Repotnya Bercerai di Korut: Dicap 'Antisosialis', Dijatah Pula
Betapa repot untuk bercerai di Korea Utara. Selain dicap anti-sosialisme, pengadilan membatasinya berdasarkan kuota penduduk.
Sejak pandemi Covid-19, yang membuat ekonomi penduduk memburuk, banyak rumah tangga di Korut bersibak. Namun mendaftarkan perceraian ke pengadilan bisa makan waktu bertahun-tahun.
Menurut Radio Free Asia (RFA) ada langkah agak cepat, yakni lewat pintu belakang alias menyogok.
"Baru-baru ini, karena alasan ekonomi dan jumlah keluarga yang ingin bercerai meningkat, pihak berwenang memerintahkan pengadilan untuk tidak dengan mudah menyetujui perceraian," kata seorang penduduk Kyongsong, Provinsi Hamgyong Utara, kepada RFA, Senin (1/8).
Perempuan yang minta disembunyikan jatidirinya tersebut belum lama ini lewat depan gedung pengadilan. Ia melihat antrean panjang orang mendaftar untuk bercerai.
Pengadilan biasanya tidak mengabulkan kecuali ada 'alasan yang tidak dapat dihindari'. Sumber tersebut menjelaskan, perceraian secara tradisional diakui sebagai tindakan anti-sosialis, yang bisa menciptakan kerusuhan sosial.
"Di sini, di Korea Utara, mereka wajib menjalani 'gaya hidup sosialis' yang mencakup 'revolusi rumah tangga'. Pernikahan yang tidak bahagia dianggap tidak revolusioner," ujarnya.
Pekan lalu ia terkejut mendapat penjelasan dari seorang pejabat pengadilan. Sang pejabat mengatakan jumlah kasus perceraian yang dapat ditangani oleh setiap pengadilan dibatasi berdasarkan populasi.
"Kabupaten Kyongsong, yang berpenduduk sekitar 106.000 jiwa, hanya bisa mengabulkan 40 perceraian setahun," katanya.
Jika pengadilan melebihi kuota sidang perceraian, akan diselidiki oleh pihak berwenang. "Saya tahu pengadilan enggan menyetujui perceraian, tetapi mengejutkan mendengar bahwa pihak berwenang bahkan menetapkan jumlah persidangan perceraian," ujarnya.
Salah seorang perempuan yang antre di Pengadilan Kyongsong mengatakan, setelah rumah tangganya bubar, ia kembali ke kampung halamannya di Myonggan. Tapi dua tahun bolak-balik ke Kyongsong, urusan perceraiannya tak kunjung kelar.
Seorang penduduk Kabupaten Unhung, Provinsi Ryanggang, mengatakan angka perceraian di daerahnya meningkat. "Dulu ada kecenderungan malu untuk cerai, tapi sekarang tidak lagi,” ujarnya.
Tetapi tidak mudah untuk berparak jika tak punya uang untuk menyuap hakim. "Besaran suap juga akan menentukan seberapa lama pengajuannya diproses," ia menjelaskan.
Suap adalah fakta kehidupan di negara yang dipimpin Kim Jong-un tersebut. Bahkan suap sudah terjadi sejak pengajuan surat permohonan cerai.
"Kenyataannya adalah jika Anda tidak membayar suap, Anda tidak akan bercerai bahkan setelah menunggu tiga hingga lima tahun," penduduk tersebut menegaskan.
Teman sang sumber bercerita membayar 500 yuan, setara Rp 1 juta lebih, untuk surat permohonan cerainya didaftar. Ia masih harus merogoh kocek 1.500 yuan lagi untuk menyogok hakim.
Seorang penduduk di kota timur laut Chongjin membayar 1.500 yuan plus aki truk kepada seorang hakim. "Kenyataan di Korea Utara adalah Anda tidak bisa bercerai tanpa uang," katanya.
Repotnya urusan cerai membuat seorang pria di daerah Kyongsong yang kurang mampu nekat hidup bersama dengan wanita barunya. Ia tinggalkan begitu saja istrinya karena lebih dari empat tahun tanpa ada putusan pengadilan.
Tetapi dia ditangkap oleh pihak berwenang atas tuduhan kejahatan 'perkawinan ganda'. Pria tersebut dijatuhi hukuman kerja paksa.
- Source : www.publica-news.com