Perlukah Sertifikasi Ulama?
Arti ulama dari Wikipedia adalah pemuka agama atau pemimpin agama yang bertugas untuk mengayomi, membina dan membimbing umat Islam baik dalam masalah-masalah agama maupun masalah sehari hari yang diperlukan baik dari sisi keagamaan maupun sosial kemasyarakatan. Makna sebenarnya dalam bahasa Arab adalah ilmuwan atau peneliti, kemudian arti ulama tersebut berubah ketika diserap kedalam Bahasa Indonesia, yang maknanya adalah sebagai orang yang ahli dalam ilmu agama Islam.
Pengertian ulama secara harafiyah adalah “orang-orang yang memiliki ilmu”. Dari pengertian secara harafiyah dapat disimpulkan bahwa ulama adalah: Orang Muslim yang menguasai ilmu agama Islam, Muslim yang memahami syariat Islam secara menyeluruh (kaaffah) sebagaimana terangkum dalam Al Qur’an dan Sunnah, menjadi teladan umat Islam dalam memahami serta mengamalkannya.
Saat membaca berita tentang Majelis Ulama Indonesia (MUI) akan menggodok tentang sertifikasi ulama atau mubaligh saya sangat setuju dan mendukung sertifikasi ulama tersebut. Sebab dengan adanya sertifikasi ini tidak setiap orang berhak mendapat gelar atau sebutan sebagai ulama.Ada kriteria khusus seseorang dikategorikan sebagai ulama.
https://nasional.tempo.co/read/1093028/mui-sedang-menggodok-sertifikasi-mubaligh
Indonesia walaupun sebagian besar umatnya adalah muslim tapi negara Indonesia bukanlah negara agama. Negara Indonesia adalah negara pluralisme, yang dibangun atas keberagaman suku, agama, ras dan golongan. Ideologi Pancasila sebagai landasan kekuatannya.
Sejatinya seseorang yang bergelar ulama paham atas kemajemukan bangsa Indonesia. Paham dimana perbedaan adalah rahmat bukan laknat. Selalu menyerukan persatuan dan kesatuan umat manusia untuk tujuan kebaikan. Berperilaku sabar, bijaksana, berpikiran terbuka, toleran, mengayomi, menyejukkan, mencerahkan, tidak merasa paling benar sendiri, menyerukan semangat untuk belajar ilmu pengetahuan, dan berbagai perilaku Qurani lainnya.
Ironis bila ada sesorang berlabel ulama tetapi senang mengumbar kemarahan dan kebencian terhadap sesama, merasa paling benar sendiri dan tidak mau dikoreksi sedikit pun, memecah belah sesama umat dengan mengkafir-kafirkan dan mensesat-sesatkan mereka yang berbeda pandangan. Patut kita pertanyakan, apakah mereka layak disebut ulama?
Tak dapat dipungkiri terjadinya fenomena di Indonesia begitu mudahnya orang dikategorikan sebagai ulama. Di jaman sekarang, khususnya di Indonesia agar bisa diakui sebagai ulama sepertinya tak perlu belajar Al Qur’an sampai gelar Doktor dengan predikat Summa Cumlaude. Hehehe di Indonesia yang setingkat Doktor itu terkadang malah dianggap tak paham Al Qur’an. Ironisnya yang justru dikategorikan ulama adalah, sebut saja mualaf yang baru belajar alias kursus singkat Al Qur’an langsung dianggap mumpuni soal Al Qur'an, hanya karena mempunyai massa yang banyak dan tim dakwahtainment yang solid. Atau ada lagi gerombolan artis-artis tobat yang rajin daurah atau kajian mingguan langsung menjadi mufti dan dianggap sebagai mubaligh dan langsung diberi label ulama.
Tiba-tiba saya teringat sebuah cerita pendek karya AA navis di tahun 1960 Robohnya Surau Kami. Khususnya pada cerita tentang seorang alim ulama yang bernama Haji Soleh. Haji Soleh adalah warga negara indonesia yang mengabdikan dirinya sebagai ulama, mengisi acara dakwah di seluruh mesjid di desanya, baik khutbah jumat maupun pengajian-pengajian. Karenanya Haji Saleh yakin betul bahwa jika meninggal kelak, ia pasti masuk surga, karena seluruh hidupnya ia mengabdi pada agamanya.
Akan tetapi setelah hari kiamat, pada saat di padang mahsyar, oleh malaikat yang menjadi petugas, Haji Soleh dimasukkan dalam barisan orang yang akan menuju ke neraka. Pada mulanya Haji Saleh beranggapan bahwa malaikat petugas pastilah melakukan kekeliruan. Maka Haji Saleh mengajukan komplain kepada malaikat itu. Ia meyakini ada kekeliruan karena seumur hidupnya di dunia justru diabdikan untuk mengajarkan iman, dan ibadah Islam serta kebaikan kepada masyarakat.
Lalu malaikat membaca kembali catatannya. Ternyata Haji Saleh memang berada di barisan orang yang akan masuk neraka. Kesalahannya adalah selaku ulama hanya berdakwah tentang akhirat melulu. Ia mengabaikan kondisi masyarakat di desanya yang kumuh, miskin dan hidup dalam kekurangan. Itulah sebabnya ia harus dijebloskan ke dalam neraka.
Di neraka, Haji Saleh bertemu juga dengan teman-temannya di dunia yang ibadahnya juga tidak kurang dari dirinya, bahkan ada juga orang yang sampai bergelar syekh. Akhirnya, karena tidak terima dengan keputusan Tuhan, orang-orang di neraka yang menganggap dirinya tidak pantas dimasukkan ke neraka itu melakukan aksi unjuk rasa kepada Tuhan. Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan pembicara bagi mereka. Sekali lagi, Tuhan menanyakan kepada mereka apa yang telah mereka lakukan di dunia.
Mereka menjawab bahwa mereka semua adalah warga negara Indonesia yang taat beragama dan negaranya sangat kaya akan sumber daya alam, namun hasilnya sering di ambil oleh pihak asing. Lalu Tuhan menjawab kepada mereka, bahwa mereka semua hanya mementingkan diri mereka sendiri, karena selama hidup mereka hanya berdoa dan menyembah-Nya, tetapi tidak mempedulikan keadaan sekitar, sedangkan anak cucu mereka sendiri hidupnya kekurangan.
Dari cerita tersebut di atas bisa kita pahami bahwa bukankah begitu luar biasa tanggung jawab seseorang yang dikategorikan sebagai ulama? Ulama bukanlah gelar atau cap yang bisa di sematkan kepada siapa saja. Apa yang telah dilakukan oleh mereka yang bergelar ulama tentunya akan lebih besar tanggung jawabnya ketimbang mereka yang bergelar umat.
Mereka yang bergelar ulama bukan saja paham tentang ilmu agama saja tetapi mempunyai kemampuan untuk mengaplikasikan ilmu agamanya di seluruh sendi kehidupannya sehari-hari dan itu tercermin dari perilakunya yang sabar dan santun.
Tentang sertifikasi ulama haruslah dipandang sebagai langkah positif dengan tujuan untuk mengetahui kapabilitas dan itegritas ulama tersebut, khususnya saat ini dimana banyak sekali dakwah-dakwah di mesjid yang mengandung unsur-unsur kebencian umat bukan lagi kesejukan umat. Terlebih lagi bila tujuan sertifikasi itu adalah untuk membendung dakwah yang mendoktrin paham-paham radikal yang menyulut benih intoleransi dan memicu paham terorisme.
Dengan adanya sertifikasi tersebut artinya ulama dan umat sama-sama dilindungi oleh negara, Ulama akan terukur kadar keilmuannya dalam menyampaikan dakwahnya pada umat sehingga tidak serta merta bebas menyampaikan ajarannya dengan penafsirannya sendiri.. Di sisi lain umat terlindungi dari dakwah yang penuh kebencian, dakwah mengadu domba umat, dakwah menyerukan perpecahan umat apalagi dakwah mengajarkan konsep jihad yang salah.
Sumber gambar : http://www.suaraislam.co/wp-content/uploads/2017/11/images-1.jpeg
- Source : seword.com