Review Joker, Satir Kehidupan dalam Komedi Parodi (no spoiler)
Beberapa hari lalu, saya berkesempatan untuk nonton one most expected movie 2019, Joker. Seperti biasa, keterbatasan waktu menjadi penghambat besar bagi saya untuk menuangkannya dalam bentuk tulisan. Saya terbiasa mengetik sebuah artikel dengan laptop, tanpa gangguan, dan durasinya musti lama. Harus diakui, kadang saya iri dengan rekan-rekan yang lain, yang bisa nulis artikel hanya bermodal hape. Dikerjakan di tengah hiruk pikuknya pujasera dan bisa kelar selepas istirahat makan siang.
Tapi saya tidak mau melanjutkan kecemburuan itu terus menerus. Karena seperti tagline film Joker, Orang jahat bisa lahir dari orang baik yang terus menerus iri saat melihat penulis lain, bisa menulis artikel lebih cepat.
Prolog
Saya bersyukur, saat nonton Joker tidak ada anak kecil yang nampak di gedung bioskop hari itu. Ruang theater memang penuh, tapi tidak berisik. Semua orang nampaknya sadar bahwa film ini film serius. Entah mengapa istri saya kepingin juga nonton Joker, walau saya tahu, this is really really not her movie. Hal itu terbukti ketika hanya dalam tempo sekitar 30 menit, istri saya keluar dari gedung bioskop dan tidak kembali lagi.
Joker memang bukan film untuk semua orang. Dalam catatan saya, semua film dari Marvels adalah film yang ceria dan fun. Mungkin satu-satunya yang agak dark cuman Venom. Itupun, Marvels hanya “sanggup” mempertahankan tone-nya hingga pertengahan film.
Sedangkan DC rupanya mengambil ceruk lain yang lebih dewasa. Hampir semua film DC kecuali Shazaam!, bernuansa kelam. Bahkan rupanya DC sedang menyiapkan sederetan film anti hero, yang diawali dengan Suicide Squad, lalu di-spin off dengan Joker, sedangkan Harley Quinn, Birds of Prey sudah menunggu tayang di tahun berikutnya.
Selayang Pandang
Film Joker mengambil setting kota Gotham sekitar tahun 1980-an. Digambarkan, saat itu sedang terjadi resesi ekonomi. Sementara kesenjangan kaya dan miskin, bagaikan bom waktu yang siap meletus kapan saja.
Arthur Fleck (Joaquin Phoenix) diceritakan bekerja sebagai badut, yang punya cita-cita jadi stand up comedy-an. Sialnya, Arthur seakan punya daya magnet untuk selalu di-bully dalam segala hal. Arthur juga punya semacam penyakit, yang menyebabkan dia bisa tertawa tanpa bisa dikontrol, yang justru kumat di saat-saat penuh tekanan.
Pekerjaan yang tidak sukses, impian yang muluk ditambah dengan kondisi keluarga yang tidak sehat, membuatnya terpuruk. Kondisi jiwa yang labil, situasi lingkungan sosial yang hiruk pikuk, kesialan yang terus melanda memperburuk keadaan.
Review
Hampir bisa dipastikan Joaquin Phoenix akan mendapatkan nominasi Oscarnya yang keempat, dan tidak mustahil akan sukses membawa miniatur si gundul bersalut emas ke rumahnya. Todd Philips juga sukses membawa nuansa mencekam yang konsisten sepanjang dua jam durasi film ini.
Suasana kelam dan kacau terpampang nyata, di setiap sudutnya. Gambaran kota kumuh, subway yang penuh dengan graffiti, sampah yang berserakan, sudut-sudut kota yang kusam dan suram menyelimuti kota Gotham. Gesekan nada-nada rendah suara Cello, gerakan tari creepy ala Joker, suara tawa yang tak terkontrol dari Arthur Fleck, komentar-komentar pahit Penny Fleck merangkai suasana muram yang tersulam dalam kursi-kursi gelap gedung bioskop.
Film Joker bukanlah jenis film slasher atau gory ala The Saw series. Bukan juga rentetan pembunuhan sadis ala Final Destination. Joker adalah film psikologis gelap, yang jelas bukan untuk konsumsi anak-anak di bawah umur. Bahkan film ini juga tidak dianjurkan buat mereka-mereka yang memang pernah terindikasi mengalami tekanan mental yang berlebihan.
Yang “indah” dari Joker adalah, setiap pembunuhan yang terjadi adalah “penting”, artistik dan tidak terduga. Kita bahkan sering ditipu dengan situasi yang sengaja diarahkan oleh Philips, untuk mengelabui pikiran kita dan menyebabkan kita menebak kearah yang salah. Ini ibarat sinyal dari gebetan, yang akhirnya cuman pingin kita kakak adikan, perih.
Satire Joke
Bila anda sudah menonton film ini, saya anjurkan untuk menyaksikannya sekali lagi someday. Saya pikir adalah tepat sekali, kalau dikatakan bahwa humor itu subyektif dan kontekstual. Banyak sekali sebenarnya humor yang disisipkan sepanjang alur film, tapi bisa dibilang tidak ada sekalipun tawa yang terlempar dari penonton selama 122 menit, saat kami duduk dan ngemil jagung meleduk (popcorn).
Situasi ketika Arthur diganggu oleh sekelompok anak muda yang mencuri papan iklannya, jelas adalah lucu menurut kelompok itu. Beberapa kali adegan Arthur “tertawa” di situasi yang tidak tepat, sebenarnya adalah adegan yang sangat lucu dan “menggemaskan” bila saja ini sebuah film komedi.
Tetapi penulis skenario memang sengaja meletakkan sederet joke, baik yang menyinggung fisik, juga slapstick (misal saat Arthur menabrak pintu kaca yang bertuliskan exit only), ke dalam situasi yang tidak memungkinkan kita untuk tertawa. Banyak quote yang buat saya sangat nancap di jiwa, yang saya yakin akan banyak dikutip di kemudian hari. Bila anda penyuka quote di film ini, coba kunjungi https://www.moviequotesandmore.com/joker-best-movie-quotes/, asal anda sudah nonton filmnya. Karena sangat berpotensi spoiler.
Banyak adegan yang sebenarnya lucu, contohnya ketika Arthur menjatuhkan pistol saat berperan sebagai badut. Kejadian itu ditimpali oleh rekannya dengan humor cerdas
*Haha’s Clown #1: Did you really bring a gun to a children’s hospital, Arty? What the f##k would you do that for?
Haha’s Clown #2: Is that part of your new act, Arthur? The dancing didn’t do the trick, you were just going to shoot yourself?*
Atau ada juga kalimat plesetan dari Arthur di scene itu juga saat berkata Oh, no. I forgot to punch out. [he punches the timestamp machine, laughs as it breaks and leaves]
Tapi buat saya adegan paling juara dari banyak adegan awesome sepanjang film adalah saat kunjungan Randall dan Garry ke rumah Arthur. Di sana kita temukan humor-humor yang menghina fisik, yang sebenarnya lucu untuk sebuah film komedi. Ada permainan kata-kata politis yang dilontarkan, dan ditutup dengan brilian saat si midget Garry gagal untuk membuka selot pintu untuk keluar dari rumah Arthur. Scene itu gabungan antara komedi slapstick dengan suasana creepy yang memang dibiarkan menggantung oleh sang sutradara. Superb.
Sebagai penutup, saya berikan kalimat satir dari Penny Fleck ketika Arthur, anaknya, menyatakan keinginannya untuk menjadi stand up comedy-an
I mean, don’t you have to be funny to be a comedian?
- Source : seword.com