Sebaliknya, Jones menyebutkan beberapa penyebab lainnya adalah: “Indonesia adalah negara yang tidak memiliki pemerintah yang represif, tidak di bawah pendudukan, politiknya tergolong stabil dan umat Muslim di sana bukanlah minoritas yang tertindas. Jadi, ketika Anda menggabungkan semua faktor tersebut bersama-sama, tidak mengejutkan bahwa sebenarnya hanya minoritas kecil yang berangkat ke Suriah.”

Memang, negara-negara yang mengirim pejuang asing dalam jumlah besar ke Suriah dan Irak, baik secara absolut atau berbasis per-kapita, cenderung represif secara politik (Arab Saudi, 2.500 pejuang), politik yang tidak stabil (Tunisia, 6.000 pejuang), diskriminatif terhadap kaum Muslim (Rusia, 2.400 pejuang), atau kombinasi dari faktor-faktor di atas. Sebagai bukti lebih lanjut dari pandangannya, Jones mengutip sebuah periode penuh gejolak segera setelah runtuhnya pemerintahan otoriter Soeharto pada tahun 1998, yang telah memerintah selama lebih dari tiga dekade. Ketidakstabilan yang dihasilkan tersebut menyediakan “alat perekrutan terbaik yang pernah dimiliki oleh kelompok-kelompok radikal. Mereka tidak pernah bisa kembali ke tingkat daya tarik untuk bergabung dengan gerakan jihad, karena tidak ada seorang pengendali lokal” untuk meradikalisasi situasi demokrasi yang masih muda, jelasnya.

Jones menambahkan bahwa kebebasan untuk berekspresi di Indonesia menciptakan sebuah ruang di mana komunitas-komunitas radikal dapat menyokong hukum Islam dan sebuah negara Islam tanpa merasa perlu unutk menggunakan tindakan kekerasan dalam mengejar tujuan-tujuan tersebut. Meskipun mengakui bahwa kelompok-kelompok tertentu telah mengambil keuntungan dari ruang tersebut, Jones mengatakan bahwa “ruang ini menjaga jumlah kekerasan ekstrimis” pada tingkat yang dapat “ditangani”.

Sementara itu, menurut IPAC, “ISIS telah memicu sebuah reaksi yang lebih besar dari yang pernah dilihat sebelumnya di komunitas Muslim Indonesia, menunjukkan dukungan-dukungan hanya akan terbatas pada golongan pinggir.” Dan reaksi tersebut tidak hanya berasal dari NU; organisasi-organisasi Muslim aliran utama lainnya, termasuk sebuah koalisi yang dikenal sebagai Forum Persaudaraan Dewan Ulama Indonesia, telah menolak ideologi ISIS ini. ISIS juga tidak menerima sambutan hangat dari komunitas jihad di Indonesia. Kebrutalan ISIS dan keputusannya untuk menyatakan sebuah kekhalifahan telah menuai kritik dari media-media jihad dan ulama yang radikal di negeri ini; “Sebagian besar masyarakat Muslim garis keras telah menjauhkan diri dari ISIS atau telah mengambil sikap untuk menunggu dan mengamati,” menurut IPAC, termasuk Majelis Mujahidin Indonesia, yang telah menyatakan bahwa ISIS adalah sebuah gerakan yang “menyimpang”. Ketika ditanya mengenai program deradikalisasi oleh pemerintah Indonesia, Jones menjawab, “Saya pikir adalah kesadaran dari mayoritas Muslim yang baik daripada program pemerintah yang menjaga agar ideologi ekstrim ini tidak menyebar.”

Namun “kesadaran yang baik” itu, tampaknya, terbentuk setidaknya sebagian oleh sebuah sistelm politik perwakilan stabil yang menghormati komponen Muslim – dan sebuah populasi Muslim yang, walaupun beberapa bersifat radikal, telah menolak dengan keras narasi dan gerakan ISIS. Yang menimbulkan sebuah pertanyaan: Dapatkah pelajaran dari negara-negara seperti Indonesia diterapkan ke negara-negara yang represif di Timur Tengah, atau komunitas Muslim yang terpinggirkan di Eropa? Kemampuan ISIS untuk terus merekrut mungkin bergantung pada jawabannya.


- Source : www.theatlantic.com

Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar