Menyingkap Sempitnya Penafsiran Puisi Satire “Ibu Indonesia” Sukmawati Soekarnoputeri
Benar seperti kebanyakan para penyair sampaikan, bahwa puisi itu bisa lebih tajam dari pisau penyukur, isinya mampu membuat pembaca tak berdaya, bahkan puisi kita dapat juga menggali dangkal dalamnya cara pandang seseorang. Puisi bukan sekedar mengungkapan apa yang dirasa ke bentuk apa yang dianggap indah. Karena terbukti puisi mampu membuat beberapa pihak merasa dirinya berada di dalam puisi itu, meski tidak secara langsung. Terlebih puisi satire yang berisikan sindiran, kecaman tajam terhadap suatu fenomena dan ketidakpuasan hati terhadap sesuatu hal yang tidak seperti yang diharapkannya.
Puisi itu pemaknaannya multitafsir, artinya antara satu pembaca dengan pembaca lain berbeda mengartikannya. Dan ini bukan masalah salah-benar dalam mengungkap makna puisi, juga bukan baik buruknya puisi diciptakan. Dari multitafsir itulah maka kita tidak bisa menghakimi bahwa sebuah karya puisi telah menghina atau melecehkan satu pihak. Itulah tajam dan hebatnya sebuah puisi yang mampu mengalir ke dalam setiap rongga perasaan manusia. Pengimajinasiannya pun tidak sekedar berkhayal, tetapi butuh pengendalian dan pengendapan hati tanpa emosi dalam diksi. Kemerdekaan dalam pemilihan kata merupakan kekuatan bagi puisi itu sendiri, pemilihan kata tidak bisa dibatasi oleh kekuatan apapun di luar puisi.
Seperti dalam kredo puisi Sutardji Calzoem Bachri,
Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian, Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas. Kata diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam. Kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri.
Berikut puisi “Ibu Indonesia” Sukmawati Soekarnoputeri, yang diaggapnya kontroversial oleh segelintir orang.
Ibu Indonesia
Aku tak tahu Syariat Islam
Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah
Lebih cantik dari cadar dirimu
Gerai tekukan rambutnya suci
Sesuci kain pembungkus ujudmu
Rasa ciptanya sangatlah beraneka
Menyatu dengan kodrat alam sekitar
Jari jemarinya berbau getah hutan
Peluh tersentuh angin laut
Lihatlah ibu Indonesia
Saat penglihatanmu semakin asing
Supaya kau dapat mengingat
Kecantikan asli dari bangsamu
Jika kau ingin menjadi cantik, sehat, berbudi, dan kreatif
Selamat datang di duniaku, bumi Ibu Indonesia
Aku tak tahu syariat Islam
Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok
Lebih merdu dari alunan azan mu
Gemulai gerak tarinya adalah ibadah
Semurni irama puja kepada Illahi
Nafas doanya berpadu cipta
Helai demi helai benang tertenun
Lelehan demi lelehan damar mengalun
Canting menggores ayat ayat alam surgawi
Pandanglah Ibu Indonesia
Saat pandanganmu semakin pudar
Supaya kau dapat mengetahui kemolekan sejati dari bangsamu
Sudah sejak dahulu kala riwayat bangsa beradab ini cinta dan hormat kepada ibu Indonesia dan kaumnya.
Suatu keanehan bila tiba-tiba sebuah puisi “Ibu Indonesia” karya Sukmawati Soekarnoputri, yang dibacakan Sukmawati sendiri dalam acara 29 Tahun Anne Avantie Berkarya di Indonesia Fashion Week 2018, dipermasalahkan dari sisi pilihan kata “azan dan cadar”. Dan bahkan Pengurus Persaudaraan Alumni 212, Kapitra Ampera mengkritik adanya dugaan pelanggaran dalam puisi itu.
"Saya mendapatkan video itu tadi pagi. Sudah saya cermati ada mengenai azan dan cadar, menurut saya ada dugaan kuat mendiskreditkan agama," ujar, Kapitra Ampera. Sumber
Itulah dangkalnya pemahaman tentang sastra khususnya tentang puisi “Ibu Indonesia”, yang hanya dimaknai dalam logika “apa adanya”, tanpa analisis nilai-nilai sastra yang sesungguhnya dan kebenaran yang dikandungnya. Lantas dimana letak pelanggarannya?
Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok
Lebih merdu dari alunan azan mu
Mari kita coba pahami dua baris puisi di atas, yang secara tersirat hanya “nada” membandingkan antara kidung dan azan. Perbandingan ini hanya sebatas sebagai bentuk penegasan rasa kebanggaan akan sosok wanita Indonesia. Tidak tampak nuansa mendeskreditkan agama tertentu.
Memang benar azan itu selama ini diartikan sebagai panggilan untuk melakukan ibadah bagi umat islam. Tetapi perlu juga dipahami bahwa secara umum adzan dari segi bahasa berarti pengumuman, permakluman atau pemberitahuan.Sumber Dengan demikian tidak bisa lantas puisi itu dianggap sebagai ungkapan mendeskreditkan agama. Janganlah kita memaksa-maksakan untuk membatasi kemerdekaan pemaknaan kata dalam puisi. Ingat, hakikat pemaknaan puisi itu “multi-penafsiran”. Jadi, jika Kapitra Ampera, Fadli Zon, Taufik Kurniawan, atau siapapun menafsirkan puisi “Ibu Indonesia” sebagai puisi kontroversial, boleh dong saya memberi penafsiran berdasarkan pemahaman sastra khususnya puisi, bahwa puisi “Ibu Indonesia” adalah puisi nasionalisme.
Kita coba lagi untuk memahami dua baris yang lain:
Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah
Lebih cantik dari cadar dirimu
Taufik Kurniawan mempermasalahkan kata “cadar”, kalau kata ini yang dipermasalahkan maka sangat disayangkan. Mengapa? Karena kata cadar sendiri bermakna penutup muka, yang berlaku bagi siapapun. Kata cadar tidak selalu berhubungan dengan agama islam. Cadar sebelum Islam datang sudah digunakan oleh perempuan di wilayah “gurun pasir”. Jika kita mempelajari sejarah percadaran ini, yaitu sehelai kain penutup wajah bagi perempuan khususnya (karena ada cadar yang dikenakan bagi kaum lelaki seperti kelompok Suku Thawareq di Afrika utara), maka kita akan tahu bahwa praktik cadar ini sudah dilakukan ribuan tahun sebelum Islam lahir di kawasan Arab, khususnya sejak zaman Imperium Assyria kuno di kawasan Mesopotamia. Lalu apa dan di mana salahnya puisi “Ibu Indonesia” menggunakan kata cadar? Kok sepertinya memaksa-maksakan membatasi kemerdekaan “pilihan kata”. Sumber Sumber
Kesalahan kita dalam menikmati sebuah karya sastra khususnya puisi, yaitu hanya baru mampu membaca dan menilai baik buruk. Belum menjangkau kemampuan memberi penafsiran makna berdasar energi penciptaan termasuk kontemplasi dan kesadaran tentang ambiguitas makna puisi. Sehingga yang ada hanyalah, anggapan bahwa kata-kata dalam puisi menyinggung suku, agama, ras, dan golongan.
- Source : seword.com