Sampah Jadi Cuan: Indonesia Bisa Raup US$14 Miliar
Makalah baru mereka memperkirakan, Indonesia dapat menghasilkan sekitar dua juta ton limbah elektronik pada 2021, yang terbanyak di Asia Tenggara.
Indonesia adalah negara terpadat keempat dan salah satu konsumen elektronik terbesar di dunia. Akibatnya, ia memiliki bagian yang cukup besar dari peralatan elektronik dan listrik bekas, yang dikenal sebagai limbah elektronik.
Limbah elektronik ini berkisar dari ponsel, tablet, laptop, komputer pribadi, dan baterai yang sudah habis masa pakainya, hingga televisi dan barang-barang seperti lemari es dan mesin cuci, tulis M Akbar Rhamdhani di The Conversation.
Makalah baru mereka memperkirakan, Indonesia dapat menghasilkan sekitar dua juta ton limbah elektronik pada 2021, yang terbanyak di Asia Tenggara.
Pada 2040, potensi ekonomi limbah elektronik di Indonesia diperkirakan mencapai US$14 miliar.
BAGAIMANA HASILKAN UANG DARI LIMBAH ELEKTRONIK
Limbah elektronik (e-waste) menawarkan peluang ekonomi bagi Indonesia jika kita bisa mendaur ulangnya, catat M Akbar Rhamdhani.
Meskipun mengandung unsur-unsur berbahaya yang perlu diproses dan ditampung, ia juga mencakup logam berharga seperti tembaga, emas, perak, platinum, paladium, dan logam berharga strategis lainnya untuk teknologi yang kita gunakan setiap hari.
Konsentrasi logam yang dipilih dalam limbah elektronik, dalam beberapa kasus, lebih tinggi daripada di mineral/bijih primernya di bawah tanah.
Salah satu contoh: dibutuhkan sekitar 0,5-1 ton bijih emas untuk menghasilkan emas dalam sebuah cincin kawin (sekitar 2 gram). Jumlah emas yang sama ini dapat diperoleh hanya dari 15-30kg ponsel yang masa pakainya sudah habis.
Karenanya, sumber daya “perkotaan” ini dapat menjadi sumber alternatif untuk produksi logam, lanjut M Akbar Rhamdhani.
Penghasil limbah elektronik tahunan Indonesia diproyeksikan meningkat menjadi 3,2 juta ton dalam 20 tahun. Itu berarti sekitar 10kg sampah elektronik per orang pada 2040, meningkat dari 7,3kg/orang sekarang.
Studi yang disebutkan di atas juga menyoroti, sebagian besar limbah elektronik berada di pulau-pulau besar dengan populasi besar. Jawa (pulau terpadat di negara ini) diperkirakan menghasilkan sekitar 56% limbah elektronik nasional.
APA YANG BISA DILAKUKAN
M Akbar Rhamdhani percaya kunci untuk memanfaatkan nilai ekonomi limbah elektronik dimulai dengan mengembangkan sistem daur ulang yang sesuai.
Pemerintah sedang mengembangkan Strategi Ekonomi Sirkuler Nasional. Pengelolaan limbah elektronik yang komprehensif adalah salah satu aspek yang dipertimbangkan.
Tidak seperti limbah plastik, limbah elektronik harus dianggap sebagai sumber daya logam, seperti mineral utama yang ditambang di bawah tanah. Kita harus fokus pada pemrosesan limbah elektronik untuk memulihkan logam berharga ini.
Strategi pengolahan limbah elektronik dapat diselaraskan dengan strategi nasional untuk penambangan dan pengolahan mineral.
Daur ulang yang berkelanjutan dan ramah lingkungan serta pemulihan logam berharga dari limbah elektronik, bagaimanapun, tidak langsung karena kompleksitas sumber daya dan kebutuhan untuk mengelola elemen berbahaya.
Di negara maju seperti Belgia, Jerman, Korea Selatan, dan Selandia Baru, jalur utama daur ulang dan pemulihan elemen berharga adalah melalui proses kimia gabungan, di mana limbah elektronik dikirim ke fasilitas peleburan terpusat yang besar. Di sana, limbah elektronik diproses bersama dengan produksi logam dasar non-besi seperti tembaga, timbal, dan seng.
Logam-logam ini bertindak sebagai pelarut untuk menyerap unsur-unsur berharga, yang kemudian dipisahkan dalam proses kimiawi hilir.
Dalam fasilitas sebesar itu, lebih mudah untuk mengelola elemen berbahaya, karena peralatan yang ada untuk memproses mineral primer juga dapat digunakan untuk menangani emisi berbahaya selama pemrosesan limbah elektronik.
Sebagai negara kepulauan, kondisi geografis Indonesia sulit untuk menerapkan model terpusat yang sama.
Untungnya, sejumlah pabrik peleburan atau penyulingan telah tersedia di pulau-pulau besar di seluruh nusantara, untuk menjadi bagian dari sistem dan infrastruktur daur ulang secara keseluruhan.
M Akbar Rhamdhani yakin, solusinya akan mencakup integrasi teknis dan logistik dari teknologi yang sesuai, untuk membentuk rantai daur ulang lengkap dengan pengenalan fasilitas daur ulang bergerak.
Fasilitas ini beroperasi pada kapasitas kecil dan mewakili setiap tahap pemrosesan limbah elektronik: pembongkaran, pemrosesan mekanis, dan pemrosesan metalurgi. Mereka dapat ditempatkan di pulau-pulau besar untuk mendukung pabrik peleburan utama.
Fasilitas ini dapat diintegrasikan dengan pengumpulan limbah elektronik, baik secara resmi oleh pemerintah provinsi maupun oleh pemulung, dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi setempat.
Ada juga beberapa fasilitas metalurgi yang beroperasi sebagai operasi individu yang menghasilkan semi produk. Mereka dapat berfungsi sebagai feeder untuk fasilitas bergerak berikutnya, atau untuk industri peleburan/logam terintegrasi yang lebih besar.
Memecah keseluruhan proses daur ulang menjadi operasi yang lebih kecil berarti dibutuhkan investasi modal yang lebih kecil. Ini akan membantu menarik industri yang lebih kecil dan merangsang terciptanya banyak industri daur ulang baru yang mendukung ekonomi sirkular. Peringatannya adalah, industri yang lebih kecil harus diatur dan didukung dengan lebih baik.
Mengembangkan strategi komprehensif dan sistem daur ulang untuk limbah elektronik tidaklah mudah. Ada banyak faktor yang perlu dipertimbangkan di luar aspek teknis, termasuk aspek ekonomi, logistik, lingkungan, dan sosial budaya.
Namun, dengan upaya terpadu dan strategis, kita dapat memanfaatkan nilai ekonominya yang sulit dipahami, dengan mengubah sampah ini menjadi kekayaan, pungkas M Akbar Rhamdhani.
- Source : www.matamatapolitik.com