Studi mengatakan penjualan senjata Korea Selatan melonjak 20% ditengah-tengan ancaman Pyongyang
Korea Selatan mendorong penjualan senjatanya lebih dari 20% pada tahun lalu dan memiliki ambisi untuk menjadi pengekspor senjata utama, menurut sebuah studi baru. Lonjakan ini muncul ditengah-tengah uji coba rudal balistik yang diluncurkan rivalnya, Korea Utara.
Penelitian yang dilakukan oleh Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm (SIPRI) yang dirilis pada hari Senin, mempelajari penjualan senjata dan layanan militer dari berbagai perusahaan layanan militer dan produksi senjata terbesar di tahun 2016. Studi ini menemukan bahwa Korea Selatan mendominasi kategori “produsen baru.”
#SouthKorean companies in the @SIPRIorg #Top100 arms producing and military services companies increased their arms sales by 20.6% to $8.4 bn in 2016: https://t.co/dUmndB6gY2 #SIPRIFacts pic.twitter.com/odLiGZBnSG
— SIPRI (@SIPRIorg) December 11, 2017
“Tren dalam kategori ini di tahun 2016 didominasi oleh 20,6 persen kenaikan keseluruhan dari penjualan senjata di berbagai perusahaan Korea Selatan, dengan total penjualan sampai 8,4 milyar,” SIPRI menyebutkan dalam perilisan tersebut. Anggota lainnya dari kategori itu Brazil, India dan Turki.
Peneliti Senior SIPRI Siemon Wezemon mengatakan bahwa “berlanjut dan meningkatnya ancaman” membuat Seoul membutuhkan lebih banyak perlengkapan militer. Peneliti senior Pieter D. Wezemen mengatakan pada AFP “meningkatnya kemampuan senjata nuklir di Korea Utara” telah berdampak pada “investasi yang besar” di Korea Selatan.
Wezeman mengatakan Korea Selatan “berubah menjadi industi persenjataannya sendiri yang memasok permintaannya akan senjata” dan “bertujuan untuk mencapai tujuannya menjadi negara pengekspor senjata terbesar.” Ekspor senjata Korea Selatan mencapai jumlah $2,5 milyar pada tahun 2016, dibandingkan dengan jumlah $253 juta di tahun 2006, menurut data resmi.
Tujuh perusahaan pembuat senjata di Korea selatan masuk dalam tingkatan 100 produsen senjata top di seluruh dunia versi SIPRI, termasuk Korea Aerospace Industries (KAI). Perusahaan itu telah mengembangkan sebuah pesawat pemburu supersonic, pesawat T-50 Golden Eagle, bersamaan dengan perusahaan senjata raksasa Amerika, Lockheed Martin. Rudal, meriam, kapal selam dan pesawat tempur milik Korea Selatan popular khususnya di wilayah Asia Tenggara, Eropa Timur dan Amerika Selatan.
Studi tersebut dilakukan ditengah-tengah meningkatnya kegelisahan regional atas program rudal nuklir dan balistik milik Korea Utara. Dalam uji coba terakhirnya, Pyongyang telah meluncurkan sebuah rudal balistik antar benua (ICBM) yang dikatakan mampu mencapai datara AS. Seoul memberikan tanggapannya pada hari Senin, dengan menambahkan beberapa nama bank, perusahaan, grup dan individu Korea Utara ke dalam daftar sanksinya.
Korea Selatan juga bersikeras melakukan latihan gabungan militernya dengan AS, yang ikut ambil bagian dalam latihan tempur tahunan Vigilant Ace pada minggu lalu. “Latihan pertempuran” tersebut diprediksi menyulut amarah Pyongyang yang sebelumnya mengabaikan negosiasi dengan Washington terkait latihan gabungan dan “kebijakan permusuhan” Amerika. Berbicara pada Reuters bulan lalu, duta besar Pyongyang untuk PBB, Han Tae Song, mengatakan “selama masih ada latihan pertempuran di gerbang kami, maka tidak akan pernah ada negosiasi.”
Moskow juga telah angkat suara menentang tindakan latihan militer gabungan antara AS dan Korea Selatan. Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov mengatakan, setelah terjadinya peluncuran uji coba terakhir Korea Utara, latihan gabungan di wilayah tersebut dan adanya retorika Washington terhadap Korea Utara telah menyebabkan “provokasi pada pihak Pyongyang yang berdampak pada beberapa tindakan ceroboh” setelah berbulan-bulan menahan diri.
- Source : www.rt.com