Risma Ikuti Jejak Khofifah, Ditunggu Gebrakannya
Di penghujung tahun 2020 ini, Tri Rismaharini menyedot perhatian warga se- Nusantara. Mantan walikota Surabaya ini ditarik ke Kabinet Indonesia Maju untuk mengurusi masalah sosial di negeri ini. Dia menjadi menteri sosial (mensos) menggantikan Juliari Batubara yang mengundurkan diri karena terindikasi korupsi bansos covid-19.
The right man on the right place. Untuk sementara cocoklah ungkapan ini disematkan kepada Risma. Waktulah kelak yang akan menjawabnya apakah memang demikian adanya? Namun jika melihat track recordnya selama dua periode menjadi "manager" Kota Surabaya, sepertinya memang klop.
Risma type pekerja keras, suka blusukan, tak segan turun ke lapangan melibatkan diri dalam pekerjaan-pekerjaan bawahannya. Dan yang paling penting lagi adalah sifatnya yang suka berbaur dengan masyarakat kebanyakan, hingga dia digelari "emak 'e arek-arek Suroboyo".
Namun ada lagi yang perlu dia buktikan kepada khalayak yang telah merekomendasikannya menjadi mensos, yakni sukses mengelola uang sebesar triliunan rupiah sehingga benar-benar tersalur ke masyarakat yang membutuhkan. Tak berlebihan jika kita menyebut dia direkomendasikan oleh rakyat. Sebab begitu mensos lama terpental, netizen ramai-ramai menuntut Jokowi supaya menarik Risma ke kemensos.
Gayung bersambut. Risma yang hanya beberapa bulan lagi mengakhiri tugasnya sebagai walikota, menerimanya dengan senang hati. Dia, bersama lima menteri baru lainnya, dilantik Presiden Jokowi di Istana pada 23 Desember 2020.
Di era Jokowi, Kemensos ini tergolong unik, dan boleh dianggap sebagai memecah rekor soal jumlah menteri. Di bawah Jokowi, kementerian yang bertetangga dengan Perpustakaan Nasional di Jalan Salemba Raya Jakarta ini telah memiliki sebanyak 5 menteri dan satu menteri ad-interim.
Mereka adalah: Khofifah Indar Parawansa, Idrus Marham, Agus Gumiwang Kartasasmita, Juliari Batubara, Muhadjir Effendy (ad-interim), dan Tri Rismaharini (sejak Desember 2020). Jika dirata-ratakan selama enam tahun Jokowi menjabat, maka setiap tahun ada pergantian mensos. Sialnya, dua di antaranya tersingkir karena tersandung korupsi.
Di era Pak Harto ada catatan unik juga, yakni selama empat periode berturut-turut, posisi mensos ini dipercayakan kepada kaum wanita. Nani Soedarsono (Pelita IV), Haryati Soebadio (Pelita V), Endang Kusuma Inten Soeweno (Pelita VI), dan Siti Hardijanti Rukmana (Pelita VII) yang tak lain dan tak bukan merupakan putri sulung Pak Harto sendiri.
Tetapi Mbak Tutut (nama populer Siti Hardijanti) hanya seumur jagung menjabat, yakni dari 14 Maret 1998 sampai 21 Mei 1998. Dia lengser bersama ayahandanya yang menyatakan mundur dari takhta kepresiden yang telah dia duduki selama 32 tahun.
Presiden BJ Habibie yang menggantikan Soeharto lagi-lagi mengangkat seorang wanita bernama Justika Baharsjah, menjadi mensos dengan masa kerja 23 Mei 1998 sampai 20 Oktober 1999.
Khofifah dan Tri Risma, dua wanita mensos yang mengabdi di era Presiden Jokowi, berpotensi mencatatkan keunikannya masing-masing juga. Keduanya berasal dari Jawa Timur dan menjadi kepala daerah.
Namun Khofifah punya pengalaman yang lebih berwarna. Dia yang pernah menjadi Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Indonesia di era Gus Dur (26 Oktober 1999 – 23 Juli 2001), masih berambisi menjadi gubernur di daerah asalnya itu.
Namun dua kali berturut-turut (2008 dan 2013), dia dikalahkan Soekarwo. Barulah pada Pilgub 2018 dia sukses meraih ambisinya itu dengan mengalahkan Syaifullah Yusuf, wakil Gubernur Soekarwo.
Bagaimana dengan Mensos Tri Risma? Apakah dia nanti akan mengikuti jejak seniornya itu menjadi gubernur? Bisa saja. Apalagi dalam berbagai kesempatan Tri Risma selalu mengatakan bahwa dia siap menerima penugasan dari ketua umum partai, dalam hal ini Megawati Soekarnoputri.
Tetapi Risma bukanlah type kader yang maunya ujug-ujug. Dia ingin menyelesaikan suatu tugas dulu sebelum menerima mandat lainnya. Seperti ketika menjadi walikota Surabaya, dia menolak ketika santer disebut-sebut hendak diambil oleh Presiden Jokowi sebagai salah satu menteri.
Adapun kini dia bersedia menerima jabatan mensos, itu karena masa jabatannya sebagai walikota sudah selesai, karena tinggal dua bulan lagi. Usai dilantik Jokowi, dia bahkan sempat meminta supaya diijinkan "bolak-balik" Jakarta - Surabaya, sebab ingin meresmikan beberapa proyek sebagai walikota.
Namun permintaan itu mustahil, sebab yang namanya rangkap jabatan itu menabrak undang-undang. Maka sudah sangat tepat ketika kemendagri langsung memberhentikan dia dari jabatan walikota Surabaya usai dilantik Jokowi sebagai menteri sosial. Apalagi kaum kadrun sudah nyinyir dan bersiap memasang kuda-kuda untuk menyerang Jokowi sebagai melanggar UU?
Kini Risma sudah di Jakarta, dan siap unjuk gigi. Pasti banyak pihak dan oknum yang resah dan gelisah menunggu sepak terjangnya. Salah seorang di antara mereka bisa saja Anies Baswedan, gubernur DKI Jakarta, yang selama tiga tahun menjabat namun kebanyakan menorehkan tinta merah dalam rapornya.
Karir politik Anies memang masih terbentang luas. Salah satu adalah melanjutkan periode keduanya sebagai gubernur DKI Jakarta. Dan peluang lain tentu sebagai capres pada 2024, karena namanya masih tercantum dalam berbagai survei. Apalagi dia memiliki massa fanatik yang akan tetap memberikan suaranya, apapun kata orang menyangkut Anies.
Masa jabatan Gabener akan berakhir pada 2022. Tapi pada tahun itu pilkada serentak ditiadakan di seluruh Tanah Air, dan baru dilaksanakan serentak pada 2024 bersamaan dengan pemilu/pilpres?
Tapi seandainya pun UU itu dianulir sehingga pilkada tetap diadakan pada 2022, Anies harus bersiap ketar-ketir jika PDIP memajukan Risma menjadi lawannya. Jika Risma sukses menjalankan perannya sebagai mensos dalam kurun waktu itu, sulit bagi Anies untuk meraih simpati.
Kecuali kadrun kembali mempermainkan ayat agama bahwa haram-hukumnya memilih wanita sebagai pemimpin, mungkin sedikit mengubah peta permainan. Namun apapun kelak yang akan terjadi menyangkut pilkada DKI periode mendatang, Anies Baswedan pasti merasa ketar-ketir.
- Source : seword.com