Dua Menteri Kabinet Indonesia Maju Terjerat Korupsi, Buktikan Antikorupsi Masih Melempem
Miris dan memprihatinkan, begitulah melihat penyakit korupsi yang menggerogoti setiap sendi kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Tidak ada kata kecuali, seluruh lapisan masyarakat merasakan bagaimana dasyatnya penyakit ini menularkan virusnya dan menjadi momok menakutkan yang sampai sekarang belum ada formula yang tepat untuk mengentaskan penyakit kronis yang satu ini.
Bahkan ironisnya, beberapa pihak menghalalkan berbagai cara agar korupsi di negeri ini menjadi bagian yang halal, bukan tindakan yang haram lagi. Korupsi berjamaah sepertinya jalan dan tindakan yang dianggap tepat untuk menyelewengkan atau mengambil yang bukan seharusnya haknya menjadi hak sekelompok orang yang bersama-sama satu ide, satu pemikiran untuk melakukan tindakan korupsi, walau seharusnya mereka sadar bahwa itu adalah dosa terbesar dalam hidup mereka.
Tidak terkecuali di masa pandemi global yang melanda 216 negara di dunia, termasuk Indonesia. Ketika Pemerintahan Pak Jokowi sedang fokus-fokusnya berperang melawan dan mengantisipasi pandemi virus corona 19 dan usai gembor-gembornya anggapan berbagai pihak yang tidak setuju dengan revisi Undang-Undang KPK yang katanya justru melemahkan kinerja KPK?
Ternyata semua terbantahkan. Bahwa KPK tidak pernah diintervensi apalagi dilemahkan, makin senyap melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) tanpa harus memberitahukan pihak lain.
Hasilnya? Ditengah-tengah isu-isu besar kerumunan oleh rizieg dan pendukungnya, pun dengan kasus Papua Barat Merdeka? Tiba-tiba kita disodorkan berita penangkapan Menteri KKP Indonesia Maju Jilid II, Edhy Prabowo yang baru pulang dari Negeri Paman Sam dengan sejumlah bukti barang sitaan diduga hasil korupsi.
KPK menangkap setidaknya ada tujuh orang di Bandara yang menemani Edhy Prabowo selama di Amerika Serikat. Kabar ini sontak menjadi pujian sekaligus ironi, karena masa pandemi ini dimana banyak rakyat Indonesia tidak bisa merasakan kebahagiaan dan hidup susah karena pengangguran, tidak bisa berusaha, tidak dapat menjalankan pekerjaan mereka karena pandemi, sementara Edhy Prabowo dan kroni-kroninya dapat menikmati uang hasil konspirasi, korupsi dan kolusi, hingga hasil suap dari kebijakannya yang membuka kran ekspor benih lobster atau benur yang sebelumnya dilarang keras oleh Menteri Susi .
Menteri Susi yang sudah banyak makan asam-garam dunia perikanan di tanah air, memang melarang ekpsor benur atau bibit lobster tersebut karena memang disamping untuk menghambat korupsi ekpsor benur yang berpotensi menimbulkan korupsi, kolusi dan nepotisme, dimana akan ada pengusaha yang berlomba-lomba untuk menjadi patner ekspor, juga dikhawatirkan lobster atau benur kita akan habis dan Indonesia tidak punya bibit lobster lagi, karena semua bibitnya sudah diekspor ke Vietnam atau Cina.
Demi mempertahankan keaslian plasma nutfah Indonesia sekaligus melindungi nelayan, Menteri Susi berani berjudi dengan melarang eksport benur atau lobter. Beliau berpesan akan lebih baik Tuhan yang membudidayakan lobsternya di laut Indonesia, kita hanya menangkap yang besarnya saja agar nilai jualnya lebih tinggi, bisa berkali-kali lipa dari harga benihnya. Sehingga Menteri Susi melarang dan memastikan bahwa di era dia menjadi Menteri, penyelundupan lobster tidak ada.
Nah, setali tiga uang dengan Edhy Prabowo yang sudah ditangkap tangan oleh KPK. Kini saya kembali dikejutkan dengan berita hari ini, Minggu (06 Desember 2020) dengan berita “Mensos Juliari Batubara Serahkan Diri ke KPK”. Judul berita ini sangat menohok sekali, walau terkesan lebih beradab dari Menteri KKP, dimana Menteri Sosial di erat Kabinet Jokowi Bersatu Jilid II ini lebih menyerahkan diri dan tidak lari dari masalah, namun tetaplah kasus korupsi yang menyeret namanya ini tidak bisa ditolerir lagi, dan semoga benarlah dia nanti tidak terbukti ikut menikmati aliran dana korupsi tersebut.
Menteri Sosial Juliari P Batubara tiba di Gedung KPK, Jakarta, Minggu (6/12/2020). Juliari Batubara ditetapkan sebagai tersangka dugaan menerima suap terkait pengadaan bantuan sosial COVID-19 di Kementerian Sosial usai Operasi Tangkap Tangan (OTT) pejabat Kemensos. Walau kenyataan bawahannya yang bermain? Namun Menteri Sosial Juliari P Batubara harus merelakan namanya terseret dan menyerahkan diri.
Menteri Sosial Juliari P Batubara telah menjadi tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Minggu 6 Desember 2020 dini hari. Mensos Juliari terjerat kasus pengadaan bantuan sosial (bansos) penanganan Covid-19 dari Kementerian Sosial RI tahun 2020. Semua berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) pejabat kemensos beberapa waktu lalu.
Dan, ditetapkannya Menteri Sosial Juliari P Batubara sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menjadikan ada dua menteri Kabinet Indonesia Maju berurusan dengan lembaga antirasuah itu hanya dalam kurun waktu 12 hari. Tentunya ini menjadi prestasi serta sejarah baru dimana komisi antirasuah mampu mencokok pejabat elit negara dalam kurun waktu dua minggu.
Hasil penangkapan para koruptor ini membuktikan bahwa aksi korupsi ini tidak mengenal jenis orangnya, agamanya, sukunya, dan jabatannya. Siapa saja bisa menjadi koruptor. Dan korupsi sekali lagi tidak dapat dilakukan sendirian, tetapi berjamaah, seperti kasus pertama yang menimpa Menteri KKP, kasus Mensos ini juga melibatkan banyak orang.
Setidaknya ada ada 4 tersangka yang dijerat, yaitu Matheus Joko Santoso, Adi Wahyono, Ardian IM, dan Harry Sidabuke. Dua nama awal merupakan pejabat pembuat komitmen atau PPK di Kemensos, sedangkan 2 nama selanjutnya adalah pihak swasta sebagai vendor dari pengadaan bansos.
KPK menduga Juliari menerima jatah Rp 10 ribu dari setiap paket sembako senilai Rp 300 ribu per paket. Total setidaknya KPK menduga Juliari sudah menerima Rp 8,2 miliar dan Rp 8,8 miliar. "Pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama diduga diterima fee kurang-lebih sebesar Rp12 miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh MJS (Matheus Joko Santoso) kepada JPB (Juliari Peter Batubara) melalui AW (Adi Wahyono) dengan nilai sekitar Rp 8,2 miliar," ucap Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers sebelumnya.
"Untuk periode kedua pelaksanaan paket bansos sembako, terkumpul uang fee dari bulan Oktober 2020 sampai dengan Desember 2020 sejumlah sekitar Rp 8,8 miliar yang juga diduga akan dipergunakan untuk keperluan JPB," imbuh Firli Bahuri, ketua KPK.
Prestasi besar KPK yang menangkap dua menteri sekaligus seharusnya menjadi warning atau ultimatum bagi koruptor-koruptor kecil lainnya, seperti penggunaan Dana BOS dan sebagainya, begitulah kura-kura...
- Source : seword.com