www.zejournal.mobi
Rabu, 27 November 2024

Tak Surut, Gerakan Papua Merdeka Kian Gencar di Tengah Meningkatnya Kekerasan

Penulis : Fadhila Eka Ratnasari | Editor : Anty | Selasa, 15 Desember 2020 15:52

Papua Barat dianeksasi oleh Indonesia beberapa dekade lalu dan masih menyebabkan konflik berkepanjangan hingga kini. Seorang pemimpin pemberontakan yang tinggal di luar negeri, Benny Wenda, baru-baru ini menyatakan dirinya sebagai presiden wilayah yang diperangi tersebut.

Sudah 59 tahun sejak separatis di wilayah Papua Barat di Indonesia mengibarkan bendera merah, putih, dan biru Bintang Kejora dan mendeklarasikan kemerdekaan. Wilayah tersebut telah mengalami konflik sejak saat itu.

Pada Desember 2020, Kantor Komisasis Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Asasi Manusia meminta semua pihak untuk mengurangi kekerasan yang kian meningkat di wilayah tersebut, termasuk pembunuhan aktivis, pekerja gereja, dan anggota pasukan keamanan Indonesia baru-baru ini, The New York Times melaporkan.

Pada saat yang sama, seorang pemimpin pemberontak yang tinggal di luar negeri mengumumkan bahwa dia telah terpilih sebagai presiden sementara di wilayah yang diperangi itu dengan harapan mempersatukan gerakan perjuangan kemerdekaan dari Indonesia, yang dikenal sebagai Gerakan Papua Merdeka.

Benny Wenda, yang melarikan diri dari penjara Indonesia 18 tahun lalu dan menerima suaka politik di Inggris, mendeklarasikan dirinya sebagai kepala pemerintahan pengasingan pertama di Papua Barat selama peringatan deklarasi kemerdekaan pada 1 Desember 2020. Sudah ada satu kelompok bersenjata di Papua Barat yang tidak mengakui otoritasny

Wenda mengklaim bahwa dia dipilih oleh kongres yang bertemu secara rahasia. Dia menuturkan bahwa orang Papua adalah korban genosida gerak lambat yang tidak akan berakhir sampai wilayah itu merdeka dari Indonesia. “Bangsa kami yang merdeka pada 1963 dicuri oleh pemerintah Indonesia,” katanya melalui telepon dari Oxford, Inggris. “Kami mengambil langkah lain untuk mengklaim kembali hak hukum dan moral kami.”

Indonesia tidak berniat memberikan kemerdekaan kepada dua provinsi yang membentuk Papua Barat. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia Mohammad Mahfud MD, menolak gagasan bahwa Wenda dapat mewakili rakyat Papua.

“Dia seorang pemberontak. Dia orang luar,” sergah Mahfud kepada awak media. “Dia tidak memiliki kewarganegaraan. Di Inggris dia adalah seorang tamu. Kewarganegaraannya di Indonesia telah dicabut. Jadi bagaimana dia bisa memimpin suatu negara?”

PENDUDUK ASLI PAPUA DI BAWAH TEKANAN

Konflik berkepanjangan di Papua Barat sebagian besar telah diabaikan oleh dunia luar. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Indonesia telah membatasi akses bagi para jurnalis asing, peneliti, dan pejabat hak asasi PBB. Papua Barat juga merupakan salah satu bagian dunia yang paling terisolasi dan belum berkembang.

Rumah bagi sekitar empat juta orang itu menempati bagian barat New Guinea, pulau terbesar kedua di dunia setelah Greenland, dan terbagi menjadi dua provinsi besar Papua dan Papua Barat. Separuh bagian timur pulau itu ditempati oleh negara Papua Nugini.

Masyarakat Papua Barat terbagi menjadi lebih dari 250 suku dengan lebih dari 400 bahasa. Sementara terdapat kelangkaan data demografis, arus masuk migran dari pulau-pulau lain di Nusantara yang terus menerus berarti bahwa Penduduk Asli Papua kemungkinan besar sekarang kalah jumlah.

Penduduk asli Papua memiliki kulit gelap dan rambut keriting serta sering menghadapi rasisme dan diskriminasi. Bentrokan kekerasan meletus pada 2019 setelah muncul laporan tentang polisi yang menghina mahasiswa Papua di Surabaya dengan ejekan rasis.

Perdagangan di kota-kota besar dan kecil didominasi oleh orang non-Papua, sementara banyak Penduduk Asli Papua mencari nafkah dengan hidup di dataran tinggi di kawasan itu, di mana banyak desa hanya dapat diakses dengan berjalan kaki. Penduduk Asli Papua memiliki tingkat kematian bayi tinggi dan harapan hidup terendah di Nusantara.

Dikutip dari The New York Times, Menkopolhukam Mahfud MD mengakui bahwa pemerintah Indonesia belum berbuat cukup banyak untuk membantu Penduduk Asli Papua, sementara para pejabat lokal yang korup telah menyedot uang yang dialokasikan untuk masyarakat adat setempat.

“Kami sudah menyiapkan Perpres yang sedang dikaji agar pembangunan di Papua benar-benar dirasakan masyarakat. Anggaran untuk Papua sangat besar, tapi dikorupsi oleh elite di sana sehingga tidak sampai ke masyarakat.”

DIANEKSASI INDONESIA, SEPARATIS PAPUA INGINKAN KEMERDEKAAN

Kaum separatis telah melancarkan pemberontakan ringan selama beberapa dekade dalam upaya untuk mendirikan pemerintahan sendiri. Menyerukan kemerdekaan di Papua Barat dianggap sebagai pengkhianatan menurut hukum Indonesia, sementara mengibarkan bendera kemerdekaan Bintang Kejora dapat dijatuhi hukuman penjara hingga 15 tahun.

Dua tahun setelah orang Papua mendeklarasikan kemerdekaan pada 1961, Indonesia mengirim pasukan untuk menduduki bekas wilayah Belanda dan mempertahankan kehadiran militer sejak saat itu. Pada 1969, dalam pemungutan suara yang dianggap dicurangi oleh banyak orang Papua, Indonesia mengumpulkan seribu pemimpin suku dan menahan mereka sampai mereka setuju untuk bergabung dengan Indonesia.

Hasilnya disebut Penentuan Pendapat Rakyat/Pepera (The Act of Free Choice). Setelah diratifikasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, Pepera menjadi landasan hukum Indonesia untuk menguasai Papua Barat. Banyak orang Papua melihat daerah mereka diduduki dan menginginkan referendum sejati untuk memutuskan status bangsanya.

“Kebanyakan orang Papua ingin merdeka,” tandas Veronica Koman, pengacara dan aktivis hak asasi manusia Indonesia yang tinggal di Australia, dilansir dari The New York Times. “Mereka ingin merdeka dari Indonesia. Mereka menginginkan referendum. Inilah yang adil untuk semua orang.”

Pemerintah Indonesia dengan tegas menentang diadakannya pemungutan suara. “Referendum dilakukan pada November 1969,” tegas Mahfud. “Majelis Umum PBB sudah meratifikasi bahwa Papua adalah bagian sah dari Indonesia. Oleh karena itu, tidak akan ada lagi referendum. Tidak mungkin bagi PBB untuk membuat keputusan dua kali tentang masalah yang sama.”

PULAU KAYA SUMBER DAYA ALAM

Papua Barat kaya akan sumber daya alam, yang memberi Indonesia insentif kuat untuk tidak melepaskannya. Saat orang luar datang ke provinsi itu untuk membantu mengeksploitasi sumber daya, penduduk asli Papua mengeluh tentang kurangnya pekerjaan dan kesempatan memperbaiki kehidupan.

Pulau penuh pegunungan yang terletak di utara Australia itu memiliki hutan hujan terbesar kedua di dunia setelah Amazon dan kaya akan keanekaragaman hayati, dengan banyak spesies tumbuhan dan hewan yang masih belum diketahui oleh dunia luar.

Indonesia telah memanen kekayaan mineral, gas alam, dan kayu Papua Barat dengan bantuan perusahaan asing. Perusahaan pertambangan Amerika Freeport-McMoRan mengekstraksi emas dan tembaga selama beberapa dekade dari tambang raksasa Grasberg. Konsorsium internasional yang dipimpin oleh BP mengoperasikan ladang gas alam Tangguh yang sangat besar.

Berbagai perusahaan lain menebang sebagian besar hutan asli dan menggantinya dengan perkebunan kelapa sawit yang menguntungkan. Hutan Pdi apua Barat, rumah bagi beberapa burung paling langka di Tanah Air, juga menjadi tempat perburuan utama para pemburu gelap. Seekor burung cenderawasih bisa dijual seharga US$1.500 di pasar gelap Jakarta.

The New York Times mencatat, di tahun-tahun mendatang, kawasan hutan belantara itu akan dibuka lebih banyak lagi dengan jalan raya Trans-Papua sepanjang 4.345 kilometer yang sekarang sedang dibangun demi mempercepat ekstraksi sumber daya, legal maupun ilegal.

KEKERASAN MENINGKAT SAAT LEBIH BANYAK PASUKAN KEAMANAN TIBA

Kekerasan telah meningkat sejak Desember 2018, ketika 19 buruh migran yang bekerja di Jalan Tol Trans-Papua dibunuh oleh para pemberontak Papua. Pemerintah Indonesia telah mengerahkan semakin banyak tentara dan polisi di Papua Barat, tetapi jumlah total yang ditempatkan di sana masih dirahasiakan.

“Kami mendesak pemerintah Indonesia untuk menegakkan hak-hak masyarakat atas kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berserikat secara damai sejalan dengan kewajiban internasionalnya,” ujar Ravina Shamdasani, juru bicara Kantor Komisasis Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Asasi Manusia di Jenewa, Swiss.

Amnesty International telah mengidentifikasi 38 tahanan politik di Papua Barat, lebih dari jumlah gabungan tahanan serupa seluruh Indonesia. Kelompok tersebut mengatakan sebagian besar dari mereka dituduh melakukan pengkhianatan karena ekspresi damai dan sah atas pandangan mereka.

Kelompok hak asasi manusia lainnya Human Rights and Peace for Papua menuturkan pekan lalu bahwa sebanyak 60 ribu orang Papua telah mengungsi akibat pertempuran baru-baru ini.

Menghadapi kondisi seperti itu, aktivis Veronica Koman menyatakan bahwa para pemuda yang putus asa telah bergabung dengan kelompok pemberontak di hutan. “Lingkaran setan kekerasan ini perlu dihentikan untuk menyelamatkan generasi muda Papua. Jika tidak, mereka akan berakhir di penjara atau berkelahi dan mengorbankan hidup mereka.”

Gerakan kemerdekaan Papua telah lama terfragmentasi. Tidak jelas seberapa besar dukungan terhadap Wenda atas klaimnya sebagai presiden.


Berita Lainnya :

Enam tahun lalu, tiga faksi bersatu di belakang Benny Wenda untuk membentuk Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat (ULMWP). Wenda mengaku telah mendapat dukungan mereka. Namun, satu kelompok bersenjata Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat mengeluarkan pernyataan yang menolak klaimnya dan mengatakan bahwa Wenda adalah penduduk Inggris yang tidak memiliki dukungan mayoritas orang Papua.

Menurut laporan The New York Times, sebagai presiden Papua merdeka, Benny Wenda menegaskan akan melindungi hak-hak masyarakat adat Papua dan menghentikan perusakan lingkungan.

“Hak kami telah dilanggar menurut hukum internasional. Indonesia tidak hanya menghancurkan bangsa saya, tapi juga hutan dan gunung kami.”


Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar