Tampar Presiden Prancis Dibui 4 Bulan, di RI Kritik Jokowi Dipenjara 4,5 Tahun
Menampar tokoh sekaliber Presiden Prancis saja cuma diganjar hukuman bui 4 bulan, tapi di Indonesia, mengkritik presiden harus menghadapi hukuman kurungan bertahun-tahun lamanya.
Pengadilan Prancis pada Kamis memvonis seorang pria yang menampar wajah Presiden Prancis Emmanuel Macron minggu ini dengan hukuman penjara 18 bulan, 14 di antaranya ditangguhkan, catat Al Jazeera.
Adalah Damien Tarel, penggemar sejarah abad pertengahan berusia 28 tahun yang didakwa sebagai pelaku. Ia ditahan sejak serangan itu pada Selasa, yang oleh seorang jaksa disebut “sama sekali tidak dapat diterima” dan “tindakan kekerasan yang disengaja”.
Tarel menyerang Macron ketika presiden Prancis berjabat tangan dengan anggota masyarakat saat berjalan-jalan di wilayah Drome Prancis.
Tarel mengatakan, beberapa hari sebelum kunjungan Macron ke wilayah tersebut, dia telah berpikir untuk melemparkan telur atau krim tart ke presiden, sedangkan tamparan itu tidak direncanakan.
“Saya pikir Macron mewakili dengan sangat rapi pembusukan negara kita,” katanya kepada pengadilan, menurut BFM TV.
“Jika saya menantang Macron untuk berduel saat matahari terbit, saya ragu dia akan merespons.”
Tarel menghadapi tuduhan penyerangan terhadap pejabat publik, pelanggaran yang membawa hukuman maksimum tiga tahun penjara dan denda 45.000 euro (US$54.750).
BEDA DENGAN INDONESIA
Sementara di Indonesia, Anda tak perlu menampar presiden untuk bisa merasakan dinginnya hotel prodeo. Pasalnya, revisi RKUHP membuka kemungkinan menjerat orang-orang yang menyerang harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden melalui media sosial atau pun sarana elektronik lainnya, dengan hukuman tindak pidana penjara selama 4,5 tahun atau denda paling banyak hingga Rp200 juta.
Dilansir dari CNBC Indonesia, tindakan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden tertuang dalam Bab II Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden. Bagian kedua Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden.
Pasal 218 ayat 1 berbunyi:
“Setiap orang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau denda paling banyak kategori IV.”
Kendati begitu, pasal di atas tidak akan berlaku jika dilakukan untuk membela diri. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 218 ayat (2) yang berbunyi:
“Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.”
Ini berarti, orang yang melakukan penghinaan tidak akan dihukum apabila terbukti melakukannya untuk membela atau melindungi diri.
Selanjutnya, ancaman hukuman bisa bertambah 1 (satu) tahun apabila penghinaan itu dilakukan lewat media social atau sarana elektronik lainnya seperti yang tertuang dalam Pasal 219 Bab II tentang Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden yang berbunyi:
“Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.”
Adapun denda kategori IV yang dimaksud di atas yaitu maksimal Rp200 juta (Pasal 799 RUU KUHP).
RUU KUHP juga menegaskan, delik di atas bersifat delik aduan, sehingga aparat tidak bisa menindak apabila presiden atau wakil presiden yang bersangkutan tidak mengadu ke kepolisian. Itu artinya, meski telah melakukan penghinaan atau penyerangan melalui media sosial, pelaku tidak akan mendapat hukuman selama Presiden atau Wakil Presiden tidak melapor. Hal itu diatur dalam pasal 220 ayat 1 dan 2 yang berbunyi :
“(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan.
(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden.”
- Source : www.matamatapolitik.com