Sebuah Ide dari Negeri Dongeng untuk BPJS Kesehatan
Di masa kecil saya di awal tahun 90an, saya masih ingat bagaimana banyaknya masyarakat yang tidak dapat memperoleh kesehatan yang layak. Sampai beredar semacam kata-kata petuah bahwa orang miskin tidak boleh sakit. Bahkan, orang kaya pun apabila sakit akan berakhir miskin.
Hingga di awal tahun 2014, pemerintah meluncurkan program yang harapannya dapat menyelesaikan masalah kesehatan yang ada di Indonesia, bagaimana caranya agar masyarakat miskin pun dapat memperoleh kesehatan yang layak sesuai dengan amanat undang-undang.
Program itu bernama Jaminan Kesehatan Nasional dengan produknya bernama BPJS kesehatan. Program ini sebenarnya merupakan modifikasi dari program yang sudah ada yaitu ASKES (Asuransi Kesehatan) namun dengan tambahan aturan bahwa seluruh masyarakat Indonesia wajib tergabung di dalamnya. Dengan demikian segala hak dan kewajiban sebagai warga negara dapat terpenuhi.
Dengan prinsip gotong royong, orang yang sakit dapat dibantu dengan iuran bersama. Secara statistik sistem asuransi, sistem ini sangat bagus karena semakin banyak anggota yang terdaftar maka keuntungan dapat semakin besar.
Namun kesuksesan mengatur suatu organisasi, tidak bisa hanya satu aspek saja melainkan harus diatur secara seksama dan menyeluruh.
Belakangan ditemukan banyak masalah pada sistem manajemen BPJS, mulai dari hubungan dengan rumah sakit, manajemen klaim, peserta menunggak, kurangnya validasi data, klaim fiktif dan lainnya yang menyebabkan saat ini BPJS Kesehatan mengalami defisit anggaran. Pada 2018, defisit BPJS Kesehatan mencapai 19,4 Trilyun dan terus bertambah.
Hal ini telah menjadi perhatian serius pemerintah dan telah melakukan berbagai cara untuk mengatasi masalah tersebut, saya tidak akan membahas masalah manajerial secara mendalam karena saya yakin permasalahan tersebut memerlukan pembahasan yang detil yang “harusnya” lebih dikuasai oleh pejabat terkait. Namun ada satu hal yang menarik perhatian saya.
Dalam sistem asuransi, ada yang namanya sistem manajemen resiko dimana apabila semakin tinggi resiko klaim maka premi yang harus dibayarkan oleh penerima manfaat akan lebih tinggi.
BPJS Kesehatan juga memakai sistem asuransi, namun saya melihat tidak memakai sistem manajemen resiko seperti yang dijelaskan diatas. Penerima manfaat BPJS, apapun kondisinya, berapapun umurnya, tetap membayar iuran yang sama berdasarkan kelas pelayanannya. Ini salah satu masalah yang membuat sistem asuransi BPJS Kesehatan yang harusnya untung, malah defisit.
Memang akan menjadi masalah apabila dibuat full profit oriented seperti sistem asuransi biasa. Belum lagi pemerintah harus mensubsidi iuran untuk masyarakat tidak mampu. Harus dibuat sistem yang pro rakyat, namun juga bisa menghidupi organisasi itu sendiri.
Kalau kita perhatikan, ada perilaku masyarakat Indonesia yang jelas bisa meningkatkan resiko klaim BPJS Kesehatan baik untuk dirinya sendiri maupun resiko orang lain. Apakah itu?? Merokok!!
Saya rasa kita semua setuju bahwa merokok dapat merusak kesehatan, namun demikian tetap dilakukan. Saya berpikir kenapa para perokok tidak membayar jumlah iuran lebih banyak dibandingkan dengan masyarakat yang tidak merusak kesehatannya sendiri dan orang lain?
Sungguh adil apabila mereka membayar lebih mahal bukan?
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana pemerintah membedakan perokok dengan non perokok?
Tidak susah sebenarnya, bebankan kelebihan iuran itu per bungkus rokok yang dikonsumsi. Jadi pada penjualan rokok dikenakan tambahan bea iuran kesehatan untuk BPJS Kesehatan. Mari kita hitung bersama gambaran skemanya.
Total penjualan rokok di Indonesia pada tahun 2018 adalah sebanyak 336 Milyar Batang.
Asumsi sebungkus rokok isi 12 batang yang artinya konsumsi rokok di Indonesia pada 2018 sebanyak 336 Milyar dibagi 12 adalah 28 Milyar Bungkus (isi 12).
Maka untuk melunasi defisit sebesar 19,4 Trilyun pada 2018, bea yang dibebankan per bungkus rokok adalah 19,4 Trilyun dibagi 28 Milyar bungkus adalah 692,85 rupiah per bungkus!!
Apabila kita anggap rata-rata harga perbungkus rokok isi 12 adalah 15 Ribu Rupiah per bungkus maka kita hanya perlu menaikkan harga rokok sebesar 4,62 % atau di harga rata-rata 15.700 Rupiah.
Bandingkan dengan harga rokok di Malaysia yang mencapai lebih dari 50 Ribu rupiah.
Itu baru dari industri rokok, belum lagi apabila kita masukkan industri minuman keras. Artinya kita masih mempunyai banyak opsi untuk mengatasi masalah tersebut.
Harapannya adalah seiring perbaikan manajerial yang dilakukan pemerintah, bea tambahan tersebut bisa digunakan untuk memperbaiki fasilitas kesehatan termasuk peningkatan kesejahteraan tenaga kesehatan sehingga pelayanan kesehatan pun semakin maksimal.
Sumber:
- Source : seword.com