www.zejournal.mobi
Rabu, 20 November 2024

Awal Mula Konflik Israel-Palestina: Semua yang Perlu Kita Tahu

Penulis : Retno Wulandari | Editor : Anty | Senin, 10 Mei 2021 11:57

Konflik Israel-Palestina adalah salah satu konflik paling abadi dan paling tragis di dunia, tetapi bagaimana konflik tersebut dimulai, dan apa yang akan terjadi di masa depan? Berikut pemaparan mengenai awal mula konflik Israel-Palestina, mengapa perdamaian belum tercapai, dan bagaimana prospek konflik ini di masa depan. Ikuti juga berita Palestina terkini yang telah dicantumkan di akhir artikel ini.

SBS News melaporkan, seiring Eurovision berlangsung di Tel Aviv, sorotan global menyinari wilayah yang telah terperosok dalam kontroversi selama bertahun-tahun itu.

Kontes musik di kota terbesar kedua Israel tersebut telah menjadi sasaran protes dan seruan boikot.

Di sini, SBS News mengingat kembali konflik Israel-Palestina yang telah berlangsung selama beberapa dekade.

Seorang pria berjalan di dekat kabel listrik di kamp pengungsi Burj al-Barajneh di Beirut, Lebanon, 24 Juni 2019. Slogan di dinding bertuliskan “Yerusalem adalah ibu kota Palestina, pilihan kami adalah perlawanan”. (Foto: Reuters/Aziz Taher)

BAGAIMANA AWAL MULA KONFLIK ISRAEL-PALESTINA?

Sejak akhir Perang Dunia Kedua, perjuangan sengit antara Israel dan Palestina telah menjadi salah satu konflik paling tragis dan tak terselesaikan di dunia. Ini adalah kekacauan yang rumit, tetapi pada satu tingkat itu sangat sederhana.

“Ini adalah konflik tentang wilayah, sesederhana itu,” kata Dr Gil Merom, pakar keamanan internasional dari University of Sydney kepada SBS News.

Akar konflik ini dimulai sejak zaman Alkitab. Tetapi dari perspektif sejarah modern, akhir 1800-an dan awal 1900-an adalah pusat dari situasi yang ada sekarang.

Antara 1882 dan 1948, serangkaian Aliyah—gerakan besar-besaran Yahudi dari seluruh dunia untuk masuk ke suatu daerah, yang dari 1917 secara resmi dikenal sebagai Palestina—terjadi.

Pada 1917, tak lama sebelum Inggris menjadi kekuatan kolonial di Palestina, negara itu mengeluarkan Deklarasi Balfour yang menyatakan, “Pemerintah Yang Mulia mendukung pendirian rumah nasional untuk rakyat Yahudi di Palestina, dan akan melakukan upaya terbaik mereka untuk memfasilitasi pencapaian tujuan ini.”

Masyarakat Palestina menolak langkah itu, tetapi sejarah tidak menguntungkan mereka.

Menyusul kengerian Holocaust di mana hingga enam juta orang Yahudi terbunuh di Eropa, dorongan untuk mendirkan negara Yahudi menjadi semakin kuat.

Sebuah situs konstruksi di permukiman Israel Givat Ze’ev, di Tepi Barat yang diduduki. (Foto: Reuters/Baz Ratner)

PERANG ARAB-ISRAEL

Pada 1947, PBB memilih untuk membagi wilayah yang diperebutkan menjadi tiga bagian; satu untuk orang Yahudi, satu untuk orang Arab, dan rezim perwalian internasional di Yerusalem.

Orang-orang Arab tidak menerima kesepakatan itu, dan mengatakan bahwa PBB tidak punya hak untuk mengambil tanah mereka. Perang pun pecah.

Narasi Palestina mengatakan bahwa Zionis (mereka yang mendukung pembentukan kembali tanah air Yahudi di Israel) kemudian mulai memaksa orang-orang keluar dari rumah mereka.

Versi Israel menunjukkan bahwa ada pemimpin Arab yang mendorong orang-orang untuk pergi dan beberapa orang Arab pergi secara sukarela.

Perang Arab-Israel pada 1948 yang berdarah membuat 700.000 warga Palestina meninggalkan rumah mereka–sebuah eksodus massal yang dikenal sebagai ‘Nakba‘, bahasa Arab untuk ‘malapetaka’.

Tetapi ada juga orang-orang Palestina yang tinggal di Israel, dan pada 2013, Biro Pusat Statistik Israel memperkirakan bahwa populasi Arab Israel mencapai lebih dari 1,6 juta jiwa, atau sekitar 20 persen dari populasi Israel.

Perang 1948 penting karena masih menjadi bagian sentral dari konflik yang sedang berlangsung saat ini.

Israel menguasai semua wilayah yang disengketakan kecuali Tepi Barat—bagian timur Yerusalem (yang dikuasai Yordania) dan Jalur Gaza (dikuasai Mesir).

Dan keturunan dari 700.000 orang Palestina tersebut—yang telah menghabiskan beberapa generasi tinggal di kamp-kamp pengungsi—sekarang berjumlah sekitar 4,5 juta jiwa menurut UNRWA, sebuah badan PBB yang didedikasikan untuk para pengungsi Palestina.

Tuntutan utama warga Palestina dalam perundingan damai adalah “hak untuk kembali” bagi para keturunan ini ke rumah-rumah yang ditinggalkan keluarga mereka pada 1948.

Ada perang besar lain di 1967, di mana Israel mengalahkan pasukan Mesir, Suriah, dan Yordania dalam konflik yang berlangsung hanya enam hari, dan mengakibatkan Israel merebut Tepi Barat dan Yerusalem Timur dari Yordania.

Mereka telah mengendalikan wilayah-wilayah ini sejak saat itu.

Wilayah tersebut dianggap oleh PBB sebagai wilayah Palestina, dan banyak negara lain menganggapnya sebagai tanah “pendudukan”, sementara Israel menganggapnya sebagai wilayah “yang disengketakan” dan ingin statusnya diselesaikan dalam negosiasi perdamaian.

MENGAPA PERDAMAIAN BELUM TERCAPAI?

Setelah bertahun-tahun konflik yang diwarnai kekerasan, kedua belah pihak mencapai kesepakatan pada 1993, di mana Palestina akan mengakui negara Israel dan Israel akan mengakui Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) sebagai perwakilan sah rakyat Palestina. Disebut Perjanjian Oslo, kesepakatan itu juga menciptakan Otoritas Palestina yang memiliki beberapa kekuasaan pemerintahan sendiri yang terbatas di Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Itu adalah kesepakatan sementara, sebelum apa yang seharusnya menjadi perjanjian damai komprehensif dalam lima tahun.

Itu tidak terjadi. Ada KTT perdamaian yang gagal diselenggarakan oleh AS pada 2000.

Kunjungan Ariel Sharon—pria yang saat itu akan menjadi Perdana Menteri Israel—ke Kuil Mount di Yerusalem Timur yang dilihat oleh Palestina sebagai penegasan kedaulatan Israel atas Masjid Al-Aq?? (situs tersuci ketiga Islam), merupakan salah satu alasan utama yang mengarah pada intifada kedua (pemberontakan dengan kekerasan) warga Palestina.

Selama lima tahun berikutnya, ada sekitar 3.000 korban dari warga Palestina dan 1.000 korban Israel, di mana banyak warga sipil Israel tewas karena aksi bom bunuh diri.

Konsekuensinya sangat besar. Israel mundur dari Gaza, dan pada pertengahan 2000-an Hamas—sebuah faksi fundamentalis Sunni Palestina yang dianggap sebagai organisasi teroris oleh banyak negara—mengambil alih wilayah pesisir.

Fatah—organisasi Palestina yang lebih umum—tetap mengendalikan Otoritas Palestina yang diakui secara eksternal, yang berbasis di Tepi Barat.

Hamas menggunakan Gaza sebagai landasan untuk serangan roket atau mortir yang sesekali melintasi perbatasan, yang memperkuat pandangan publik Israel. “Itu membuat warga Yahudi Israel semakin menentang segala bentuk perjanjian dengan Palestina,” kata Dr Merom.

“Logikanya adalah: jika kita memberi mereka sebuah wilayah dan yang mereka lakukan hanyalah menjadikannya basis untuk menyerang permukiman Israel, maka kesepakatan seperti apa itu?”

Karenanya, Gaza ditempatkan di bawah blokade militer Israel yang membatasi pasokan makanan, air, dan energi untuk 1,8 juta penduduknya.

Kondisi hidup masyarakat Palestina ini telah digambarkan sebagai penjara terbuka terbesar di dunia.

Anak-anak lelaki Palestina bermain di dekat graffiti yang bertuliskan: “Palestina” di kamp pengungsi al-Fari’ah di Tepi Barat yang diduduki Israel 23 Juni 2019. Foto diambil 23 Juni 2019. (Foto: Reuters/Raneen Sawafta)

Israel menjadi kekuatan nuklir yang tidak diumumkan pada pertengahan  1980-an dan, dengan dukungan Amerika Serikat (AS), membangun salah satu pasukan pertahanan paling tangguh di dunia.

Asisten Profesor Maha Nassar, dari Sekolah Studi Timur Tengah dan Afrika Utara di University of Arizona, berpendapat bahwa dukungan AS terhadap Israel telah menjadi salah satu alasan utama mengapa konflik ini sangat sulit untuk diselesaikan.

“Pihak paling kuat yang terlibat—Amerika Serikat—telah secara konsisten memihak Israel atas Palestina, dan telah menekan Palestina untuk melepaskan hak dasar mereka untuk menentukan nasib sendiri,” katanya kepada SBS News.

“Mereka telah melakukan ini dalam banyak cara yang berbeda, terutama dengan menawarkan kepada rakyat Palestina ‘peraturan’ di mana rakyat Palestina tidak memiliki kendali nyata atas perbatasan, air, pertahanan, atau penduduknya sendiri. Rakyat Palestina tidak pernah ditawari negara yang berdaya, berdampingan, dan berdaulat penuh.”

BAGAIMANA DENGAN SOLUSI DUA NEGARA?

Pihak Israel tidak akan pernah menerima hak diaspora pengungsi Palestina untuk kembali ke Israel, karena hal itu pada dasarnya akan mengubah sifat Israel menjadi negara minoritas Yahudi.

Ini telah membangkitkan perbandingan yang tidak nyaman dengan Afrika Selatan di bawah apartheid, termasuk dalam laporan pada 2017 oleh Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia Barat, dan bahkan di masa lalu oleh mantan politisi Israel.

Pihak Israel mengkritik perbandingan apartheid yang dibuat dalam laporan itu.

Emmanuel Nahshon, juru bicara Kementerian Luar Negeri Israel, membandingkannya dengan tabloid Nazi dan memberi tanda bahwa Sekretaris Jenderal PBB António Guterres belum mendukung laporan tersebut.

Solusi dua negara umumnya diperdebatkan sebagai satu-satunya solusi jangka panjang. Tetapi ada banyak kendala untuk itu.

Pemandangan umum kota tua Yerusalem menunjukkan Kubah Batu di kompleks yang dikenal Muslim sebagai al-Haram al-Sharif dan untuk orang Yahudi sebagai Kuil Gunung, tanggal 25 Oktober 2015. (Foto: Reuters/Amir Cohen)

MASALAH YERUSALEM

Yang pertama adalah Yerusalem. Keputusan pemerintah Trump baru-baru ini untuk memindahkan Kedutaan Besar AS di Israel ke Yerusalem dianggap signifikan secara simbolis.

Walau AS secara resmi tidak mengambil posisi terkait perbatasan, namun langkah itu meningkatkan ketegangan karena dianggap mengindikasikan dukungan untuk posisi Israel di Yerusalem.

“Langkah ini berarti akhir dari solusi dua negara,” kata Profesor Nassar.

“Itu karena salah satu prinsip inti (di pihak Palestina) adalah bahwa Yerusalem Timur akan menjadi ibu kota negara Palestina di masa depan.”

Tetapi pemerintah Israel di bawah Netanyahu mengklaim bahwa Yerusalem adalah “ibu kota Israel yang tidak terbagi”.

“Israel menganeksasi Yerusalem Timur pada 1980, yang melanggar hukum internasional,” kata Profesor Nassar.

“Dengan langkah ini, AS jelas berpihak pada sikap Netanyahu, mengakhiri harapan negara Palestina dengan ibu kotanya di Yerusalem Timur.”

Tetapi Yerusalem dan statusnya bukan satu-satunya penghalang, meskipun hampir semua pemangku kepentingan kecuali Hamas berkomitmen untuk solusi dua negara dalam teori, kata Dr Merom.

Hambatan besar lainnya termasuk lokasi perbatasan yang tepat; nasib para pengungsi Palestina (entah mereka dapat memiliki hak untuk kembali atau tidak); dan masalah tentang permukiman Yahudi di wilayah Palestina—di mana hampir setengah juta warga Israel Yahudi sekarang telah membangun rumah di mana PBB dan sebagian besar masyarakat internasional menganggapnya pemukiman ilegal.

Profesor Hassar mengatakan bahwa perdamaian tidak akan mungkin tercapai sampai Palestina “diperlakukan dengan hak yang sama untuk kebebasan dan martabat seperti orang lain.”

APA YANG MENANTI DI MASA DEPAN?

Politik Israel mungkin menjadi kendala lebih lanjut.

Dr Merom mengatakan bahwa Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu—subjek investigasi korupsi dan penyuapan—secara ideologis menentang status kenegaraan Palestina.

Netanyahu telah memenangkan lima pemilu, dan tetap populer dalam pemilu meskipun ada penyelidikan korupsi. Dia berada di jalur yang tepat untuk menjadi perdana menteri terlama dalam sejarah Israel.

Adapun terkait prospek untuk perdamaian di masa depan, tidak ada yang terlalu optimis dalam jangka pendek hingga menengah.

Di Jalur Gaza, kekerasan terus berkobar. Awal Mei 2019 lalu, tembakan roket dari Gaza dan aksi militer Israel mengakibatkan kematian di kedua belah pihak. Gencatan senjata yang rapuh sudah terbentuk, tetapi terus goyah.

Tentara Israel dan gerilyawan Palestina di Jalur Gaza telah bertempur dalam tiga perang sejak 2008.

Utusan PBB untuk Timur Tengah Nickolay Mladenov memperingatkan pada bulan Mei tentang adanya “risiko perang” lagi.

“Semua orang sangat gugup; semua orang dalam situasi ini sangat rapuh,” katanya.

Dan Dr Merom menunjukkan bahwa jajaran moderat sekuler di kedua belah pihak telah berkurang, dan kaum radikal telah memperoleh tempat setelah bertahun-tahun pertempuran dan adanya kerugian di kedua pihak, meskipun jauh lebih banyak kematian di pihak Palestina.

“Pemukim Yahudi dan Hamas, keduanya mengatakan ‘semua ini milikku,'” katanya.


Berita Lainnya :


Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar