www.zejournal.mobi
Senin, 23 Desember 2024

Amerika Sedang Mencari Tujuan?

Penulis : Pat Buchanan | Editor : Admin | Jumat, 23 Oktober 2015 11:00

“Jika Perang Dingin berakhir, apa gunanya menjadi seorang Amerika?” kata Rabbit Angstrom, protagonis dari novel John Updike.

Sebuah pernyataan yang menghantui, selama 40 tahun, Amerika sebagian bersatu pada proporsinya bahwa kelangsungan hidup kami bergantung pada kemenangan atas komunisme dalam Perang Dingin.

Kami memiliki sebab pada saat itu. Pada umumnya, kami berdiri besama-sama melalui krisis dekade pertama pada Perang Dingin – blokade Berlin, bom atom Stalin dan jatuuhnya Cina kepada Mao, Perang Korea, revolusi Hungaria, krisis rudal Kuba dan juga Vietnam.

Kami menerima pengarahan wajib militer bagi pemuda kami. Kami menerima peperangan di Asia, dan, jika perli di Eropa untuk memeriksa Kekaisaran Soviet.

Vietnam memisahkan kesatuan tersebut.

Pada tahun 1967, sayap Gene McCarthy-Robert Kennedy dari Partai Demokrat telah merusak konsensus Perang Dingin. “Kami telah melawati rasa takut berlebihan kami akan komunisme,” kata Jimmy Carter.

Partai Republik Reagan dan George HW Bush akan mengambil obor dan memimpin bangsa untuk meraih kemenangan dalam dekade terakhir Perang Dingin yang telah menjadi sebuah sebab bangsa Amerika.

Namun ketika Perang Dingin berakhir pada tahun 1990, Amerika tiba-tiba merasa bingung untuk mendapatkan tujuan hidup baru untuk diperjuangkan dan, jika perlu, melihat anak-anak bangsa gugur demi tujuan tersebut.

Bush senior, setelah memimpin koalisinya yang membuat Saddam Hussein keluar dari Kuwait, menyatakan bahwa sebab tujuan Amerika adalah untuk membangun “New World Order”. Namun hanya sedikit orang Amerika yang percaya.

Enam belas bulan setelah parade kemenangannya atas Constitution Avenue dan mencapai persetujuan 90 persen, 62 persen pemilih suara di negara memilih untuk menggantikannya dengan Bill Clinton atau Ross Perot.

Clinton mengejar intervensi liberal di negara-negara Balkan, yang mengarah kepada pemboman selama 78 hari di Serbia, dan ia menyesal tidak campur tangan di Rwanda untuk menghentikan pembunuhan massal.

George W. Bush menjanjikan sebuah kebijakan luar negeri yang “rendah hati”. Namun insiden 9/11 smengakhirinya. Setelah mendepak Taliban dan Osama bin Laden dari kekuasaan, ia menyatakan bahwa tujuan baru Amerika adalah untuk mencegah sebuah “poros/axis kejahatan” – Irak, Iran dan Korea Utara – untuk mendapatkan senjata nuklir. Lalu, Bush menggiring kami ke Baghdad.

Peperangan di Afghanistand dan Irak telah berlangsung lebih lama dan dengan biaya yang jauh lebih dalam darah dan materi dari yang telah diantisipasikan oleh Bush.

Pada puncak prestise-nya, seperti Paus Urban II, Bush menyatakan Perang Salib global atas demokrasi. Ini berakhir seperti kebanyakan Perang Salib sebelumnya. Pemilu demokratis dimenangkan oleh Hizbullah di Lebanon, Hamas di Gaza dan, Setelah intifada Arab, Ikhwanul Muslimin di Mesir.

Barack Obama telah berjanji untuk mengakhiri peperangan Bush dan membawa semua pasukan pulang ke rumahnya masing-masing. Dan ia diberi penghargaan selama dua tahun karena telah menunjukkan antusiasme yang rendah untuk berperang di Timur Tengah.

Obama kini secara terbuka mengejek McCain.

“Sekarang, kika saya mengambil saran dari beberapa anggota Kongres yang selalu berteriak sepanjang waktu, kita akan berada pada tujuh peperangan sekarang,” katanya kepada sekelompok veteran perang dan ibu-ibu yang anaknya tewas dalam peperangan.

Keengganan untuk memulai atau campur tangan dalam peperangan – baik itu di Suriah, Irak, Iran, Ukraina – tampaknya sesuai dengan keinginan negara. Dan kenyataan baru ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan serius.

Apa tujuan Amerika saat ini? Apa misi kita di dunia? Untuk tujuan apa, selain membela warga negara kita, kepentingan-kepentingan vital dan sekutu penting, akankah kita rela mengirim sebuah pasukan besar untuk melawan – seperti yang kita lakukan di Korea, Vietnam, Kuwait, Irak dan Afghanistan?

Apakah tujuan-tujuan global Bush I, Clinton dan Bush II telah usai?

Dimanakah kecocokan dan konsistensi dari kebijakan AS di Timur Tengah yang seharusnya dapat mendorong kita untuk menggambar sebuah garis merah, dan melawan jika garis itu dilanggar?

Jika keyakinan kita dalam demokrasi menuntut penggulingan diktator Assad di Damaskus, mengapa kita bersekutu dengan monarki teokratis di Riyadh, raja Sunni yang duduk di aas mayoritas Syiah di Bahrain dan seorang Jenderal Mesir di singgasananya di Kairo, yang mengambil alih kekuasaan dalam kudeta militer terhadap pemerintah Muslim yang terpilih secara demokratis?

Selain mendukung Israel, mempertahankan akses minyak di negara-negara Teluk, melawan ISIS dan al-Qaeda, atas apa Amerika akan setuju?

Henry Kissinger berusaha mencari sebuah pemulihan atas arsitektur strategis yang sedang runtuh ini. Para Neokonservatif dan intervensionis liberal ingin menghadapi Rusia dan Iran. Para intervensionis yang enggan seperti Obama, Donald Trump dan Bernie Sanders pikir kita harus tetap keluar dari peperangan negara lain di sana.

“Ketika sekumpulan orang terpecah dalam kelompok itu sendiri tentang hubungan luar negeri, mereka tidak akan mampu untuk menyepakati penentuan kepentingan yang sejati,” tulis Walter Lippman pada klimaks Perang Dunia II:

“Dengan demikian, arahnya ditentukan dalam kebijakan luar negeri, kata Hamilton, bukan pada renungan dan pilihan, namun pada ketidaksengajaan dan kekuatan.”

Amerika adalah sebuah negara yang terbagi, tidak hanya pada cara bagaimana kita harus mencapai tujuan kita di dunia, tetapi juga setelah tujuan tersebut tercapai.


- Source : www.unz.com

Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar