www.zejournal.mobi
Rabu, 27 November 2024

Urgent! Indonesia Wajib Perbanyak Pusat Deradikalisasi

Penulis : Aziza Larasati | Editor : Anty | Rabu, 21 April 2021 12:17

Untuk memberantas terorisme di Indonesia, pemerintah membutuhkan penguatan dan peningkatan pusat-pusat deradikalisasi di sejumlah provinsi. Para penulis mengatakan, sekitar 1.000 anggota Jamaah Anshorud Daulah (JAD) masih bebas meskipun mereka jelas berafiliasi dengan ISIS.

Kelompok teroris telah melakukan 11 serangan sejak awal pandemi COVID-19 tahun lalu.

Serangan ini mengakibatkan terbunuhnya dua petugas polisi, tujuh warga sipil, dan tujuh teroris, serta melukai tiga petugas polisi dan 20 warga sipil, tulis Irfan Idris dan Ardi Putra Prasetya dikutip dari The Straits Times.

Sepuluh serangan dilakukan oleh dua kelompok pro-ISIS, yaitu Mujahidin Timur Indonesia (MIT) dan Jamaah Anshorud Daulah (JAD). Dua dari serangan terbaru terjadi di Sulawesi Selatan dan Jakarta.

Pada 28 Maret, dua anggota JAD melakukan serangan bunuh diri di sebuah gereja Katolik di ibu kota Sulawesi Selatan Makassar, menewaskan para pelaku dan melukai 20 orang.

Beberapa hari kemudian, berbekal airsoft gun, seorang perempuan muda, Zakiah Aini, menyerang Mabes Polri di Jakarta and menjadi korban satu-satunya.

Sebelas serangan ini menyoroti lima indikasi penting tentang perkembangan terorisme saat ini di Tanah Air, Irfan Idris dan Ardi Putra Prasetya memaparkan.

Pertama, meskipun JAD hanya melakukan tiga kali serangan, namun serangannya lebih menarik perhatian daripada serangan MIT, karena mereka mempekerjakan keluarga untuk melakukan penyerangan, dan penyerangannya tersebar di seluruh Indonesia yaitu di Kalimantan Selatan, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan, sedangkan penyerangan oleh MIT terbatas di Sulawesi Tengah.

Selain itu, serangan JAD (terutama yang mencakup pemboman) lebih mematikan daripada serangan MIT.

Serangan bunuh diri JAD di Makassar saja bisa mengakibatkan terbunuhnya 20 warga sipil, seandainya tidak ada satpam gereja yang menghentikan pelakunya memasuki gedung gereja dan meledakkan bahan peledak mereka di sana.

Sebelumnya, pada 13 Mei 2018, anggota JAD melakukan serangkaian serangan bunuh diri serupa di gereja dan kantor polisi di Surabaya, yang menewaskan sedikitnya 20 orang termasuk pelaku dan anteknya yang terdiri dari tiga keluarga; Total 10 anggota keluarga.

Kedua, meski mengancam akan menyerang warga Tionghoa selama pandemi, polisi, informan polisi, dan non-Muslim tetap menjadi sasaran utama teroris Indonesia, lanjut Irfan Idris dan Ardi Putra Prasetya.

Polisi tetap menjadi target, karena mereka terus mencegah teroris mencapai tujuan mereka dalam menegakkan hukum Islam dan mendirikan negara Islam berdasarkan interpretasi mereka.

Ini selain penangkapan dan pembunuhan anggota JAD oleh polisi. Non-Muslim menjadi sasaran seiring kelompok tersebut mengikuti seruan yang dikeluarkan oleh ISIS pusat untuk menyerang “musuh Tuhan” pada Maret 2020 di buletin al-Naba mereka.

Unit kontra-terorisme Indonesia Densus 88 terlihat saat penggerebekan tahun 2014. (Foto: AP/Trisnadi)

Ketiga, meski pandemi telah mengurangi jumlah dana yang disalurkan ke kelompok teroris tersebut, namun hal ini tidak berdampak pada motivasi mereka untuk melakukan penyerangan.

Pada paruh pertama 2020, kelompok-kelompok ini mengalami penurunan kontribusi keuangan hingga 72 persen dibandingkan dengan yang mereka terima pada 2019.

Penurunan ini disebabkan hilangnya pekerjaan dan menyusutnya bisnis yang dialami oleh anggota dan donaturnya. Untuk mengatasi kendala keuangan ini, kelompok-kelompok telah beralih ke perampokan.

Kelompok Subhan berencana merampok bank dan toko milik orang Indonesia Tionghoa di Jawa Tengah pada Maret 2020.

Namun, rencana mereka digagalkan dengan penangkapan mereka sebelum melaksanakan rencana mereka. Sebaliknya, MIT berhasil merampok petugas dinas kesehatan di Poso pada Agustus 2020 lalu. Mereka menyita makanan dan alat elektronik yang dibawa petugas tanpa menimbulkan korban jiwa.

Meski mengalami kesulitan keuangan yang mengkhawatirkan dalam delapan bulan pertama pandemi, komitmen mereka untuk melakukan serangan tidak terpengaruh, terbukti dari semakin banyaknya serangan selama periode ini.

Dibandingkan dengan delapan serangan pada 2019, terdapat 11 serangan sejak dimulainya pandemi.

Keempat, sejak Januari hingga 9 April 2021, polisi telah menangkap 112 tersangka teroris.

Namun, hal ini bukan berarti kurangnya ‘prajurit’ untuk kelompok teroris, karena perekrutan terus berlangsung baik secara offline maupun online.

Selain itu, diperkirakan 1.000 anggota JAD tetap bebas, meskipun mereka jelas berafiliasi dengan ISIS dan mendukung serangan teroris yang dilakukan oleh sesama anggota.

Untuk alasan ini, kita harus memperkirakan pelaku baru akan muncul dari perekrutan ini.

Kelima, penyerangan di Mabes Polri menandakan adanya kebutuhan mendesak bagi pemerintah untuk meningkatkan keamanan fasilitas dan deteksi dini ancaman teroris.

Fakta bahwa Zakiah mampu menembus Mabes Polri menunjukkan fasilitas pemerintah kurang dijaga dengan baik.

Untuk mencegah penetrasi teroris di masa mendatang, pemerintah perlu mengamankan fasilitasnya dengan sistem keamanan seperti yang diterapkan di bandara.

Untuk itu, pemerintah harus memasang mesin x-ray dan pemindai seluruh tubuh di fasilitasnya. Pemerintah juga perlu meningkatkan database dan pengawasan teroris untuk mendeteksi dan mengganggu rencana mereka sebelum membuahkan hasil.

Pemerintah dan masyarakat perlu mengambil langkah-langkah berikut untuk mencegah serangan di masa depan, Irfan Idris dan Ardi Putra Prasetya menjelaskan.

Pertama, pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Polri, Kementerian Agama, dan Kementerian Sosial perlu mendirikan pusat deradikalisasi di 18 provinsi, di mana para ekstremis (khususnya anggota JAD dan rekan-rekannya) beroperasi.

Provinsi tersebut antara lain Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Bengkulu, Jambi, Lampung, Banten, Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Maluku, dan Papua.

Pemerintah juga harus mengeluarkan undang-undang yang mewajibkan anggota JAD yang masih bebas dan rekan-rekannya untuk mengikuti program deradikalisasi yang dilakukan di pusat-pusat tersebut.

Para peserta program harus dinilai telah menyelesaikan program, hanya jika mereka telah sepenuhnya meninggalkan ekstremisme.

Oleh karena itu, program ini tidak boleh dibatasi dalam jangka waktu tertentu. Artinya, peserta harus mengikuti program-program ini sampai dinilai telah dideradikalisasi.

Untuk memastikan penilaian yang benar atas tingkat ekstremisme peserta (dengan bekerja sama dengan pakar penanggulangan ekstremisme kekerasan dan kontraterorisme), pemerintah perlu membuat alat penilaian menyeluruh yang dapat mengukur tingkat ekstremisme peserta.

Kedua, pemerintah perlu memberdayakan pemerintah daerah dan masyarakat sipil untuk membantu pemerintah pusat menjalankan program deradikalisasi di pusat-pusat tersebut.

Pemberdayaan tersebut termasuk memberikan pelatihan untuk memastikan bahwa mereka dapat menjalankan program standar nasional dan program yang dibuat khusus secara individual.

Ketiga, pemerintah perlu bekerja sama dengan bisnis swasta untuk mendanai pusat-pusat ini.

Jumlah pusat yang banyak dan lamanya program deradikalisasi membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Seiring pemerintah secara finansial terikat untuk mengurangi pandemi COVID-19, mencari bantuan dari bisnis swasta untuk mendanai pusat-pusat ini sangat ideal, tandas Irfan Idris dan Ardi Putra Prasetya.


Berita Lainnya :


Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar