Sertifikasi Batik Halal, Perlukah?
Karena, dengan tidak menjual barang yang tersertifikasi halal, ada sanksi pidananya. Untuk itu, kita berikan sosialisasi kepada para pebatik. Maka jauh sebelum itu, kami memberikan masukan kepada para perajin batik untuk mengurus itu semua. Karena mulai 2019, Undang-Undang sudah berlaku. Kriteria halal itu mulai dari bahan baku, sampai jadinya. Seperti morinya, warnanya, dan prosesnya harus halal semua terhindar dari najis.
Sumber kutipan dan foto : https://kumparan.com/@kumparannews/sebelum-2019-pebatik-wajib-kantongi-sertifikat-halal-bagi-produknya?utm_source=Mobilesite&utm_medium=twitter&utm_campaign=Share
Pernyataan di atas diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch, Ikhsan Abdullah. Menurutnya hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Ia menambahkan, dalam Undang-Undang tersebut, produk yang harus berlabel halal tidak terbatas pada makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, dan produk rekayasa genetik saja. Namun, juga produk lain yang bisa digunakan seperti kain.
Saya mencoba membuka bunyi aturan yang disebutkan itu. Pasal 1 ayat 1 adalah "Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat". Sementara Pasal 1 ayat 2 bunyinya, "*Produk Halal adalah Produk yang telah dinyatakan
halal sesuai dengan syariat Islam*".
Menurut saya pribadi ini tak ubahnya pasal karet di beberapa Undang-Undang. Pantas saja kalau kemarin sampai ada kerudung halal segala yang menurut saya pribadi itu sebetulnya hanya trik brand campaign belaka memanfaatkan psikologis konsumen kita yang memang gampang terpengaruh dengan hal-hal semacam ini.
Mengapa saya sebut ini seperti pasal karet? Dari kacamata awam seperti saya ini, setahu saya sejak saya kecil belajar agama tidak pernah saya dengar tentang pakaian haram-halal. Kalaupun ada aturan tentang itu lebih ke soal kesucian saat digunakan untuk beribadah ataupun aturan menutup aurat. Apa kita pernah dengar ulama-ulama terdahulu meributkan soal halal-haramnya kain yang kita gunakan? Ya haram kalau kita mendapat kainnya dari mencuri punya orang lain.
Saya pribadi kurang setuju dengan sertifikasi halal untuk batik ini. Ya sederhana saja alasannya, buat apa? Sertifikasi ini ujung-ujungnya juga jadi soal duit karena untuk mendapatkan sertifikasi maka para pengusaha atau pengrajin batik harus mengeluarkan sejumlah uang untuk mendaftarkan bahannya dan nanti kalau ada kunjungan pun juga pastinya harus mengeluarkan uang lagi. Akhirnya juga yang diuntungkan lembaga sertifikasi dan pengusaha batik skala besar yang memang punya uang untuk itu. Sementara pengusaha atau pengrajin batik kecil tentu akan dibuat kerepotan dengan aturan ini.
Saya rasa Pemerintah harus mengubah Undang-Undang ini agar lebih jelas. Apakah karena disebutkan yang dipakai maka segala hal yang melekat di tubuh harus disertifikasi halal? Lama-lama akan ada BH halal, celana dalam halal, pembalut halal, bando halal, dan lain-lain.
Bukan, ini bukan soal mendegradasi nilai ajaran Islam soal haram-halal. Tapi pernahkah Anda tahu di jazirah Arab sekalipun meributkan soal bahan pakaian halal atau haramnya? Yang saya tahu ya itu tadi soal haram-halal pakaian lebih ke bagaimana Anda mendapatkannya dan jual beli yang Anda lakukan.
Kalau soal menghindarkan dari najis, lah najis yang macam apa ini? Kalau najisnya pakaian karena terkena kotoran bukankah pada akhirnya semua juga akan terkena najis? Dan akhirnya kalau dicuci juga akan hilang kan? Terus kenapa harus dibuat ribet dengan sertifikasi halal?
Kalau soal warna dan kain mori yang digunakan, lah dasarnya juga kebanyakan dari tumbuhan. Pasal 20 ayat 1, "Bahan yang berasal dari tumbuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b pada dasarnya halal, kecuali yang memabukkan dan/atau membahayakan kesehatan bagi orang yang mengonsumsinya" sementara ayat 2 berbunyi, "Bahan yang berasal dari mikroba dan bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawi, proses biologi, atau proses rekayasa genetik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c dan huruf d diharamkan jika proses pertumbuhan dan/atau pembuatannya tercampur, terkandung, dan/atau terkontaminasi dengan bahan yang diharamkan". Kalau menggunakan logika jika bahan yang digunakan saja haram maka hasilnya haram maka kain mori itu juga harus disertifikasi dulu. Lama-lama Anda mati saja bisa jadi orang yang Anda tinggalkan akan ribut kain kafan Anda haram atau halal.
- Source : seword.com