Maaf Jika Terdengar Jorok, Korea Utara Meributkan Tinja
Alih-alih membuat kebijakan mengatasi kekurangan pangan, otoritas Korea Utara malah meributkan soal (maaf) kakus. Mereka memerintahkan penduduk di luar ibukota Pyongyang untuk menghancurkan kakus pribadi.
Laman Radio Free Asia (RFA) melaporkan, Jumat (25/11), pemerintah meminta setiap lingkungan membangun toilet komunal sebagai ganti kakus pribadi. Alasannya demi kebersihan lingkungan.
Namun, pemerintah tidak akan membantu pendanaannya, toilet umum itu harus dibangun dengan swadaya masyarakat.
Banyak orang mengeluh dan menganggap rencana tersebut tidak masuk akal. Pasalnya, sebagian besar penduduk desa sedang menghadapi tantangan mengatasi kebutuhan yang lebih mendasar, seperti pangan dan keluar dari situasi pandemi Covid-19.
“Masyarakat tidak memiliki cukup makanan karena kesulitan hidup akibat virus corona. Mereka tinggal di rumah yang bocor dan bahkan tidak punya uang untuk memperbaikinya,” kata seorang penduduk kota Tokchon di provinsi barat laut Pyongan Utara kepada RFA.
Di luar Pyongyang, sangat sedikit rumah di Korut yang memiliki WC pribadi. Mereka yang tinggal di apartemen sering menggunakan toilet komunal. Sementara penduduk pedesaan membangun MCK (tempat mandi, cuci, kakus) yang terpisah dari rumah mereka.
Ada toilet umum di setiap inminban --semacam Rukun Warga (RW) di Indonesia-- tapi kondisinya jorok. Pihak berwenang meminta peturasan di bangun di setiap Rukun Tetangga (RT).
“Pekan lalu, penduduk di daerah Songchon dimobilisasi untuk menghancurkan toilet umum desa dan memperluas serta membangun yang baru,” ujar seorang penduduk di provinsi Pyongan Selatan, utara Pyongyang.
Pihak berwenang memerintahkan jamban pribadi atau keluarga dihancurkan karena hanya mencemari lingkungan. Sistem sanitasi di desa-desa di Korut masih buruk.
Protes warga berkaitan dengan kuota setoran tahunan 'pupuk kotoran manusia' untuk kebun komunal. Di Korut, setiap warga negara yang sehat wajib menyetor pupuk kotoran manusia sebanyak 100 kilogram per tahun.
Pada Oktober lalu, menurut RFA, perkelahian pecah di kamar mandi umum karena warga mengklaim kotoran manusia di dalamnya. Ini menyangkut kuota tinja untuk disetor sebagai pupuk tadi.
Sumber di Tockhon yang minta disembunyikan jati dirinya mengatakan bahwa kuota 'pupuk manusia' yang dipatok pemerintah terlalu tinggi. Dengan kebijakan melarang jamban pribadi, urusan kuota ini bikin tambah runyam.
"Penduduk tidak lagi memiliki sumber limbah pribadi untuk disetor," katanya. "Feses dianggap sama seperti uang tunai di Korut. Anda harus bayar denda kalau setoran tinja tak mencapai kuota," ia menambahkan. Berabe, kan?
- Source : www.publica-news.com