Perjalanan Peperangan AS: Dari Columbus sampai Kunduz
Berkumpulnya orang-orang pada Hari Columbus Pekan Akhir dan pemboman rumah sakit Kunduz membuat kita berpikir tentang tingkat kekerasan budaya di Amerika Serikat dan apa yang bisa dilakukan untuk mengubahnya. Bagaimana cara AS untuk berubah dari sebuah negara yang didominasi oleh budaya peperangan ke sebuah negara yang didominasi oleh budaya kemanusiaan? Dan, bagaimana kita dapat mencegahnya tepat waktu untuk menghindari peperangan dengan Cina dan Rusia, yang keduanya telah maju lebih dekat minggu ini.
Karakter AS apa yang dapat kita ketahui dari Perayaan Columbus?
Popular Resistance telah melaporkan warisan dari Columbus. Howard Zinn menjelaskan sejarah yang benar dari Columbus dan masyarakat adat dari Amerika Utara. Ada sebuah keharusan untuk merevisi mitos Columbus dengan kenyataannya. Ketika kebenarannya dipahami, dengan jelas AS merayakan seorang penjahat perang yang brutal dan bahwa sudah waktunya untuk menghapus Hari Columbus.
Pada akhirnya Columbus hilang di lautan, “menemukan” sebuah benua atau sebuah pulau di dekatnya, di mana sudah ada ratusan juta orang yang telah hidup di sana. Ia memperbudak masyarakat pribumi, memperlakukan mereka sebagai hewan pekerja dan budak seks; ia memberikan orang-orang pribumi yang masih hidup kepada anjing-anjingnya sebagai makanan dan memotong tangan mereka yang tidak bekerja cukup keras; ia membantai puluhan ribu, memulai pembersihan etnis di seluruh benua tersebut, dan putranya adalah salah satu pencetus perdagangan budak Afrika.
Banyak masyarakat pribumi dari Amerika Utara tidak merayakan hari Columbus karena kenyataan dari pelanggaran HAM-nya yang membuat perayaan ini merayakan seorang penjahat peperangan yang brutal. Kota-kota mengubah nama Columbus Day menjadi Indigenous People’s Day (Hari Masyarakat Adat). Baru-baru ini adalah Albuquerque dan beberapa kota di Oklahoma. Lainnya termasuk Seattle, Bellingham, Minneapolis, St. Paul, Berkeley, Portland, Lawrence, dan Santa Cruz. Alaska, Hawaii, Washington dan Oregon tidak mengakui Hari Columbus, yang tidak menjadi hari libur federal AS sampai pada tahun 1937.
Ini adalah sebuah gerakan internasional. Pada tahun 1977, International Indian Treaty Council, sebuah lembaga internasional Gerakan Indian Amerika, menyerukan agar dunia global mengehntikan perayaan hari Columbus dan menyatakan sebaliknya sebagai Hari Internasional dan Berkabung dengan Masyarakat Pribumi. Sepanjang tahun kita telah melihat aksi-aksi protes agresif di negara-negara Amerika Latin mengenai Columbus Day. Pada tahun 2013, 15.000 demonstran yang diselenggarakan oleh Masyarakat Pribume di Chile, menyerukan diakhirinya perayaan Columbus Day dan polisi menembakkan meriam air nya kepada mereka. Ribuan lainnya berbaris di tahun 2014 di Chile dan polisi menyerang para demonstran Columbus Day dengan meriam-meriam air dan gas air mata. Protes hari Columbus ini berkaitan erat dengan sengketa antara masyarakat pribumi terbesar untuk mendapatkan hak atas tanah leluhur, Juli ini, di Argentina melakukan protes bertahun-tahun, sebuah patung Columbus diturunkan dan diganti dengan sebuah patung pejuang kemerdekaan wanita yang merupakan ikon dari perjuanngan mereka untuk kemerdekaan. Kemajuan tersebut telah datang dengan koflik-konflik:
Pada tahun 1982, Spanyol dan Vatikan mengusulkan peringatan 500 tahun pelayaran Columbus di Majelis Umum PBB. Seluruh delegasi Afrika, dalam solidaritas dengan masyarakat pribumi dari Amerika, berjalan keluar dari pertemuan tersebut sebagai aksi protes atas perayaan kolonialisme – sebuah sistem yang seharusnya diakhiri oleh PBB. Peringatan tersebut dihapuskan dan PBB merayakan perayaan Hari Masyarakat Pribumi Sedunia dan Dekade untuk Masyarakat Pribumi Dunia, yang dimulai pada tahun 1994. Dekade kedua dinyatakan pada tahun 2005, dan PBB mengadopsi Deklarasi Hak Masyarakat Pribumi pada tahun 2007.”
Vatikan terus menunjukkan kebutaan terhadap isu-isu Masyarakat Pribumi. Sang Paus gagal untuk mengecam “The Right of Conquest!” yang memberikan pembenaran hukum bagi kolonisasi dan mencuri tanah serta sumber daya dari Masyarakat Pribumi. Paus Francis, dalam kunjungannya ke Amerika Serikat mengkanonisasi seorang misionaris California, Junipero Serra yang beberapa orang memanggilnya dengan Santo Genosida. Ia menolak untuk bertemu dengan 50 Bangsa Pribumi untuk membahas masalah tersebut. Orang-orang memprotes kanonisasi tersebut dengan mengganti nama Serra pada tanda-tanda di jalan dengan nama Toypurina, seorang wanita pribumi yang memimpin pemberontakan melawan Serra karena perlakuannya terhadap masyarakat pribumi sebagai budak, menghancurkan hak-hak budaya dan tindakan-tindakan yang menyebabkan kematian dari ribuan masyarakat pribumi.
Ini bukan hanya tentang mengubah nama dari hari perayaan tersebut, ini adalah tentang mengakhiri diskriminasi terhadap masyarakat pribumi. Proklamasi Hari Rakyat Pribumi di Albuquerque menyatakan hari tersebut “harus digunakan utnuk merefleksikan perjuangan yang sedang berlangsung dari Masyarakat Pribumi di tanah ini.” Kenyataannya adalah bahwa pria pribumi yang berumur 20 sampai 24 tahun adalah kelompok yang paling memungkinkan untuk menjadi korban dari kekerasan polisi. Ada banyak kasus pembunuhan wanita yang tidak mendapatkan cukup perhatian dan penyelidikan serta pemberitahuan publik tentang kebenarannya, terutama di Kanada. Masyarakat pribumi terus berjuang untuk kelangsungan hidup budaya mereka dan untuk menghentikan penjualan artefak-artefak suci mereka. Pada akar permasalahan dari pembersihan etnis yang sedang berlangsung ini adalah kegagalan ntuk mengakui hak-hak atas perjanjian.
Jalan Peperangan AS
Amerika Serikat telah melakukan peperangan dengan cara-cara brutal sejak sebelum negara ini didirikan. Dalam “Sejarah Masyarakat Pribumi Amerika Serikat”/”Indigenous People’s History of United States”, Roxanne Dunbar-Ortiz menulis tentang asal-usul ‘Jalan Peperangan AS’: “Dengan jalan peperangan ini, yang ditempa di abad pertama penjajahan – telah menghancurkan desa-desa dan ladang pribumi, membunuh warga sipil, perburuan dan berburu kulit kepala – menjadi dasar untuk berperang melawan Masyarakat Pribumi di seluruh benua sampai pada akhit abad kesembilan belas.”
Minggu ini militer AS mendapatkan kritik intensif dari seluruh dunia atas pemboman sebuah rumah sakit Medicins Sans Frontieres (MSF atau Dokter Tanpa Batas) di Kunduz, Afghanistan. Departemen Pertahanan telah mengubah ceritanya beberapa kali, setelah MSF membantah beberapa versi, berkembang dari kesalahan bahwa pemboman tersebut adalah sebuah rantai perintah dari komando AS yang melanggar aturan penyerangan. Ketika Margaret Flowers sedang duduk di antara para penonto di hadapan sidang senat Komite Angkatan Bersenjata dan Jenderal John Campbell berjalan untuk bersaksi, ia ingin memastikan ia mendengar kemarahan dari orang-orang atas pemboman Kunduz dan ia berkata “membom rumah sakit adalah sebuah kejahatan peperangan. Hentikan pemboman itu sekarang.” Senator John McCain memerintahkan agar ia ditahan karena membuat pernyataan ini.
Departemen Pertahanan akan menyilidiki dirinya sendiri, jadi kita tahu hasilnya bahkan sebelum penyelidikan tersebut dimulai. Sebuah penyelidikan independen diperlukan. Langkah Departemen Pertahanan baru-baru ini adalah untuk menolak permintaan kongres atas rekaman-rekaman audio dan video dari dalam kokpit pesawat yang membom. Sebuah permintaan atas rekaman tersebut di buat dalam sebuah kongres tertutup pekan ini. Departemen Pertahanan mengakui bahwa mereka telah meninjau rekaman tersebut yang memberikan bukti penting namun menolak aksesnya terhadap Kongres karena investigasi yang sedang berlangsung. Edward Snowden lah yang pertama kali mengusulkan bahwa rekaman-rekaman ini akan memberikan petunjuk yang berharga dan Wikileaks telah menawarkan hadiah sebesar $50.000 bagi yang bisa mendapatkannya. Departemen Pertahanan seharusnya merilis rekaman audio dan video dari insiden pemboman tersebut. Mari tandatangani petisi kami kepada Obama untuk menuntut agar rekaman tersebut dirilis sehingga kebenaran tentang pemboman tersebut dapat diketahui oleh semua orang.
Pemboman Kunduz dan peperangan AS baru-baru ini sangat konsisten dengan “Jalan Peperangan AS” yang meliputi penteroran masyarakat, membunuh warga sipil dari segala usia dan meniadakan layanan kesehatan bahkan makanan. Kita melihat kedua dari yang terakhir ini dalam taktik-taktik seperti sanksi-sanksi ekonomi yang meningkatkan kemiskinan atau tidak memperbolehkan untuk membuat resep obat. Taktik-taktik ini berasal dari pendirinya.
George Washington memerintahkan agar Enam Bangsa Rakyat Pribumi di New York diserang dengan membunuh atau menangkap para warga sipil dari segala usia:
“Objek-objek berikut adalah kehancuran total dari pemukiman mereka, dan penangkapan tahanan sebanyak-banyaknya dari berbagai usia dan jenis kelamin. Akan penting untuk menghancurkan hasil-hasil panen mereka sekarang dan mencegah mereka untuk menanamnya kembali. Saya akan merekomendasikan, bahwa beberapa pos di pusat Negara Indian, harus disibukkan dengan ekspedisi, dengan jumlah pengawasan dan pasukan yang cukup dari mana jika dibutuhkan untuk menghancurkan semua pemukiman di sekitar dan diperintahkan untuk melakukannya dengan cara yang paling ampuh, bahwa negara tidak boleh hanya dikasai, namun dihancurkan. Tetapi Anda tidak akan mendengarkan setiap pembukaan perdamaian sebelum penghancurkan total pada pemukiman-pemukiman.”
Di Vietnam, apakah tidak ada yang berpikir bahwa meluasnya penggunaan napalm tidak menimbulkan pembunuhan massal warga sipil? Dari tahun 1965 sampai 1973, depalan juta ton bom napalm dijatuhkan di wilayah Vietnam. Dan, Agent Orange, racun kimia yang tidak hanya membunuh dan menyebabkan masalah kesehatan yang serius bagi generasi berikutnya, namun juga meracuni tanah di wilayah itu digunakan. Antara tahun 1962 dan 1971, militer Amerika Serikat menyemprotkan hampir 20.000.000 galon Agent Orange di Vietnam. Pada tahun 1971, 12 persen dari total area Selatan Vietnam yang telah disemprotkan dengan bahan kimia yang beracun, pada konsentrasi rata-rata 13 kali dari skala yang direkomendasikan. Dua juta hektar lebih, 20 persen dari hutan dan sembilan puluh tujuh juta hektar lahan pertanian hancur.
Dan, Tom hayden bertanya di Democracy journal bahwa apakah orang-orang mengingat “pemboman AS terhadap rumah sakit Bach Mai di Hanoi pada tanggal 22 Desember 1972, ketika 28 dokter dan para perawat terbaring tak bernyawa di antara korban sipil? Yang memicu kemarahan dari warga Amerika dan internasional, menyebabkan Pentagon untuk membungkuk defensif, dan memacu gerakan massa untuk memberikan bantuan medis untuk Indocina/medical aid to Indochina (MAI).”
Selama Perang irak, ketika AS menyerang Fallujah, berhari-hari setelah George Bush memenangkan pemilihan ulang, pelayanan-pelayanan kesehatan menjadi target awal dari penyerangan tersebut.
Pada hari Sabtu, 6 November serangan di Fallujah dimulai. Roket-roket AS menghantam target pertama mereka: Rumah Sakit Hai Nazal, sebuah fasilitas baru yang baru saja siap untuk membuka pintunya. Seorang juru bicara dari First Marines Expeditionary Force mengatakan, “Tidak ada rumah sakit dalam daftar target kami.” Tapi kenyataannya itulah yang terjadi, rumah sakit tersebut hancur berkeping-keping. Kemudian, pada hari Minggu malam Pasukan Khusus menyerbu Rumah Sakit Umum Fallujah. Mereka mengumpulkan semua dokter, mendorong mereka tertelungkup di lantai dan mengikat mereka dengan tali plastik. Dengan rumah sakit yang diduduki, mereka yang terluka oleh bom-bom udara AS dilarikan ke Klinik Kesehatan Sentral Fallujah. Dan pada pukul 5.30, hari Selasa, 9 November pesawat tempur AS juga membom klinik tersebut, menewaskan 35 pasien, 15 petugas medis, 4 perawat, 5 staf pendukung dan 4 dokter, menurut dokter yang selamat (The Nation, 13 Desember). Serangan AS juga menargetkan sebuah ambulans yang menewaskan lima pasien dan seorang supir.”
Jon Schwartz dari Intercept menyediakan serangkaian contoh pemboman fasilitas sipil sejak tahun 1991 termasuk: Infant Formula Production Plant, Abu Ghraib, Iraq (January 21, 1991), Air Raid Shelter, Amiriyah, Iraq (February 13, 1991), Al Shifa pharmaceutical factory, Khartoum, Sudan (August 20, 1998), Train bombing, Grdelica, Serbia (April 12, 1999), Radio Television Serbia, Belgrade, Serbia (April 23, 1999), Chinese Embassy, Belgrade, Serbia (May 7, 1999), Red Cross complex, Kabul, Afghanistan (October 16 and October 26, 2001), Al Jazeera office, Kabul, Afghanistan (November 13, 2001), Al Jazeera office, Baghdad, Iraq (April 8, 2003), and the Palestine Hotel, Baghdad, Iraq (April 8, 2003).
Sepanjang kepresidenan Obama dan selama akhir kepresidenan Bush, AS telah menggunakan pesawat tanpa awak (drone) untuk membom beberapa negara. Ada beberapa laporan konsisten dari drone yang membunuh warga sipil termasuk Obama yang menewaskan sedikitnya 8 orang Amerika. Minggu ini pemerintahan Obama meningkatkan pembunuhan-pembunuhan ini lebih lanjut, mencoba untuk menolak akses hukum bagi keluarga korban dengan memberhentikan penanganan kasus mereka. AS juga melihat protes-protes di Jerman yang merupakan sekutunya untuk melawan penggunaan drone. Upaya-upaya untuk membawa transparansi penggunaan drone telah mengakibatkan tanggapan-tanggapan yang dicoret oleh permintaan FOIA.
Minggu ini AS bergerak ke arah konfrontasi langsung dengan Rusia dan Cina. Di Suriah, AS terlibat dalam peperangan yang tidak sah yang seharusnya juga untuk melawan ISIS, namun juga untuk mencapai tujuan jangka panjangnya dengan menempatkan kroni-kroninya di pemerintahan yang ramah terhadap AS di Suriah. Ada banyak ingormasi yang salah dan kebingungan tentang perang ini, yang sekarang telah melibatkan serangan-serangan udara Rusia. Berbeda dengan AS, Rusia diminta oleh pemerintah Suriah untuk membantu mencegah serangan-serangan teroris di Suriah. AS telah diam-diam menggunakan CIA untuk operasi-operasi daratnya dengan kelompok yang seharusnya menjadi teroris di Suriah sementara melakukan kampanye serangan udara juga. Jumlah kematian warga sipil memuncak dan eksodus pengungsi besar-besaran. Retorika ini meningkat, mantan Penasihat Keamanan Nasional Zbigniew Brzenzinski menyerukan pembalasan terhadap Rusia sementara Senator John McCain mengatakan bahwa AS sedang berada dalam perang yang menggunakan perwakilan dengan Rusia. Pembicaraan di Jenewa, tanpa prasyarat untuk nasib Presiden Assad sangatlah dibutuhkan.
Mengenai Cina, pekan lalu AS mengumumkan bahwa dalam dua munggu kedepan mereka akan mengirimkan kapal-kapal perang AS dalam zona 12 mil di sekitar pulau-pulau yang diklaim oleh Cina sebagai teritorinya di Spratly Chain. Keesokan harinya Cina menjawab bahwa mereka tidak akan mentolerir pelanggaran di wilayah perairannya dan mengatakan agar AS tidak mengambil tindakan-tindakan provokatif. Ini menetapkan sebuah potensi konflik yang selama ini telah dipicu oleh AS di wilayah tersebut, dengan menggunakan sekutu-sekutunya seperti Filipina, Taiwan, Malaysia dan Vietnam sebagai perwakilan untuk konflik dengan Cina atas kepulauan.
Perang Bukanlah Jawabannya, Sekarang adalah Waktunya untuk Mengakhiri Budaya Peperangan AS
Ralph Nader menunjuk kerugian-kerugian dari peperangan baru-baru ini di Irak, Afghanistan dan Suriah serta mengatakan ada pelajaran-pelajaran bagi Amerika Serikat. AS telah tak terkendalikan oleh hukum internasional dan menggunakan “kekuatan militer dimana-mana, walaupun ada perbatasan-perbatasan negara dan jumlah besar korban sipil yang dihasilkan.” AS telah menciptakan “alat kehancuran dan kekacauan yang dipenuhi dengan kekerasan” dan menghancurkan fungsi pemerintahan.
Nader menjelaskan tentang hasil yang disebabkan oleh “pembantaian sembrono dari warga sipil – di pesta-pesta pernikahan, sekolah-sekolah, klinik-klinik, anak-anak yang mengumpulkan kayu bakar di atas bukut – oleh rudal-rudal yang seharusnya menentukan dan akurat. Kebencian akan Amerika menyebar disaat orang-orang kehilangan orang yang mereka cintai.” Sebagai hasilnya, AS dianggap sebagai “penjajah yang kejam” yang menyebabkan negara-negara menghasilkan para pejuang yang termotivasi “dan” para pelaku bom bunuh diri. “Hasil dari kebijakan-kebijakan peperangan AS memicu perluasan cabang Al-Qaeda dan kelompok-kelompok kekerasan baru di lebih dari 20 negara.”
Nader menunjukkan bahwa “semua ini bisa dihindari” karena ada sejumlah pejabat militer pensiunan yang memperingatkan bahwa perang yang habis-habisan adalah sebuah jalur yang salah. Selanjutnya, Al-Qaeda, Taliban dan cabang-cabang mereka tidaklah menenangkan ‘hati dan pikiran’ rakyat dengan kebijakan brutal mereka, namun janji ketertiban dan hukum mereka lebih baik dari kekacauan militerisme AS.
Kebijakan-kebijakan perang ini berusaha untuk mencapai dominasi penuh yang juga memiliki efek negatif di dalam AS. Nader menunjukkannya dengan: “membahayakan dan menguras tentara AS, ekonomi domestik AS, mahal, bersifat bumerang, peperangan luar negeri yang tak berujung dan pembangunan-pembangunan dari Kekaisaran untuk menyebarkan kecemasan dan menurunkan tingkat harapan para rakyat Amerika untuk anggaran dan pelayanan publik.”
Bagaimana kita bisa keluar dari rawa-rawa yang kita buat sendiri ini? Nader memberikan jawabannya – sebuah perubahan yang mendekatkan diri pada seluruh dunia, mengakhiri budaya peperangan dan bergerak kearah budaya kemanusiaan. Seperti yang Nader katakan:
“Tidak berulang kali melakukan apa yang telah terbukti gagal adalah langkah awal menuju kebenaran. Begitu lebih baiknya dan murahnya jika sejak dulu AS menjadi kekuatan kemanusiaan – yang diterima dengan baik oleh miliaran orang di tanah yang dilanda peperangan.”
Mari kita behenti mengulangi kesalahan-kesalahan yang telah bersama kita sejak Columbus. Mari kita mengakhiri budaya peperangan Amerika ini.
- Source : www.counterpunch.org