Suriah: Mari sambut masuknya Rusia dalam peperangan ini
Intervensi militer Rusia di Suriah, meskipun meningkatkan konflik pada tingkat internasional juga menghadirkan peluang dan juga komplikasi. Tidak ada solusi sederhana bagi peperangan yang mengerikan ini yang telah menghancurkan Suriah. Dari populasi 22 juta jiwa, empat juta warga Suriah telah mengungsi keluar negeri dan tujuh juta lainnya terlantar di dalam negeri.
Saya baru-baru ini berada di bagian utara-timur Suriah yang dikuasai olah orang-orang Kurdi, di mana reruntuhan Ayn al-Arab yang hancur karena bom-bom terlihat seperti foto-foto Stalingrad seetlah pertempuran. Namun sama signifikannya adalah kenyataan bahwa orang-orang terlalu takut untuk kembali kei kota-kota dan desa-desa yang pernah disinggahi oleh ISIS, di mana rumah-rumah mereka sebagian besar telah dihancurkan.
Warga Suriah benar untuk memiliki rasa takut. Mereka tahu bahwa apa yang terjadi di medan peperangan pada hari ini mungkin akan terjadi di esok hari. Pada tahap ini, perang tersebut adalah campuran beracun dari setengah lusin konfrontasi dan krisis yang melibatkan pemain di dalam dan luar negeri. Perjuangan yang terpaut untuk merebut kekuasaan mendorong Assad kepada pemberontakan rakyat, Syiah melawan Sunni, Kurdi melawan Arab Saudi dan Turki, Isis melawan semua pihak, Iran melawan Arab Saudi dan Rusia melawan AS.
Salah satu dari banyak masalah untuk mengakhiri ini, atau bahkan untuk mengurangi ekskalasi krisis-krisis ini, adalah bahwa pemain-pemain yang mementingkan diri sendiri ini cukup kuat untuk mempertahankan argumen mereka sendiri, namun terlalu lemah untuk men-sekak mat lawan mereka. Inilah sebabnya mengapa keterlibatan Moskow bisa memiliki dampak positif: Rusia setidaknya adalah penyerang yang mematikan, mampu menciptakan peristiwa-peristiwa dengan tindakannya sendiri dan sangat mempengaruhi perilaku sekutu-sekutu serta perwakilan-perwakilannya.
Barack Obama mengatakan pada sebuah konferensi pers setelah serangan-serangan udara Rusia bahwa “kita tidak akan membuat Suriah sebagai wilayah perwakilan peperangan antara Amerika Serikat dengan Rusia.” Namun Perang Dingin AS-Soviet dan persaingan global yang berdasarkan oleh itu memiliki manfaat bagi banyak orang di dunia. Kedua negara adudaya tersebut berusaha utuk mendukung sekutu-sekutu mereka sendiri dan mencegah perkembangan kevakuman politik yang mungkin dapat dieksploitasi oleh pihak lawan. Krisis-krisis tidak di masa lampau tidak memburuk seperti yang terjadi pada hari ini, dan Rusia dan Amerika bisa melihat bahaya bahwa mereka akan tergelincir sepenuhnya tanpa kendali dan memprovokasi sebuah krisis internasional.
Keseimbangan kekuasaan global ini berakhir dengan runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, dan bagi Timur Tengah dan Afrika Utara ini berarti peperangan berlanjut. Saat ini adal delapan konflik bersenjata yang sedang bergejolak, termasuk Pakistan dan Nigeria (Angkanya akan bertambah jika seseorang menambahkan Sudan Selatan, di mana pembaharuan pertempuran sejak tahun 2013 telah menghasilkan 1,5 juta orang terlantar). Tanpa saingan adidaya, AS dan sekutunya seperti Inggris dan Perancis sebagian besar tidak lagi memedulikan apa yang terjadi di tempat-tempat ini dan, ketika mereka melakukan intervensi, seperti di Libya dan Irak, itu adalah untuk memasang rezim klien yang lemah. Antusiasme yang ditunjukkan oleh David Cameron dan Nicolas Sarkozy menggulingkan Muammar Gaddafi, kontras dengan ketidakpedulian mereka disaat Libya jatuh ke dalam situasi yang anarkis.
Secara keseluruhan, akan lebih baik jika Rusia sepenuhnya terlibat di Suriah daripada hanya menunggu di pinggiran sehingga memiliki kesempatan untuk membantu mendapatkan kembali kendali atas situasi yang telah lama berada di luar kendali. Hal ini dapat mempertahankan agar Assad tetap berkuasa di Damaskus, namun kekuatan untuk melakukan hal tersebut berarti dapat digunakan pula untuk memodifikasi gerakan perilaku pergerakan kekuasaan kearah yang dapat mengurangi kekerasan, gencatan senjata lokal dan pembagian kekuasaan regional. Selalu tidak masuk akal jika Washington dan sekutu-sekutunya menggambarkan masalah ini dengan pemikiran “Assad tetap bertahan atau tidak”, bahwa akhir kepemimpinan Assad akan menyebabkan kehancuran negara Suriah seperti Libya dan Irak atau akan memiliki dampak terbatas karena para peserta perang sipil Suriah hanya akan berperang.
Intervensi dari Suriah bisa memberikan dampak positif dalam mengurangi ekskalai peperangan di Suriah dan Irak, tetapi membaca teks dari konferensi pers Presiden Obama hanya menunjukkan pemahaman terbatas dari apa yang terjadi di sana. Suriah adalah hanya satu bagian dari perjuangan umum antara Syiah dan Sunni dan, meskipun ada jauh lebih banyak Sunni daripada Syiah di dunia ini, faktanya tidaklah begitu di wilayah ini. Antara Afghanistan dan Mediterania – Iran, Irak, Suriah dan Lebanon – ada lebih dari 100 juta jiwa Syiah dan 30 juta Sunni.
Dalam hal politik, kesenjangan ini bahkan lebih besar karena pihak militer yang kuat dari orang-orang Kurdi yang minoritas, walaupun beragama Sunni Islam, takut akan ISIS dan para jihadis ekstrim Arab Sunni daripada pihak-pihak lain. Negara-negara Barat berpikir bahwa Assad akan turun pada tahun 2011 – 12, dan ketika ternyata tidak terjadi mereka gagal untuk merancang sebuah kebijakan baru.
Perdamaian tidak dapat dicapai di Suriah dan Irak sampai ISIS dikalahkan. Kampanye serangan udara yang dipimpin oleh AS belum berhasil. Para militan ISIS belum kalah di bawah serangan-serangan udara berat, di daerah Kurdi Suriah dan Irak, baik mempertahankan wilayah daratnya atau memperluas. Ada sesuatu yang menggelikan tentang perdebatan Inggris mengenai apakah ya atau tidak untuk bergabung dalam kampanye penyerangan udara Suriah tanpa menyebutkan bahwa sejauh ini terbukti gagal dalam tujuan-tujuannya.
Pergi bertempur melawan ISIS berarti mendukung, atau setidaknya membicarakan tentang kekuatan-kekuatan yang selama ini sudah memerangi jihadis ekstrim ini. Misalnya, lawan yang paling efektif di Suriah adalah para pasukan Kurdi Suriah. Mereka ingin maju kearah barat melintasi sungai Efrat dan mengambil alih perbatasan terakhir ISIs yang bersimpangan dengan Turki di Jarabulus. Recep Tayyip Erdogan, Perdana Menteri Turki mengatakan pada pekan lalu bahwa ia tidak akan pernah menerima “keadaan yang harus diterima tersebut”, namun masih belum jelas apakah AS akan memberikan dukungan serangan udara bagi sekutu Kurdi dan memberikan tekanan pada Turki agar tidak menyerang Suriah bagian utara.
Rusia dan Iran harus diintegrasikan sejauh mungkin ke dalam setiap pembicaraan tentang masa depan Suriah. Namun harus ada harga langsung untuk hal ini: seperti memaksa Assad akan berdiam diri untuk saat ini, dan pasukannya harus berhenti menembaki dan menggunakan bom-bom barel terhadap daerah-daerah yang dikuasai oleh oposisi. Gencatan senjata lokal biasanya hanya terjadi di Suriah karena salah satu pihak dikalahkan. Namun gencatan senjata yang lebih luas bisa diatur jika perwakilan lokal ditekan oleh para pendukung mereka di luar.
Semua ini lebih atau kurang harus terwujud secara bersamaan. Masalahnya adalah bahwa krisis yang tercantum di atas telah saling menginfeksikan satu sama lain. Kekuatan regional seperti Turki, Iran, Arab Saudi dan kerajaan-kerajaan Teluk memeiliki tolak ukur yang kuat untuk mengendalikan para perwakilan lokal mereka. Namun para penggerak lokal ini yang tidak peduli akan kehancuran Suriah dan masih memimpikan kemenangan akhir, hanya akan dipaksa berkompromi dengan Washington dan Moskow.
Rusia dan Amerika harus lebih terlibat secara penuh di Suriah, karena jika mereka tidak, kekosongan kekuasaan yang mereka tinggalkan akan diisi oleh kekuatan-kekuatan regional dengan agenda-agenda sektarian dan etnis mereka. Inggris dapat memainkan peran positif di sini, tetapi hanya jika mereka berhenti mengambil bagian dalam permainan “mari berpura-pura” di mana para jihadis garis keras di beri label sebagai moderat mereka. Seperti pada perundingan Irlandia Utara pada tahun 1990-an, mengakhiri peperangan di Suriah tergantung pada membujuk mereka yang terlibat bahwa mereka tidak bisa menang, tapi mereka bisa bertahan dan mendapatkan bagian dari apa yang mereka inginkan. AS dan Rusia mungkin bukanlah negara-negara adidaya seperti dulu, tetapi hanya mereka yang memiliki kekuatan untuk mencapai kesepakatan dari perjanjian tersebut.
- Source : www.informationclearinghouse.info