Teroris Generasi Ketiga: Sebuah DNA Teroris yang Berbeda
Kemarin saya berkesempatan mengikuti sebuah diskusi publik tentang kasus terorisme yang belakangan ini terjadi. Bermula dari pesan WA di sebuah grup, saya tertarik mengikuti pertemuan yang bertajuk: “Lesson Learnt” dari Counter Terrorism pada Insiden Mako Brimob Depok dan Serangan di Surabaya.
Awalnya saya mengira kalau diskusi ini akan banyak dihadiri oleh orang awam seperti saya. Begitu sampai di tempat diskusi, saya cukup terkejut. Lebih banyak orang-orang yang berposisi di sana; terutama dari lembaga kepolisian. Hadir pula beberapa doktor dan akademisi dari beberapa universitas, serta beberapa tokoh dari forum dan organisasi kemasyarakatan. Sisanya, saya duga, beberapa mahasiswa UI.
Melihat pertemuan yang dihadiri oleh tokoh-tokoh semacam demikian, saya memilih untuk duduk di belakang dan memerhatikan. Pertama kali saya mendengarkan secara langsung pemaparan Prof. Hermawan “Kikiek” Sulistyo, yang sempat tenar di sosial media ketika mengomentari soal pencalonan Presiden Prabowo Subianto pada tahun 2014. Beliau sempat mengomentari soal potongan videonya yang menjadi viral itu.
Sebelum menyatakan pernyataan yang utuh pada tahun 2014 itu, beliau sudah sempat memastikan bahwa tidak ada wartawan di sana. Jadi beliau menyatakan secara terbuka saja apa yang pernah didengarnya tentang PS dari orang dekat PS sendiri. Hanya saja, beliau lupa. Walau tak ada wartawan saat itu, semua orang di ruangan tersebut bisa jadi “wartawan” hanya dengan menggunakan telepon genggam. Mereka ini “wartawan” era digital. Tinggal rekam, potong-potong sedikit, lalu sebar via sosmed, langsung viral. Apalagi saat itu pilpres 2014 memang sangat panas. Tidak mungkin pernyataan “rahasia” semacam demikian tidak heboh. Hahahaha.
Tapi ya sudah, sepertinya “Mas Kikiek”, sapaan akrab untuk Profesor nyentrik satu ini, tidak ambil banyak pusing. Beliau menyikapinya sambil senyum nyengir khas ala Mas Kikiek sajah.
Tak lama, diskusi masuk pada pokok bahasan. Ada dua narasumber di sana, memberikan pemaparan dan analisis tentang apa yang bisa kita mengerti lebih dalam dari aksi teror belakangan ini. Pemaparan pertama disampaikan oleh Mas Iwan Ong Santosa, seorang wartawan liputan militer Kompas. Ia juga penulis buku tentang operasi Tinombala di Poso, dan beberapa buku lainnya mengenai peranan dan nasionalisme peranakan Tionghoa di Indonesia.
Poin utama beliau, ada kesulitan yang besar bila hanya Polri yang harus menangani kasus terorisme tanpa melibatkan TNI. Ambil contoh pada kasus Santoso di Poso, mustahil TNI tidak dilibatkan. Karena postur pembentukan anggota kepolisian adalah sebagai legal force (penjaga keamanan sipil), bukan sebagai ranger (pasukan tempur). Sedangkan dalam menghadapi teroris, apalagi perang rimba seperti di Poso, diperlukan kekuatan tempur.
Saya setuju dengan beliau. Interaksi dengan kelompok teroris bersenjata api menggunakan paradigma “melumpuhkan” tidak semudah itu diterapkan di lapangan. Segenap upaya untuk tidak menjatuhkan korban pada kubu teroris hanya akan menjadikan jumlah korban jatuh di tubuh aparat keamanan membengkak.
Jikalau persoalannya adalah HAM para pelaku teror, bagaimana dengan HAM para anggota aparat keamanan? Sampai detik ini mereka yang mempermasalahkan HAM tidak memberikan jawaban, alias diam. Masa kita mau membiarkan putra-putri bhayangkara terbaik kita mati begitu saja satu per satu? Kan gila. Berbeda dengan Polri, TNI lebih dibentuk dengan paradigma “mematikan”, sebab yang harus mereka hadapi adalah kekuatan bersenjata non-sipil.
Setelah Mas Iwan memberikan cerita pengalamannya mengikuti operasi TNI-Polri di Poso, Prof. Kikiek melanjutkan pemaparan tentang analisisnya terhadap insiden di Mako Brimob dan teror bom Surabaya.
Pada saat teror bom Surabaya terjadi, ada seorang kawan yang menanyakan kepada saya, “kenapa di Surabaya?”. Jujur hari itu saya tidak tahu jawabannya. Kenapa Surabaya? Saya tidak tahu. Ternyata pertanyaan itu dijawab kemarin. “kenapa Surabaya?”, tanya Prof. Kikiek. “Mudah saja jawabnya”, balasnya enteng. “Karena ada 700 orang Indonesia hasil deportasi Turki yang pulang ke daerah asalnya di Jawa Timur.” Mereka ini adalah para deportan yang tadinya ingin bergabung dengan ISIS. Tapi karena dicegat pihak imigrasi Turki, pulanglah mereka kembali ke Indonesia.
Dari sinilah pokok permasalahan mulai muncul. Kita saat ini sedang menghadapi kelompok teroris generasi ketiga (dapat dikatakan seperti demikian). Jikalau dulu kelompok teroris adalah kelompok yang terorganisir, bergerak dengan terencana, menyerang tempat-tempat yang menjadi simbol barat (Amerika Serikat dan sekutunya), maka sekarang anatomi terorisme yang baru sudah berbeda.
Dulu para kelompok teroris akan memilih tempat yang jauh dari daerah asalnya untuk melakukan teror. Supaya setelah melakukan satu aksi, mereka dapat menyelamatkan diri dan lanjut melakukan aksi lainnya lagi pada waktu yang akan datang. Motifnya untuk menyatakan perlawanan terhadap hegemoni barat.
Namun, generasi teroris yang sekarang tidak. Mereka melakukan aksi di daerah mereka sendiri karena hanya mau melakukan sekali, lalu mati. Aksi teror dibuat hanya untuk dilakukan satu kali, dan harus langsung mati di tempat. Kenapa? Karena motif utamanya ingin masuk surga. Tidak ada motif lain, satu-satunya motif hanya sesederhana bahwa mereka mau masuk surga, titik. Mereka ingin satu keluarga masuk ke dalam surga bersama-sama dan tidak ada satupun yang tertinggal di dunia. Maka dari itu tidak heran pelakunya bisa satu keluarga. Motif itu pulalah yang menjadi jawaban kenapa sampai anak-anak dilibatkan.
Kalau sudah begini, maka aksi terorisme ke depannya akan sangat sulit diterka. Karena ini sudah bicara keyakinan. Siapapun yang terpapar dengan keyakinan seperti ini bisa melakukannya. Dan mereka memang mengharapkan mati ketika melakukan aksi. Mereka dengan niatan sepenuh hati minta mati. Ini yang membuat kepolisian pusing tujuh keliling. Bagaimana bisa ada seorang Ibu yang sambil menggendong anaknya menangis minta ditembak oleh polisi?
Awalnya Polisi mengira sang Ibu menangis karena takut ditangkap polisi. Ternyata bukan, ia menangis karena gagal masuk surga. Sebab bila ia tidak mati pada saat melakukan aksi, maka ia tak akan bisa masuk surga. Ia jadi tertinggal oleh anggota keluarganya yang lain; yang telah terlebih dahulu mati.
Dalam menceritakan temuannya di bagian ini, Prof. Kikiek bahkan dengan spontan sampai berdiri memperagakan fenomena fatalistik yang menggoncang akal sehat itu. “Sekarang gimana polisi harus menghadapi Ibu-ibu yang sambil gendong anaknya minta ditembak sama polisi?”. “Pak, tembak saya.”, sambungnya menirukan permintaan seorang Ibu kepada polisi.
Akhir kata dari saya bagi para pembaca. Sampai di sini pun saya tidak habis pikir. Bagaimana bisa sampai muncul pemikiran yang semacam demikian pada benak sebagian masyarakat kita. Tidak ada motif ekonomi di sana karena keluarga pembom bunuh diri tempo hari berasal dari kelompok masyarakat menengah.
Mereka pun berasal dari keluarga yang baik-baik dan tidak pernah terlibat tindak kejahatan. Bahkan dalam benak mereka pun tidak ada suatu konsepsi khilafah yang mendalam. Motif mereka sederhana, hanya supaya bisa masuk surga. Kalau sudah begini, bagaimana aparat negara harus menghadapi aksi terorisme yang bermotifkan keyakinan semacam demikian?
Jikalau dulu mereka yang disebut sebagai lone wolf adalah satu pribadi, sekarang ada fenomena di mana lone wolf sebagai satu unit, yaitu keluarga. Dan sudah pasti para otak kelompok radikal akan memanfaatkan keluarga-keluarga yang semacam demikian. Mereka bisa saja terlepas dari organisasi radikal, tetapi benak mereka bercokol di dalam ideologi/keyakinan yang fatalistik semacam demikian.
Ada beberapa hal lagi yang masih bisa dipaparkan melalui tulisan ini, tetapi karena keterbatasan saya sudahi di sini dulu. Hal-hal lain itu misalnya bagaimana penanganan yang tepat sudah tidak bisa lagi hanya berada pada tataran penindakan terhadap para pelaku teror. Bagaimana menindak keyakinan/ideologi yang tertanam pada benak orang? Baca pikirannya? Ini kan sulit dideteksi. Kalau semua orang percaya bahwa dengan mati ditembak polisi mereka bisa masuk surga, maka siapa saja dan kapan saja penyerangan terhadap polisi bisa terjadi.
- Source : seword.com