www.zejournal.mobi
Selasa, 19 November 2024

Minggu Ketiga Intervensi Rusia di Suriah

Penulis : The Saker | Editor : Admin | Selasa, 27 Oktober 2015 08:18

Akhir dari hukum dan diplomasi internasional

Akhir dari Perang Dingin disambut sebagai era baru perdamaian dan keamanan di mana pedang akan berubah menjadi bajak, mantan musuh menjadi teman dan dunia akan menyaksikan fajar baru dari cinta, kebahagiaan dan kedamaian yang baru. Tentu saja, itu tidak pernah terjadi. Apa yang terjadi adalah Kekaisaran AngloZionis telah meyakinkan diri sendiri bahwa mereka telah “memenangkan Perang Dingin” dan bahwa mereka sekarang yang berkuasa. Berkuasa atas planet Bumi ini. Dan mengapa tidak? Kekaisaran tersebut telah membangun sekitar 700-1.000 pangkalan militer di seluruh dunia dan telah membagi dunia menjadi beberapa bagian dengan tanggung jawab yang eksklusif dengan nama “commands”. Kekuatan yang telah dikerahkan terakhir kali oleh megalomania ini untuk mendistribusikan berbagai bagian di Bumi ini pada perintahnya yang berbeda adalah Kepausan pada tahun 1494 dengan “Perjanjian Tordesillas” nya yang terkenal.

 Dan untuk membuat poin tersebut sangat jelas, Kekaisaran memutuskan untuk memberikan sebuah contoh dan menunjukkan kekuatannya pada Yugoslavia yang kecil. Yugoslavia, salah satu anggota pendiri Gerakan Non-Blok diserang dengan kejam dan dipotong-potong, mengakibatkan gelombang besar pengungsi, sebagian besar orang-orang Serbia, di mana dunia yang demokratis dan beradab memilih untuk mengabaikannya. Selanjutnya, Kekaisaran melancarkan peperangan lainnya, kali ini di Rusia, yang menempatkan rezim Boris Yeltsin yang sekarat melawan apa yang nantinya menjadi bagian penting dari al-Qaeda, ISIS dan Daesh: para Wahabi di Checnya. Sekali lagi, ratusan ribu “pengungsi tak terlihat” juga dihasilkan dari perang tersebut, namun mereka juga diabaikan oleh dunia yang demokratis dan beradab, terutama oleh etnis Rusia. Rusia membutuhkan waktu satu dekade penuh untuk menghancurkan pemberontakan Wahabi-Takfiri ini tapi, pada akhirnya, Rusia berhasil. Dan pada saat itu, para AngloZionis ini telah mengalihkan perhatian mereka ke tempat lain: “dalam negara” AS dan Israel yang bersama-sama merencanakan dan melaksanakan operasi 9/11 bendera palsu yang memberikan mereka alasan untuk menyatakan “perang global melawan teror” yang pada dasarnya memberikan para AngloZionis ini “lisensi untuk membunuh” di seluruh dunia ala James Bond 007, kecuali dalam hal ini targetnya bukan perorangan, melainkan seluruh negara.

Kita semua tahu apa yang menyusul setelah itu: Irak, Afghanistan, Filipina, Somalia, Ethiopia, Sudan, Yaman, Mali, Pakistan, Suriah, Libya, Ukraina – di mana-mana AS berperang, baik secara resmi atau diam-diam. Gambaran ini berkisar dari sebuah invasi habis-habisan atas sebuah negara (Afghanistan) sampai mendukung beberapa kelompok teroris (Iran, Suriah) dan membiayai secara penuh serta mengelola sebuah rezim Nazi (Ukraina). AS juga memberikan dukungan penuh kepada para Wahabi dalam perang mereka melawan Syiah (KSA, Bahrain, Yaman, Suriah, Iran). Persamaan yang dimiliki oleh semua peperangan ini adalah bahwa mereka semua benar-benar ilegal – AS dan “koalisi yang bersedia” manapun telah menjadi pengganti Dewan keamanan PBB.

Di sini sekali lagi adalah penting untuk mengingatkan semua orang – terutama bagi para Muslim yang bersukacita atas pemboman Serbia – bahwa semua ini dimulai dengan penghancuran ilegal atas Yugoslavia yang diikuti oleh pemboman Serbia yang juga ilegal.

Tentu saja, Kekaisaran tersebut juga telah menderita beberapa kekalahan yang memalukan: Pada tahun 2006 Hizbullah memberikan dampak pada Israel yang mungkin menjadi salah satu kekalahan militer paling memalukan dalam sejarah modern sementara pada tahun 2008 kekuatan kecil dari para pejuang Ossetia yang benar-benar heroik dan didukung oleh pasukan Rusia yang relati kecil (hanya sebagian kecil militer Rusia yang terlibat) telah mengalahkan militer Georgia yang dilatih dan didanai oleh AS, perang tersebut selesai dalam waktu 4 hari. Namun, pada dekade pertama abad ke-21 dunia masih melihat kemenangan hukum rimba atas hukum internasional serta pembenaran pada prinsip jaman dulu yang berbunyi: “Might makes right” / “Kekuatan menghasilkan kebenaran”.

Logikanya, ini juga tahun-tahun di mana diplomasi AS pada dasarnya tidak lagi berfungsi. Fungsi tunggal para diplomat AS tetap pada penyampaian ultimatumnya: “mematuhi atau terima akibatnya....” dan Kekaisaran berhenti untuk bernegosiasi tentang apa pun. Seorang diplomat berpengalaman dan hebat seperti James Baker digantikan oleh para psikopat seperti Madelaine Albright, Hillary Clinton dan Samantha Power, atau dengan yang biasa-biasa saja dan non-entitas seperti John Kerry dan Susan Rice. Pada akhirnya, sebagaimana canggih seseorang harus menjadi untuk dapat mengancam, menggertak dan memberikan ultimatum? Hal-hal menjadi begitu buruk sampai Rusia secara terbuka mengeluhkan “kurangnya profesionalisme” dari rekan-rekan mereka di AS.

Adapun Rusia yang malang dengan desakan-desakan menyedihkan mereka bahwa norma-norma hukum internasional harus diperhatikan, mereka tampak putus asa. Saya bahkan tidak akan menyebutkan para politisi Eropa di sini. Para politisi dideskripsikan dengan cara terbaik oleh Walikota London, Boris Johnson yang memanggil mereka dengan “jeli protoplasma invertebrata besar yang terlentang”.

Namun kemudian, sesuatu berubah. Secara dramatis.

Kegagalan kekuatan

Tiba-tiba semuanya berjalan kearah Selatan. Setiap kemenangan AS entah bagaimana menjadi kekalahan: dari Afghanistan sampai Libya, setiap ‘kesuksesan’ AS entah bagaimana berubah dengan sendirinya ke dalam situasi di mana pilihan terbaiknya adalah, untuk “menyatakan kemenangan dan pergi”. Hal ini menimbulkan pertanyaan yang jelas “apa yang telah terjadi?”

Kesimpulan jelas yang pertama adalah bahwa pasukan AS dan mereka yang disebut “sekutu” memiliki daya tahan yang sangat sedikit. Sementara mereka cukup terampil menyerang sebuah negara, mereka kemudian dengan cepat kehilangan kendali dari sebagian besar yang diduduki. Menyerang sebuah negara dan mengelolanya adalah dua hal yang berbeda. Ternyata “koalisi yang bersedia” yang dipimpin oleh AS tidak mampu untuk menyelesaikan apa pun.

Kedua, ini menjadi jelas bahwa musuh yang seharusnya kalah sebenarnya hanya bersembuny dan menunggu waktu yang tepat untuk menyerang kembali dengan penuh dendam. Irak adalah contoh nyata dari hal tersebut: Jauh dari “kekalahan”, Tentara Irak (dengan bijaksana) memilih untuk membubarkan diri dan kembali dalam bentuk pemberontakan Sunni tangguh yang secara bertahap berubah menjadi ISIS. Namun Irak bukanlah sebuah kasus yang terisolasi. Hal yang sama juga terjadi di mana-mana.

Ada orang-orang yang akan keberatan dan menentang dan bahwa AS tidak peduli apakah negaranya mengendalikan sebuah negara atau menghancurkannya, selama pihak lain tidak bisa “menang”. Saya tidak setuju. Ya, AS akan selalu memilih kehancuran suatu negara daripada kemenangan dari pihak lain, namun ini tidak berarti bahwa AS tidak memilih untuk mengendalikan sebuah negara jika memungkinkan. Dengan kata lain, ketika negara tenggelam ke dalam kekacauan dan kekerasan ini bukanlah kemenangan AS, namun adalah kerugian AS.

Apa yang AS lewatkan adalah bahwa diplomasi membuat penggunaan kekuatan jauh lebih efektif. Pertama, diplomasi yang berhati-hati memungkinkan untuk membangun sebuah koalisi yang luas dari negara-negara yang ebrsedia mendukung tindakan kolektif. Kedua, diplomasi juga memungkinkan untuk mengurangi jumlah negara yang secara terbuka menantang tindakan kolektif terebut. Apakah ada yang ingat bahwa Suriah pasukan benar-benar  dikirim untuk mendukung pasukan AS terhadap Saddam Hussein dalam Operasi Desert Storm? Tentu saja, mereka tidak membuat perbedaan besar, namun kehadiran mereka memberi AS ketenangan bahwa Suriah setidaknya tidak terang-terangan menentang kebijakan AS. Dengan mendapatkan Suriah untuk mendukung Operasi Desert Storm, James Backer membuat serangan ini menjadi sulit bagi Irak untuk menberikan pendapatnya bahwa ini adalah serangan anti-Arab, anti-Muslim atau bahkan koalisi anti-Baath dan ia membuat Saddam Hussein benar-benar terisolasi (bahkan ketika Irak mulai menembakkan rudalnya terhadap Israel). Ketiga, diplomasi memungkinkan untuk mengurangi keseluruhan kekuatan yang digunakan karena “penyerangan yang berlebihan secara instan” tidak diperlukan untuk menunjukkan bahwa Anda benar-benar serius. Keempat, diplomasi adalah alat yang diperlukan untuk mencapai legitimasi dan legitimasi ini sangat penting ketika terlibat dalam konflik yang panjang dan berlarut-larut. Dan akhirnya, konsensus yang muncul dari sebuah upaya diplomatik yang sukses mencegah erosi yang cepat dari dukungan publik kepada upaya militer. Namun semua faktor ini diabaikan oleh Amerika Serikat dalam GWOT (Global War on Terror / Perang Global Melawan Teror) dan revolusi “Protes Besar-Besaran Arab / Arab Spring” telah berhenti melengking.

Sebuah kemenangan diplomatik bagi Rusia

Minggu ini kita melihat sebuah kemenangan diplomatik besar bagi Rusia yang berpuncak pada perundingan multilateral pada hari Jumat di Vienna yang dihadiri para menteri luar negeri Rusia, AS, Turki dan Arab Saudi. Fakta bahwa pertemuan inni berlangsung tepat setelah kunjungan Assad ke Moskow jelas menunjukkan bahwa para pendukung Daesh dan al-Qaeda ini kini dipaksa untuk bernegosiasi pada syarat-syarat Moskow. Bagaimana ini bisa terjadi?

Seperti yang telah saya ulangi sejak operasi Rusia di Suriah dimulai, kekuatan yang Rusia kirimkan benar-benar kecil. Ya, itu adalah salah satu yang sangat efektif, namun masih sangat kecil. Bahkan, para anggota Duma Rusia telah mengumumkan bahwa biaya dari seluruh operasinya mungkin akan cocok dalam anggaran Pertahanan Rusia yang normal yang memiliki dana untuk “pelatihan”. Namun, apa yang Rusia telah capai dengan intervensi kecil ini agak menakjubkan, tidak hanya dalam hal militer, tetapi terutama dalam hal politik.

Tidak hanya membuat Kekaisaran (dengan sangat enggan) harus menerima bahwa Assad harus tetap berkuasa di amsa mendatang, tetapi Rusia juga sekarang secara bertahap dengan pasti membangun sebuah koalisi regional nyata yang bersedia melawan Daesh berdampingan dengan pasukan pemerintah Suriah. Bahkan sebelum operasi Rusia mulai, Rusia telah mendapatkan dukungan dari Suriah, Irak, Iran dan Hizbullah. Ada juga tanda-tanda kuat bahwa Kurdi pada dasarnya juga bersedia untuk bekerja sama dengan Rusia dan Assad. Pada hai Jumat diumumkan bahwa Jordan juga akan mengkoordinasikan beberapa tindakan militer yang belum ditentukan dengan Rusia dan pusat koordinasi khusus yang akan dibentuk di Amman. Ada juga rumor yang kuat bahwa Mesir juga akan bergabung dengan koalisi yang dipimpiin oleh Rusia. Ada juga tanda-tanda bahwa Rusia dan Israel juga, jika tidak bekerja sama, setidaknya tidak melawan satu dengan lainnya: Israel dan Rusia telah membuat jalur khusus untuk dapat berbicara secara langsung pada tingkat militer. Intinya adalah ini: terlepas ketulusan dari pihak yang berbeda, semua orang di wilayah tersebut sekarang merasakan tekanan yang kuat untuk setidaknya tidak terlihat menentang upaya-upaya Rusia. Ini, dengan sendirinya, adalah kemenangan besar bagi diplomasi Rusia.

Senjata rahasia Putin: Kebenaran

Situasi saat ini tentu saja benar-benar tidak dapat diterma bagi Hegemoni Global: koalisi yang dipimpin AS dari 62 negara berhasil melakukan 22.000 serangan dengan hasil yang nihil, tetapi koalisi Rusia yang relatif lebih kecil telah berhasil sepenuhnya mendepak Kekaisaran dan meniadakan semua rencananya. Dan senjata paling tangguh yang digunakan Putin dalam peperangan proksi dengan Amerika Serikat adalah berbicara tentang kebenaran.

Baik dalam pidatonya di PBB dan, minggu ini, pidatonya di Konferensi Valdai, Putin telah melakukan apa yang belum pernah dilakukan oleh pemimpin dunia lainnya: ia secara terbuka menyebut AS sebagai rezim yang tidak kompeten, tidak bertanggung jawab, gemar berbohong, munafik dan sangat arogan. “Ledekan” secara publik seperti ini telah memberikan dampak besar di seluruh dunia karena pada saat Putin mengatakan hal tersebut, setiap orang mengetahui bahwa ini adalah sebuah kebenaran.

AS tidak memperlakukan semua sekutunya sebagai “pengikut” (lihat pidato Putin di Konferensi Valdai) dan AS adalah penyebab utama dari semua krisis mengerikan yang dunia harus hadapi (lihat pidato Putin di PBB). Apa yang putin lakukan pada dasarnya adalah mengatakan bahwa “Kaisar ini telanjang”. Sebagai perbandingannya, pidato Obama terkesan lucu dan menyedihkan. Apa yang kita saksikan sekarang ini adalah sebuah pembalikkan yang menakjubkan. Setelah puluhan tahun yang ditandai oleh prinsip “kekuatan mencipatakan kebenaran” yang dianjurkan oleh Amerika Serikat, tiba-tiba kita berada dalam situasi di mana jumlah kekuatan militer tidak dapat digunakan oleh Presiden Obama yang terkepung: Apa gunanya 12 kapal induk ketika Anda terlihat seperti badut?

Setelah tahun 1991, negara adidaya yang tersisa terlihat begitu kuatnya dan tak terhentikan dan bahwa mereka tidak perlu repot-repot sendiri dengan hal-hal kecil seperti diplomasi atau penghormatan terhadap hukum internasional. Paman Sam merasa dirinya seperti seorang penguasa tunggal. Cina hanya sebagai “Walmart yang besar”, Rusia “Pom Bensin” dan Eropa merupakan anjing pudel yang penurut (yang terakhir ini, sayangnya, cukup benar).

Mitos AS tak terkalahkan tentunya hanyalah sebuah mitos: sejak Perang Dunia II Amerika Serikat belum pernah memenangkan peperangan nyata (Grenada atau Panama tidak memenuhi syarat). Bahkan, militer AS bahkan bernasib lebih buruk di Afghanistan daripada Tentara ke-40 Soviet yang kurang terlatih, kurang perlengkapan, kurang perbekalan dan tidak dibiayai dengan cukup yang, setidaknya mempertahankan terus kota-kota besar dan jalan-jalan utama di bawah kendali Soviet dan juga melakukan pengembangan yang berarti bagi infrastruktur sipil negara (yang masih digunakan oleh AS di tahun 2015 ini). Namun demikian, mitos tak terkalahkan AS hanya benar-benar dihancurkan ketika Rusia menghentikan serangan AS terhadap Suriah dengan perpaduan antara jalur diplomatis dan militer. Paman Sam sangat marah, namun tidak dapat berbuat apa-apa selain memicu kudeta di Kiev dan perang ekonomi melawan Rusia, yang mana belum berhasil sampai sekarang.

Adapun Putin, bukannya terhalang oleh semua upaya AS, ia malah mengundang Assad ke Moskow.

Kunjungan Assad ke Moskow adalah indikator lain dari impotensi AS

Minggu kunjungan Assad ke Moskow adalah hal yang luar biasa. Tidak hanya Rusia berhasil mengeluarkan Assad dari Suriah menuju Moskow tanpa diketahui oleh komunias intelijen AS, namun tidak seperti kebanyakan kepala negara lainnya, Assad berbicara tatap muka dengan beberapa pemimpin Rusia yang paling berkuasa.

Pertama, Assad bertemu dengan Putin, Lavrov dan Shoigu. Mereka berbicara selama tiga jam (ini adalah hal yang luar biasa). Mereka kemudian bergabung dengan Medvedev untuk menghadiri makan malam pribadi. Tebak siapa lagi yang bergabung dengan mereka? Mikhail Fradkov, Kepala Intelijen Asing Rusia dan Nikolai Patrushev, Ketua Dewan Keamanan Rusia.

Biasanya, seorang kepala negara asing tidak dapat bertemu secara pribadi dengan orang-orang seperti Fradkov atau Patrushev dan, sebaliknya, mereka akan mengirim para ahli mereka sendiri. Dalam kasus ini, bagaimanapun juga, topik yang dibahas sangatlah penting: 1) Mengawal Assad sampai Kremlin secara pribadi dan 2) Mengundang semua pemain kunci Kremlin untuk duduk di meja yang sama dan berdiskusi secara pribadi dengan Assad.

Tentunya, tidak sepatah kata pun yang bocor dari pertemuan ini, namun ada dua teori utama yang beredar di luar sana tentang apa saja yang dibahas.

Teori pertama mengatakan bahwa Assad diberitahu dengan syarat-syarat yang tidak jelas bahwa hari-harinya dihitung dan ia harus meninggalkan kekuasaannya.

Yang kedua mengatakan sebaliknya: bahwa Asad dibawa ke dalam Kremlin untuk diberitahukan kepada dirinya, dan AS, bahwa ia memiliki dukungan penuh dari Rusia.

Saya tidak percaya bahwa salah satu dari dua teori ini benar, tapi yang kedua saya pikir mendekati kebenarannya. Pada akhirnya, jika tujuannya adalah untuk memberitahu Assad bahwa ia harus pergi, sebuah panggilan telepon sederhana akan cukup. Adapun “mendukung Assad” akan mengkontradiksikan apa yang telah dikatakan oleh orang-orang Rusia secara bersamaan: mereka tidak mendukung “Assad” sebagai pribadinya, meskipun mereka mengakui bahwa ia sebagai satu-satunya Presiden yang sah di Suriah, tetapi mereka mendukung hak rakyat Suriah untuk menjadi satu-satunya yang memutuskan siapa yang harus berkuasa de sana. Dan hal tersebut adalah sesuatu yang telah disepakati oleh Assad juga (menurut Putin). Demikian juga, Assad juga telah setuju untuk bekerja sama dengan pasukan oposisi non-Daesh yang bersedia untuk melawan kelompok teroris teresebut berdampingan dengan militer Suriah (sekali lagi, ini menurut Putin).

Tidak, sementara saya percaya bahwa pertemuan antara Assad dan Putin setidaknya merupakan pesan kepada AS dan negara-negara lain yang menyebut dirinaya sebagai teman Suriah bahwa rencana “penggulingan Assad” mereka telah gagal, saya percaya tujuan utama dari pertemuan tertutup ini adalah sesuatu hal yang lain: dugaan saya adalah pembicaraan tersebut membicarakan tentang aliansi jangka panjang antara Rusia dan Suriah yang akan secara resmi menghidupkan kembali sejenis aliansi antara Uni Soviet dan Suriah di masa lalu. Sementara saya hanya bisa berspekulasi tentang syarat-syarat atas aliansi tersebut, digaan saya tentang rencana ini yang mungkin dikoordinasikan dengan Iran memiliki dua aspek utama:

a) komponen militer: Daesh harus dihancurkan.

b) komponen politik: Suriah tidak akan dibiarkan jauh di bawah kendali AS.

Dengan menimbang bahwa operasi Rusia yang diasumsikan oleh para ahli akan berlangsung sekitar 3 bulan, kita berhadapan dengan syarat jangka menengah dan panjang dari rencana yang akan memerlukan pembentukkan kembali angkatan bersenjata Suriah sementara Rusia, Iran dan Irak bersama-sama mengkoordinasikan perjuangan melawan Daesh. Dan memang, telah diumumkan pada Jumat kemarin bahwa Irak telah memberikan otoritas bagi Rusia untuk menyerang Daesh di dalam wilayah mereka. Ini pasti terlihat bahwa operasi-operasi Rusia telah bertindak sebagai katalis di wilayah-wilayah yang dilumpuhkan oleh kemunafikan dan ketidakmampuan AS dan bahwa hari-hari keberlangsungan Daesh akan berakhir.

Terlalu dini untuk merayakan, namun ini tetap menjadi momen penting dalam sejarah

Terlalu dini untu merayakan. Rusia tidak dapat melakukan semuanya sendiri, dan ini akan menjadi kewajiban dari Suriah dan sekutu mereka untuk melawan Daesh, dari kota ke kota. Hanya pasukan darat yang benar-benar akan membebaskan Suriah dari Daesh dan hanya Islam yang benar dan baik dapat mengalahkan ideologi Takfiri ini. Ini akan memakan waktu.

Selanjutnya, akan tidak bertanggung jawab jika kita meremehkan tekad dan kemampuan Kekaisaran untuk mencegah Rusia menjadi “pemenang” – itu adalah sebuah ego Kekaisaran AS, yang dibesarkan di abad keangkuhan dan kebodohan. Pada akhirnya, bagaimana sebuah “negara yang tak tergantikan” dapat menerima bahwa dunia tidak lagi memerlukannya lagi dan bahwa orang lain dapat bahkan secara terang-terangan menantangnya dan menang? Kita masih bisa memperkirakan bahwa  AS akan menggunakan semua kekuatannya (yang masih besar) untuk mencoba menggagalkan dan menyabotase setiap inisiatif Rusia dan Suriah


- Source : www.unz.com

Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar