www.zejournal.mobi
Sabtu, 28 Desember 2024

Budaya Yang Tertukar: Kontradiksi Nyata Arab Saudi & Indonesia

Penulis : Brion Purnama | Editor : Indie | Rabu, 22 Januari 2020 11:39

Mashael al-Jaloud. Usianya, 33 tahun, sempat menjadi pusat perhatian orang sekitarnya, terutama kaum Hawa, karena mejeng di sekitar mal di Riyadh dengan busana Barat.

Para wanita yang rata-rata mengenakan abaya warna hitam dengan wajah tertutup menonton polah Jaloud. Wanita muda itu mejeng di sekitar mal dengan celana warna krem dan atasan warna oranye.

Jaloud ternyata bukan satu-satunya. Mengaku dipengaruhi dorongan untuk lebih berani menyuarakan kebebasan sosial, Manahel al-Otaibi, seorang aktivis berusia 25 tahun, juga melepas abaya.

"Selama empat bulan aku tinggal di Riyadh tanpa abaya," katanya. Otaibi berjalan di sepanjang Jalan Tahlia, jalan raya yang dipenuhi restoran dengan pakaian kasual.

"Aku hanya ingin hidup seperti yang kuinginkan, bebas tanpa batasan. Tidak ada yang memaksa memakai sesuatu yang tidak aku inginkan,” lanjutnya.

Apa yang dilakukan oleh Jaloud maupun Otaibi, bisa jadi merupakan sebuah aktifitas yang tidak pernah terbayangkan beberapa tahun sebelumnya.

Jangankan berpakaian ala barat, berjalan sendiri tanpa ada wali yang mendampingi saja sudah merupakan hal yang mustahil dilakukan bila tidak ingin ditangkap oleh polisi syariah (polisi moral).

Fasilitas “istimewa” ini bukanlah satu-satunya yang kini bisa dinikmati para wanita di Arab Saudi, sebuah negara berbentuk kerajaan yang dulu terkungkung oleh aturan yang kolot dan ultrakonservatif, akibat beragam doktrin ekstrem dan radikal.

Berkat campur tangan langsung Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman, atau dikenal dengan singkatan MBS. Arab Saudi kini sedang bertransformasi menuju modernisasi.

Keinginan kuat itu diterjemahkan dengan menerapkan berbagai kebijakan yang membuka diri dengan dunia luar, sebuah dunia yang dulu dianggap tabu oleh Saudi.

Perempuan yang selama ini diposisikan sebagai warga negara kelas dua, mulai diberikan ruang. Seperti kebebasan mengemudi, bekerja di sektor publik, dan keterlibatan dalam bidang olahraga.

Untuk kali pertama misalnya, perempuan Saudi bisa terlibat dalam berbagai kejuaraan olah raga, tak terkecuali dalam pertandingan sepak bola perempuan.

Sebelumnya pada tahun 2018 yang lalu, bioskop komersial pertama berhasil eksis di Riyad setelah keberadaannya dilarang selama hampir 35 tahun.

MBS juga memperlihatkan keseriusannya berinteraksi dengan dunia luar dengan mempromosikan pariwisata di situs arkeologi yang didominasi peninggalan Kerajaan Nabatea dari abad ke-1 Masehi, di provinsi al-Ula. Yang oleh sebagian ulama dilarang dikunjungi merujuk pada tafsir atas teks hadis yang masih sangat diperdebatkan.

Dalam melawan “terorisme gobal” dan “kekerasan domestik”, Pangeran Muhammad Bin Nayef terjun langsung menjadi aktor utama di barisan terdepan memimpin melawan kelompok-kelompok ultrakonservatif.

Jadi jangankan untuk berkembang biak, untuk muncul ke permukaan saja, kelompok radikal-ekstrimis sulit. Ini akibat kebijakan Saudi memandang penting “keamanan dan kenyamanan nasional”.

Apalagi Saudi juga tidak mentolerir segala tindakan massa dan “kekerasan sipil” yang dipandang mengganggu atau berpontensi mengancam stabilitas kerajaan dan masyarakat.

Lantas bagaimana dengan Indonesia? Berjarak 7900 km dari Saudi, yang terlihat di Indonesia justru kebalikannya.

Larangan pembangunan tempat ibadah, persekusi, pengusiran terhadap penganut agama dan kepercayaan lokal yang menjadi kelompok minoritas, sudah menjadi berita yang semakin sering kita baca di berbagai media akhir-akhir ini.

Di awal tahun 2020 ini saja kita telah melihat tindakan beruntun intoleransi terjadi di sejumlah tempat. Mirisnya aksi intoleransi itu juga terjadi kepada yang seagama.

Di Sragen, seorang siswi yang bersekolah di SMA Negeri 1 Gemolong, diteror kawannya yang merupakan aktivis organisasi keagamaan sekolah, hanya karena tidak mengenakan jilbab.

Di Solo, seorang siswi SMP IT Nur Hidayah, dikeluarkan cuma karena mengucapkan Happy Birthday kepada temannya yang berulang tahun.

Yang terbaru, di Yogya, seorang pembina Pramuka mengajarkan yel-yel berisi kalimat sentimen SARA kepada anggota Pramuka yang berbunyi "Islam Yes, Kafir No".

Itu baru berita yang mencuat ke permukaan karena viral. Bagaimana dengan yang tidak terliput oleh media? Yang mungkin terjadi jauh lebih banyak lagi.

Ketika sekelompok masyarakat Arab Saudi mencoba berpikir lebih modern, di saat yang bersamaan, sekelompok masyarakat Indonesia justru bereuforia dengan “simbol-simbol arab” klasik, termasuk simbol-simbol kebudayaan Arab zaman dulu yang kini bahkan sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat Arab itu sendiri.

Salah satu contohnya adalah pemakaian bahasa sehari-hari, terutama bagi yang tinggal di kota. Mereka sangat memuja Bahasa Arab yang menurut mereka sebagai “bahasa agamis” dan “bahasa surga” seraya “mengkafirkan” Bahasa Inggris.

Ironisnya Bahasa Inggris sendiri malah berkembang pesat di Saudi dan juga kawasan Arab Teluk lainnya. Pemakaian Bahasa Inggris berkembang bukan cuma di dunia pendidikan, namun menjangkau hingga ke sektor bisnis, perekonomian dan komunikasi sehari-hari masyarakat Arab.

Berbagai fenomena sosial-kultural seperti yang telah saya sampaikan menunjukkan kontradiksi nyata di kedua negara yang berpenduduk mayoritas Muslim ini.


Berita Lainnya :

Di Arab Saudi, perubahan-perubahan mendasar terjadi karena tidak hanya pemerintah, namun juga keluarga kerajaan turun langsung mengomandani modernisasi, termasuk upaya memerangi kelompok manipulator agama.

Sementara di Indonesia kehadiran negara dalam memerangi kelompok radikal, hampir-hampir tidak ada. Malah tak jarang pemerintah daerah menutup mata kalau tidak mau dibilang mendukung aksi intoleransi yang terjadi.

Di level pusat, berbagai kejadian intoleransi, persekusi, pengusiran dan sebagainya, hanya mendapatkan tanggapan normatif dari para pejabat pemerintah pusat, seperti prihatin, mengingatkan, menghimbau, mengecam, tidak setuju, tidak boleh, dan sebagainya tanpa ada tindakan lebih lanjut untuk mengikis radikalisme ini.

Kejadian intoleransi di Sragen, Solo dan Yogya bukanlah yang pertama dan dapat dipastikan bukan pula yang terakhir.

Bila dibiarkan berlarut-larut. Sulit dibayangkan akan seperti apa Indonesia dalam waktu 5, 10 atau 15 tahun ke depan. Semoga saja bila saat itu tiba, Indonesia belum berganti nama menjadi Indonistan.

Referensi https://m.liputan6.com/global/read/4079874/ketika-perempuan-arab-saudi-mulai-membebaskan-diri-dari-belenggu-abaya

https://m.detik.com/news/berita/d-4858251/terima-peraih-anugerah-asn-2019-maruf-ingatkan-bahaya-radikal-terorisme


- Source : seword.com

Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar