Permintaan Aneh Gerindra, Minta Rupiah Kuat Seperti Era Habibie Rp 6500 Per Dolar
Fraksi Partai Gerindra memberikan catatan terhadap besar rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat pada asumsi makro Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2020. Berdasarkan laporan yang dibacakan anggota Badan Anggaran DPR dari Fraksi Golkar John Kenedy Aziz, Gerindra meminta pemerintah optimistis untuk membawa nilai rupiah lebih kuat dari saat ini.
"Fraksi Gerindra meminta pemerintah untuk optimistis menguatkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat seperti masa kepemimpinan Presiden Habibie, di mana kurs dapat berubah dari Rp 16.800 menjadi Rp 6.500 per 1 dolar AS," kata John.
Meskipun begitu, Panja menyepakati asumsi nilai tukar dalam RAPBN 2020 ada di kisaran Rp 14.000-14.500 per dolar AS. Faktor yang mempengaruhi nilai tukar itu antara lain adalah risiko berlanjutnya perang dagang antara AS dan Cina yang berimbas kepada volume perdagangan dan pertumbuhan ekonomi dunia. Belum lagi pertumbuhan ekonomi global belakangan yang memang relatif lemah. Selain itu, asumsi tersebut juga diambil lantaran Indonesia masih menanggung defisit neraca transaksi berjalan.
Ini sebetulnya permintaan yang sangat aneh. Optimis sih optimis, tapi kalau ingin menurunkan Dolar dari kondisi sekarang hingga Rp 6500, itu namanya tidak masuk akal. Di bawah angka Rp 10.000 per Dolar saja rasanya sudah sangat sulit. Gerindra ini mungkin sedang bercanda atau memang sedang nyinyir sehingga mengeluarkan statement konyol seperti itu.
Mereka pura-pura buta akan sejarah. Apa yang terjadi pada era Habibie sangat berbeda jauh dengan kondisi sekarang. Habibie saat itu menggantikan Soeharto di mana Indonesia mengalami krisis ekonomi terparah sepanjang sejarah.
Nilai tukar Dolar menekan mata uang sejumlah negara berkembang, termasuk Indonesia beberapa waktu lalu. Rupiah bahkan menyentuh level terendahnya sejak 20 tahun terakhir setelah menembus Rp 14.777. Rupiah tertekan sebanyak 1.563 poin (11,7%) terhadap dolar AS terhitung sejak awal tahun hingga saat ini (year to date) yaitu Januari hingga September 2018. Mengutip data perdagangan Reuters, dolar AS bergerak dari Rp 13.281 hingga Rp 14.844 sepanjang tahun ini.
Pergerakan dolar AS pada saat ini memang berbeda dengan saat krisis 1998. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada di kisaran Rp 2.000 dengan titik terendah nya di Rp 1.977 per dolar AS pada tahun 1991. Sampai akhirnya terjadi krisis moneter dan terjadi pelemahan rupiah yang sangat drastis. Rupiah terus terkikis seiring kian rontoknya cadangan devisa Indonesia.
Dolar AS bertahan di kisaran Rp 2.000-2.500 karena Indonesia belum menganut rezim kurs mengambang. Sistem kurs terkendali yang dianut membuat orde Baru ingin dolar AS harus bertahan di level itu. Setelah meninggalkan kurs mengambang, dolar AS secara perlahan mulai merangkak ke Rp 4.000 di akhir 1997, dan lanjut ke Rp 6.000 di awal 1998. Setelah sempat mencapai Rp 13.000, dolar AS sedikit menjinak dan kembali menyentuh Rp 8.000 pada April 1998. Namun pada Mei 1998, Indonesia memasuki periode kelam. Penembakan mahasiswa, kerusuhan massa, dan kejatuhan Orde Baru membuat rupiah kian anjlok. Sampai akhirnya dolar AS menyentuh titik tertinggi sepanjang masa di Rp 16.650 pada Juni 1998.
Lihat dan bedakan sendiri persentase penurunan Rupiah terhadap Dolar saat krismon dan sekarang. Sehingga permintaan Gerindra ini benar-benar omong kosong. Mungkin kalau kita tanyakan kepada Prabowo, dia sendiri juga akan geleng-geleng kepala. Paling jawabannya akan berkisar pada kebocoran dan kekayaan alam kabur ke luar negeri.
Kalau mengacu pada permintaan tersebut, maka ini akan membuat ekonomi makin tidak stabil, terutama sisi ekspor. Bayangkan kalau misalnya nilai tukar sekarang menjadi, katakanlah Rp 10.000. Ekspor Indonesia akan berdarah-darah. Malah devisa yang diterima akan menurun drastis. Apalagi kalau minta turun hingga Rp 6500. Masih belum paham?
Andaikan Anda ekspor satu barang seharga 10 Dolar, maka dengan asumsi kurs Rp 14.000 maka penerimaan Rp 140.000 secara kasar (banyak indikator lain yang tak mungkin dijelaskan di sini). Kalau kurs turun jadi Rp 10.000 maka penerimaan jadi Rp 100.000. Dan kalau kurs Rp. 6500 maka penerimaan jadi Rp 65.000. Siapa yang mau ekspor? Impor memang bagus, tapi ekspor hancur.
Optimis sih boleh tapi jangan segila itu dong. Yang paling benar sekarang ini adalah turun sedikit kemudian konsisten saja. Tidak naik tidak turun atau naik turun sedikit sehingga tidak mengganggu ekspor impor.
Lagipula kinerja Rupiah saat ini kebanyakan dipengaruhi oleh sentimen global. Ini sudah berkali-kali dikatakan. Cuma mereka saja yang pura-pura tidak mau tahu.
- Source : seword.com