Kritik: Kacaubalaunya Cara Pemerintah Tangani Komunikasi Soal Corona!
Pada awal-awal terjadinya wabah Corona, isu pertama yang ditangani pemerintah adalah evakuasi WNI dari Wuhan dan apa yang dilakukan kepada mereka sesudah mereka sampai di tanah air. Walaupun terasa lambat, namun akhirnya evakuasi berjalan dengan lancar. Para WNI ini kemudian menjalani karantina di Natuna.
Di Natuna, walaupun awalnya ada protes dari warga setempat, pemerintah berhasil meredamnya dan menciptakan suasana yang kondusif di sana. Paling tidak itu yang akhirnya diberitakan di semua media. Proses karantina pun berjalan dengan lancar. Potret para WNI yang beredar di media sangat membuat senang yang membacanya/melihatnya. Pemerintah mendapatkan citra yang baik dalam menangani para WNI ini, hingga berakhirnya masa karantina dan semua WNI kembali ke daerah dan keluarga masing-masing.
Dalam hal komunikasi, pemerintah berhasil menyeragamkan berita yang beredar soal proses karantina di Natuna. Tidak ada perbedaan atau pun pergolakan di media. Semua menunjukkan kinerja baik dari Kemenkes. Bahkan ditambahi dengan bumbu kunjungan Menhan Prabowo ke Natuna, yang mempunyai efek positif di publik. Semua ini menciptakan rasa kepercayaan (trust) yang tinggi dari publik bahwa negara siap dan hadir membantu warganya. Ini sebuah langkah awal yang sangat bagus. Sayangnya, apa yang terjadi selanjutnya bukannya tetap baik atau lebih baik, malah jadi kacau balau.
Pemerintah yang sudah on the right track kemudian malah jadi terpeleset ke dalam jurang. Sayang sekali. Pertama, begitu banyak orang pintar di dalam pemerintahan Presiden Jokowi, namun kenapa tidak ada satu pun yang bisa merancang bentuk komunikasi publik soal Corona dari awal? Pemerintah tidak langsung membuat satu komando dalam hal komunikasi terhadap publik soal virus Corona. Tampaknya pemerintah terbuai dengan kesuksesan di awal, yakni di proses evakuasi dan karantina. Padahal ini hanya lah langkah awal. Masih ada PR besar, yakni bagaimana mempertahankan trust dari publik, bagaimana bentuk komunikasinya agar tidak membuat publik panik, sekalian mengedukasi publik dengan sebaik-baiknya soal virus Corona.
Kedua, karena tidak langsung membuat satu komando dalam komunikasi publik, perkembangan berita tentang Corona di media tidak lagi dapat terpantau dan terkontrol dengan baik. Sangat disayangkan. Pemerintah membiarkan media bergerak liar dalam membuat berita soal Corona. Penderita yang statusnya masih suspect, masih diobservasi, diberitakan dengan heboh seakan sudah positif kena Corona. Meninggalnya seorang pasien yang diisolasi di Rumah Sakit dr. Sardjito, Yogyakarta, jadi headline berita. Sumber beritanya adalah para petinggi rumah sakit yang mengadakan konferensi pers sendiri. Apakah pasien ini positif Corona? Sama sekali tidak, alias NEGATIF! Tapi kehebohannya sama besarnya seakan di pasien ini meninggal karena Corona.
Ini sebuah cara komunikasi yang salah besar. Harusnya, pemerintah mengambil alih semua komunikasi dan tidak memperbolehkan pihak RS atau pihak manapun yang menyampaikan ke media, walaupun bukan positif Corona. Apakah itu suspect, atau diisolasi, atau diobservasi, semua komunikasi harusnya keluar hanya dari satu pintu, yakni juru bicara yang sudah ditunjuk pemerintah. Tujuannya agar masyarakat hanya mendengar dari satu corong dan tidak dibuat bingung maupun panik. Di sini saya menilai pemerintah sangat gagal menangani soal komunikasi ini.
Ketiga, karena tidak ada satu komando, maka isu Corona pun dengan mudah dimanfaatkan jadi komoditas di luar bidang kesehatan, misalnya politik. Contohnya, ketika seorang gubernur memberi pernyataan sesuka hatinya soal Corona di daerahnya, yang kemudian disindir oleh salah satu menterinya Jokowi. Ini kan nggak bener. Contoh satu lagi, ketika Wakil Presiden bicara tentang sertifikat bebas Corona, yang kemudian disanggah oleh jubir pemerintah yang menyatakan bahwa surat keterangan bebas virus Corona itu tidak bermanfaat Sumber.
Ehh?? Kok beda-beda omongannya? Entah apa latar belakang perbedaan pernyataan ini. Saya nggak tahu lah. Belum lagi Kominfo yang kena kritik disebut tidak maksimal mensosialisasikan soal penanganan virus Corona, lalu jadi sibuk mengklarifikasi Sumber.
Terus terang, saya jadi malu melihat semua kekacauan ini. Komunikasi publik itu bukan ilmu yang njelimet atau serumit membuat vaksin. Ahlinya pasti ada di jajaran pemerintah. Kenapa pemerintah jadi tampak keteteran, kalau tidak mau disebut kebingungan, menangani pemberitaan yang jadi liar soal Corona.
Urusannya bukan cuma di pencegahan hoaks, maupun mengangkat seorang jubir. Harus ada sebuah SOP yang terintegrasi dan satu komando. Harus ada aturan dan sanksi yang tegas. Kenapa pemerintah tidak bisa setegas ketika membantah penelitian dari Harvard? Kenapa sama orang luar negeri bisa tegas, tapi tidak bisa tegas sama media dan pihak-pihak yang memanfaatkan isu Corona buat kepentingan pribadi? Saya kira belum terlambat bagi pemerintah untuk segera memperbaiki soal komunikasi publik ini. Intinya di satu komando, satu corong, satu koridor.
- Source : seword.com