www.zejournal.mobi
Rabu, 01 Januari 2025

Ini Kata Peternak Australia Soal Ekspor Sapi ke RI yang Naik-Turun

Penulis : Nograhany Widhi K | Editor : Admin | Selasa, 10 November 2015 16:37

Australia merupakan pemasok utama sapi hidup dan daging beku ke Indonesia. Selama bertahun-tahun sempat terjadi pasang surut perdagangan sapi kedua negara.

Australia sempat menghentikan ekspor sapi ke Indonesia tahun 2011 lalu karena isu kesejahteraan hewan. Kini, Indonesia mengubah angka impor tiba-tiba, dari 200.000 kuartal II, menjadi 50.000 di kuartal III-2015.

Apa kata peternak sapi di Australia?

Seorang peternak di Northern Territory (NT) Australia, Markus Rathsmann, yang memiliki tanah peternakan seluas 40.000 hektar di Mount Ringwood, Adelaide River mengatakan naik-turunnya hubungan Canberra-Jakarta dalam masalah ekspor-impor sapi memang sedikit banyak mempengaruhi bisnis ternaknya.

Seperti tahun 2011 lalu, kala Australia menutup keran ekspor sapi ke Indonesia karena isu perlakukan sapi potong di rumah potong hewan yang dinilai tidak mengindahkan animal welfare atau kesejahteraan hewan.

"Ya ada efeknya sedikit banyak. Sapi sudah siap di peternakan, makin banyak sapi, makin banyak butuh rumput hijau atau pakan yang harus Anda sediakan. Jadi kami hanya mengkhawatirkan kesejahteraan mereka (ternak) di peternakan itu," tutur Markus. 

Kala ditanya bagaimana Markus menjaga arus modalnya, dia sempat meminjam ke bank. Namun, tidak banyak karena khawatir akan pendapatannya yang mampet.

"Untungnya pinjaman ke bank tidak banyak, jadi meski bukan masa tersulit dan kami tidak happy, kami pinjam untuk 2 bulan, jadi kami tak terlalu punya banyak utang," jelas dia.

Pada kuartal III ini, Indonesia kembali memangkas angka impor dari 200.000 ekor di kuartal II menjadi hanya 50 ribu ekor saja. Lantas bagaimana lagi dampaknya pada peternak seperti Markus?

"Melihat musim kering ini sangat berat. Orang butuh uang. Kami harus membeli suplemen, berefek banyak. Kami harus menghabiskan uang supaya sapi-sapi itu bisa bertahan, namun pada akhirnya sapi itu tak bisa ke mana-mana," tuturnya.

Namun, Markus yang mengatakan hanya seorang peternak yang sederhana, tak mau menyalahkan siapa-siapa. Baik pemerintah Australia maupun Indonesia, yang hubungannya kerap naik-turun itu.

"Ya sedikit, naik-turun, kami harus menyeimbangkan supply-demand, hadapi efeknya dan bersiap. Hewan siap pergi, tapi kami tak bisa menjualnya, kami pindahkan ke tanah peternakan lainnya, ada biaya lain, tapi itu memang hak konsumen melakukan itu, Anda tak bisa menunjuk atau menyalahkan, Anda hanya harus bisa bersiap-siap," tuturnya bijak.

Mencari siapa yang salah, imbuh Markus, sangat tidak membantu. Peternak seperti dirinya, lebih mementingkan kerja sama agar bisa langgeng dengan Indonesia, karena Indonesia adalah tetangga terdekat dari NT.

Di bidang peternakan, Indonesia dan Australia bisa bersimbiosis mutualisme alias saling menguntungkan. Australia tempat yang tepat untuk breeding dan membesarkan sapi, sedangkan Indonesia adalah tempat yang tepat untuk penggemukan sapi, karena dua musim yang membuat rumput melimpah, juga ada industri turunannya.

"Saya rasa kami telah melewati itu semua, dan kami tetap punya hubungan terdekat dengan tetangga kami, Indonesia. Yang penting kami memiliki hubungan dekat dengan tetangga terdekat kami, dan terus bekerja, itu saja. Perdagangan tetap berjalan, pengertian di antara kedua negara juga berjalan," tutur Markus dengan senyum.

Di tempat terpisah, Konsul Jenderal RI di Darwin, Andre Omer Siregar, mengatakan naik-turunnya hubungan Jakarta-Canberra memang dampaknya paling terasa di kawasan NT Australia. NT yang terletak di ujung utara Australia, paling dekat dengan Indonesia. Apalagi, kawasan ini memasok mayoritas sapi untuk diekspor ke Indonesia.

"Hubungan Indonesia-Australia selalu melibatkan 3 B, yakni Boat, Bali and Beef. Dan untuk beef, yang terbesar itu dari NT, besar sekali jumlahnya. Kebijakan yang diambil di Jakarta dan Canberra itu yang merasakan orang-orang NT. Canberra langsung ngeblok, Julia Gillard bilang 'tidak manusiawi' tapi yang menjerit petani di NT, yang rugi orang NT," tutur Andre merujuk kasus penghentian ekspor sapi tahun 2011 lalu.

Kasus penghentian eskpor sapi dari Australia tahun 2011 lalu, imbuhnya, para petani di NT baru bisa menutup kerugiannya tahun ini.

Dia menambahkan, NT bisa memproduksi 900 ribu - 1 juta ekor sapi per tahun, dengan waktu breeding hingga diekspor membutuhkan waktu 3 tahun. Namun, kelemahan di Australia adalah tidak bisa menggemukkan sapi.

"Mereka bisa melakukan breeding tapi tak bisa menggemukkan. Karena penggemukan itu semua dilakukan di down south (negara bagian selatan Australia). Dan untuk penggemukan itu mahal sekali. Semua kegiatan dihitung per jam benar. Indonesia, kita bisa sangat murah untuk menggemukkan sapi, pakan banyak, dan tentu human labour juga. Jadi mendingan dikirim ke Indonesia, lebih dekat, digemukkan sampai benar-benar gemuk, kemudian di slaughter (rumah potong hewan)," tutur Andre.


- Source : news.detik.com

Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar