Keluar dari PKS, Fahri Hamzah Waras?
Nama Fahri Hamzah sangat dikenal publik. Wajah anggota DPR-RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera itu sering sekali muncul di layar kaca TV selama bertahun-tahun. Komentar-komentarnya pun tak jarang jadi headline media-media arus utama yang secara bersamaan juga jadi bahasan di media sosial.
Mungkin jika disurvei mengenai siapa wakil rakyat di Senayan yang namanya paling sering mengisi konten media massa dan sosial, hasilnya akan ada nama Fahri Hamzah di urutan pertama. Di susul diurutan kedua, duet mautnya Fadli Zon yang merupakan kader Gerindra. Atau bisa juga sebaliknya, karena hitunga-hitungannya mereka memang 11 12.
Yang membuat nama Fahri sering disebut-sebut di media massa dan sosial bukan lantaran prestasi atau kinerjanya yang membanggakan. Sebaliknya, publik lebih mengenalnya sebagai sosok antagonis, dari sisi negatifnya karena dia nyaris selalu mengomentari hal apapun yang berkaitan dengan pemerintah secara ngawur atau asal-asalan. Bahkan dengan diksi-diksi kotor yang tidak pantas diucapkan.
Fahri memang terus mengelak saat dicap negatif atas seringnya dirinya berkomentar sinis terkait kebijakan-kebijakan pemerintah dengan cara-cara ngawur. Ia pun seolah mudah berkelit dengan mengatakan tugasnya sebagai anggota DPR memang mengawasi dan mengkritisi kinerja pemerintah. Mengawal jalannya roda pemerintahan supaya berada di jalur yang benar.
"Salah satu funsi legislatif adalah melakukan kontrol terhadap kinerja eksekutif." Kalimat ini oleh Fahri selalu dijadikan tameng untuk menangkal stigma negatif yang mengarah padanya. Tapi nyatanya tameng itu pun jebol. Penilaian negatif publik padanya terus menguat. Pada akhirnya, komentar-komentar ngawur yang disebutnya sebagai kritik, oleh publik dianggap sebagai ekspresi nyinyir. Fahri terus dilabeli sebagai anggota DPR tukang nyinyir.
Cap tukang nyinyir itu benar-benar sudah melekat pada Fahri. Betapapun misalnya ia menyuarakan kebenaran yang berdasar pada data-data valid, publik sudah terlanjur tidak percaya karena terlampau seringnya ia asal-asalan. Tetap saja ia dianggap sedang nyinyir. Bicara asal-asalan yang hanya dilandasi kebencian serta modus politik di dalamnya.
Tapi stigma negatif itu perlahan terlihat ada perubahan sejak Fahri dikeluarkan dari PKS. Ia pun mulai menyerang partai yang mengaku sebagai partai dakwah itu. Kebobrokan di internal PKS diungkapnya ke publik. Di kasus tersebut, Fahri tampak dipecundangi. Didzolimi. Dan teraniaya. Karenanya publik mulai menaruh simpati padanya. Dan label tukar nyiyir yang sebelumnya terang benderang melekat sedikit demi sedikit luntur.
Memasuki masa akhir jabatannya di Parlemen, Fahri kembali tampil dan disorot media. Wajahnya tampak berseliweran di layar kaca. Komentar-komentarnya jadi headline media massa dan jadi bahasan panjang di media sosial. Mencuatnya isu RUU KPK dan RKUHP membuat Fahri kembali jadi pusat perhatian.
Di kasus ini terlihat jelas bahwa stigma tukang nyiyir yang melekat pada Fahri sudah pudar. Ia tak lagi dicap hanya asal bicara. Fahri yang pasang badan sebagai pihak yang menginisiasi, merancang, dan mengesahkan RUU KPK dan RKUHP menjadi UU yang baru itu diserang dengan narasi melemahkan KPK. Ini sangat berbeda dari sebelumnya.
Sepertinya Fahri mulai menunjukkan dirinya yang sebenarnya. Ia memang sudah bebas dari belenggu PKS dimana saat itu selalu membuatnya melontarkan komentar-komentar ngawur hingga dicap sebagai tukang nyiyir.
Dan hingga saat ini pun bisa dilihat konsistensinya. Fahri tetap dengan pendiriannya. UU KPK dan KUHP perlu direvisi.
Melihat langkah politik Fahri sekarang memunculkan satu pertanyaan, kemana arah politiknya nanti ke depan? Yang jelas dia bersama rekan-rekannya sesama mantan kader PKS yang juga sama-sama dibuang, dipecundangi, didzolimi, dan teraniaya sudah bersiap mendirikan partai sendiri dengan nama Partai Gelombang Rakyat (Gelora) yang dirintis melalui GARBI (Gerakan Arah Baru Indonesia).
Akankah Fahri cs nantinya memilih berada di barisan oposisi? Atau sebaliknya, bergabung di koalisi pemerintah dan menjadi lawan politik PKS?
Belum bisa dipastikan kemana arahnya. Tapi yang sudah nyata terlihat adalah Fahri berubah menjadi waras setelah ia keluar dari PKS. Bagaimana dengan Mardani AS? Sepertinya dia masih menikmati ketidakwarasannya. Biarkan saja. Kekonyolannya yang sangat khas itu kadangkala juga menghibur bukan?
- Source : seword.com