www.zejournal.mobi
Rabu, 27 November 2024

Menyingkap Sempitnya Penafsiran Puisi Satire “Ibu Indonesia” Sukmawati Soekarnoputeri

Penulis : Bamswongsokarto | Editor : Indie | Rabu, 04 April 2018 12:03

Benar seperti kebanyakan para penyair sampaikan, bahwa puisi itu bisa lebih tajam dari pisau penyukur, isinya mampu membuat pembaca tak berdaya, bahkan puisi kita dapat juga menggali dangkal dalamnya cara pandang seseorang. Puisi bukan sekedar mengungkapan apa yang dirasa ke bentuk apa yang dianggap indah. Karena terbukti puisi mampu membuat beberapa pihak merasa dirinya berada di dalam puisi itu, meski tidak secara langsung. Terlebih puisi satire yang berisikan sindiran, kecaman tajam terhadap suatu fenomena dan ketidakpuasan hati terhadap sesuatu hal yang tidak seperti yang diharapkannya.

Puisi itu pemaknaannya multitafsir, artinya antara satu pembaca dengan pembaca lain berbeda mengartikannya. Dan ini bukan masalah salah-benar dalam mengungkap makna puisi, juga bukan baik buruknya puisi diciptakan. Dari multitafsir itulah maka kita tidak bisa menghakimi bahwa sebuah karya puisi telah menghina atau melecehkan satu pihak. Itulah tajam dan hebatnya sebuah puisi yang mampu mengalir ke dalam setiap rongga perasaan manusia. Pengimajinasiannya pun tidak sekedar berkhayal, tetapi butuh pengendalian dan pengendapan hati tanpa emosi dalam diksi. Kemerdekaan dalam pemilihan kata merupakan kekuatan bagi puisi itu sendiri, pemilihan kata tidak bisa dibatasi oleh kekuatan apapun di luar puisi.

Seperti dalam kredo puisi Sutardji Calzoem Bachri,

Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian, Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas. Kata diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam. Kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri.

Berikut puisi “Ibu Indonesia” Sukmawati Soekarnoputeri, yang diaggapnya kontroversial oleh segelintir orang.

Ibu Indonesia

Aku tak tahu Syariat Islam

Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah

Lebih cantik dari cadar dirimu

Gerai tekukan rambutnya suci

Sesuci kain pembungkus ujudmu

Rasa ciptanya sangatlah beraneka

Menyatu dengan kodrat alam sekitar

Jari jemarinya berbau getah hutan

Peluh tersentuh angin laut

Lihatlah ibu Indonesia

Saat penglihatanmu semakin asing

Supaya kau dapat mengingat

Kecantikan asli dari bangsamu

Jika kau ingin menjadi cantik, sehat, berbudi, dan kreatif

Selamat datang di duniaku, bumi Ibu Indonesia

Aku tak tahu syariat Islam

Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok

Lebih merdu dari alunan azan mu

Gemulai gerak tarinya adalah ibadah

Semurni irama puja kepada Illahi

Nafas doanya berpadu cipta

Helai demi helai benang tertenun

Lelehan demi lelehan damar mengalun

Canting menggores ayat ayat alam surgawi

Pandanglah Ibu Indonesia

Saat pandanganmu semakin pudar

Supaya kau dapat mengetahui kemolekan sejati dari bangsamu

Sudah sejak dahulu kala riwayat bangsa beradab ini cinta dan hormat kepada ibu Indonesia dan kaumnya.

Suatu keanehan bila tiba-tiba sebuah puisi “Ibu Indonesia” karya Sukmawati Soekarnoputri, yang dibacakan Sukmawati sendiri dalam acara 29 Tahun Anne Avantie Berkarya di Indonesia Fashion Week 2018, dipermasalahkan dari sisi pilihan kata “azan dan cadar”. Dan bahkan Pengurus Persaudaraan Alumni 212, Kapitra Ampera mengkritik adanya dugaan pelanggaran dalam puisi itu.

"Saya mendapatkan video itu tadi pagi. Sudah saya cermati ada mengenai azan dan cadar, menurut saya ada dugaan kuat mendiskreditkan agama," ujar, Kapitra Ampera. Sumber

Itulah dangkalnya pemahaman tentang sastra khususnya tentang puisi “Ibu Indonesia”, yang hanya dimaknai dalam logika “apa adanya”, tanpa analisis nilai-nilai sastra yang sesungguhnya dan kebenaran yang dikandungnya. Lantas dimana letak pelanggarannya?

Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok

Lebih merdu dari alunan azan mu

Mari kita coba pahami dua baris puisi di atas, yang secara tersirat hanya “nada” membandingkan antara kidung dan azan. Perbandingan ini hanya sebatas sebagai bentuk penegasan rasa kebanggaan akan sosok wanita Indonesia. Tidak tampak nuansa mendeskreditkan agama tertentu.

Memang benar azan itu selama ini diartikan sebagai panggilan untuk melakukan ibadah bagi umat islam. Tetapi perlu juga dipahami bahwa secara umum adzan dari segi bahasa berarti pengumuman, permakluman atau pemberitahuan.Sumber Dengan demikian tidak bisa lantas puisi itu dianggap sebagai ungkapan mendeskreditkan agama. Janganlah kita memaksa-maksakan untuk membatasi kemerdekaan pemaknaan kata dalam puisi. Ingat, hakikat pemaknaan puisi itu “multi-penafsiran”. Jadi, jika Kapitra Ampera, Fadli Zon, Taufik Kurniawan, atau siapapun menafsirkan puisi “Ibu Indonesia” sebagai puisi kontroversial, boleh dong saya memberi penafsiran berdasarkan pemahaman sastra khususnya puisi, bahwa puisi “Ibu Indonesia” adalah puisi nasionalisme.

Kita coba lagi untuk memahami dua baris yang lain:

Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah

Lebih cantik dari cadar dirimu


Berita Lainnya :

Taufik Kurniawan mempermasalahkan kata “cadar”, kalau kata ini yang dipermasalahkan maka sangat disayangkan. Mengapa? Karena kata cadar sendiri bermakna penutup muka, yang berlaku bagi siapapun. Kata cadar tidak selalu berhubungan dengan agama islam. Cadar sebelum Islam datang sudah digunakan oleh perempuan di wilayah “gurun pasir”. Jika kita mempelajari sejarah percadaran ini, yaitu sehelai kain penutup wajah bagi perempuan khususnya (karena ada cadar yang dikenakan bagi kaum lelaki seperti kelompok Suku Thawareq di Afrika utara), maka kita akan tahu bahwa praktik cadar ini sudah dilakukan ribuan tahun sebelum Islam lahir di kawasan Arab, khususnya sejak zaman Imperium Assyria kuno di kawasan Mesopotamia. Lalu apa dan di mana salahnya puisi “Ibu Indonesia” menggunakan kata cadar? Kok sepertinya memaksa-maksakan membatasi kemerdekaan “pilihan kata”. Sumber Sumber

Kesalahan kita dalam menikmati sebuah karya sastra khususnya puisi, yaitu hanya baru mampu membaca dan menilai baik buruk. Belum menjangkau kemampuan memberi penafsiran makna berdasar energi penciptaan termasuk kontemplasi dan kesadaran tentang ambiguitas makna puisi. Sehingga yang ada hanyalah, anggapan bahwa kata-kata dalam puisi menyinggung suku, agama, ras, dan golongan.


- Source : seword.com

Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar