Masyarakat Beli Beras Secara Kredit, Bulog Malah Mau Musnahkan Beras
Kemarin saya membaca berita yang cukup menyedihkan. 20 ribu ton beras akan dimusnahkan oleh Bulog. Karena kualitasnya sudah menurun. Karena usia simpannya sudah mencapai lebih dari setahun, sehingga kualitasnya menurun dan hampir tidak layak makan. Hampir lho ya.
Penjelasan dari Bulog, hal ini terjadi karena pemerintah sudah tidak lagi menggunakan program beras sejahtera. Namun diganti dengan program bantuan non tunai (BPNT). Sehingga masyarakat dapat memilih beras atau pangan sendiri, dan bulog tidak bisa lagi menjadi pemain tunggal dalam pemberian beras subsidi kepada masyarakat. Bulog harus bersaing dengan merek lain agar berasnya dipilih oleh pemegang BPNT. Dan rata-rata mereka jarang memilih beras Bulog. Ya iyalah, orang miskin juga tahu mana beras bagus. Haha
Awalnya Bulog berencana memusnahkan beras yang hampir expired tersebut, dan meminta dana kepada pemerintah untuk melakukan pemusnahan. Jadi ini bukan sekedar rugi karena berasnya tak disalurkan, tapi juga lebih minus lagi karena butuh biaya pemusnahan.
Tapi setelah mendapat banyak penolakan, akhirnya Dirut Bulog Budi Waseso membantah atau meluruskan. Katanya bukan memusnahkan, tapi mengolah beras hampir expired tersebut agar bisa menjadi pakan ternak, tepung dan sebagainya. Memang konsekuensinya harga dari bahan olahan tersebut akan lebih murah dari harga beras.
Bagi kalangan elite dan masyarakat perkotaan, mungkin beras bukanlah masalah krusial. Perut mereka tak akan khawatir kekurangan beras. Malah mungkin khawatir kelebihan karbo. Ya kan?
Tapi bagi masyarakat pedesaan, terutama karyawan di rumah saya dan masyarakat desa pada umumnya, beras masih menjadi barang berharga. Mereka menyambung hidup dengan cara membeli beras secara kredit. Dicicil setiap minggu sehabis gajian atau mendapat uang setelah sepekan bekerja.
Hidup mereka bersambung dari kredit beras ke kredit beras selanjutnya. Tak pernah kelebihan. Dan yang namanya kredit, jelas harganya lebih mahal dari biasanya. Beda kisaran 10 sampai 20 ribu rupiah, tergantung masa kreditnya.
Oh iya, bagi kelompok elite, uang 20 ribu rupiah mungkin hanya receh, yang kadang tak cukup untuk biaya parkir kendaraan. Tapi bagi masyarakat kalangan bawah, angka tersebut cukup berarti.
Maka ketika ada berita Bulog ingin memusnahkan berasnya, atau mengolahnya menjadi pakan ternak, saya tersentak. Sebegini timpangnya kah antara cara berpikir para elite dan masyarakat bawah? Masyarakat desa sekalipun tak berpendidikan, gaji atau pendapatannya kecil, tapi mereka bisa sangat kreatif untuk bertahan hidup. Mengatur ritme pengeluaran, sampai membuat sistem kredit agar bisa makan. Sementara kalangan elite yang pintar-pintar, dengan gaji selangit dan fasilitas VIP, nampak tak mampu mengatur stok beras yang mereka kelola. Lebih buruk dari itu, mereka tak merasa bodoh dengan rencana dan wacananya. Mau memusnahkan, ataupun mengolahnya menjadi barang yang lebih murah, plus biaya pengolahan yang cukup mahal. Bukankah itu semua adalah kebodohan? maksudnya, yang benar saja!
Masalah ketimpangan atau gap antara miskin dan kaya memang terlalu jauh. Sangat klasik kalau kita kembali membahas itu. Kita sudah tutup mata lah dengan kondisi yang pada akhirnya disimpulkan taqdir.
Tapi soal pemusnahan beras ini tentang cara berpikir dan mengelola sesuatu. Saya sangat menyayangkan kenapa Bulog justru berpikir untuk mengubah beras menjadi pakan ternak. Sudahlah harganya jatuh lebih murah, pun mereka harus keluar dana lagi untuk pengolahan. Rugi dua kali.
Maksud saya, kalaupun ini adalah kesalahan dan harus dicarikan jalan keluarnya, kenapa tidak lakukan lelang beras murah kepada masyarakat kalangan bawah? Tak perlu ada biaya tambahan utnuk pengolahan. Masyarakat dapat beras dengan harga murah. Supaya kalaupun negara rugi, ruginya untuk memberi kepada masyarakat. Itu kan lebih baik daripada mengolahnya menjadi pakan ternak?
Tapi ya sudah. Mungkin memang beginilah nasib dan cara berpikir perusahaan-perusahaan BUMN. Yang dipikirkan oleh mereka hanya proyek, pengadaan dan uang. Sampai mereka lupa dengan nilai-nilai sosial dan kemanusiaan. Juga tak pernah tahu bahwa masyarakat di bawah sedang berjuang keras dan berpikir kreatif untuk bertahan.
Maaf ini hanya catatan. Ini bukan keluhan. Pun tidak ada niat saya untuk memprovokasi. Saya memang bukan golongan orang yang harus mengkredit beras setiap bulannya. Artikel ini saya buat agar kalian tahu, bahwa ada kondisi dan cerita getir di pedesaan. Niat saya sekedar mewakili dan menyampaikan, karena mereka yang mengkredit berasnya, mungkin tak bisa atau tak punya waktu untuk menuliskan catatan begini.
- Source : seword.com