Uni Eropa tidak terima Turki karena blok ini adalah aliansi Crusader – Erdogan
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan sementara berpidato di hadapan para pendukungnya di Ankara pada hari Minggu, bahwa negaranya tidak akan diterima oleh Uni Eropa karena bukanlah negara Kristen.
Turki telah mencoba untuk masuk ke dalam Uni Eropa sejak mengajukan permohonan keanggotaan pada tahun 1987, namun negosiasi-negosiasi telah berulang kali terhenti karena masalah hak asasi manusia, perbedaan pendapat atas Siprus dan hal-hal lainnya.
Pada rapat umum tersebut, Erdogan mengkalim bahwa pertemuan para wakil Uni Eropa dengan Paus pada bulan Maret adalah bukti bahwa serikat ini secara fundamental adalah sebuah organisasi Kristen.
“Semua pemimpin negara-negara Uni Eropa pegi ke Vatikan dan mendengarkan Paus dengan patuh. Apakah Anda sekarang mengerti mengapa mereka belum menerima Turki ke dalam Uni Eropa selama 54 tahun?” kata Erdogan pada hari Minggu, mengacu pada Perjanjian Ankara 1963 antara Turki dan Eropa.
“Situasi tersebut cukup keras dan jelas, ini adalah sebuah aliansi Crusader. Tanggal 16 April juga akan menjadi haru untuk mengevaluasi hal ini, Erdogan mengatakan, seperti dikutip oleh Hurriyet.
Pertemuan yang disebutkan oleh Erdogan berlangsung pada tanggal 24 Maret, ketika 27 kepala negara Uni Eropa dengan Paus Francis di Vatikan sebelum pertemuan puncak yang menandai 60 tahun sejak enam negara (Belgia, Perancis, Italia, Luksemburg, Jerman Barat dan Belanda) menandatangani Perjanjian Roma 1957, mendirikan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE), yang kemudian menjadi Uni Eropa pada tahun 1991.
“Saya ternyata benar pada apa yang telah saya katakan tentang Uni Eropa ini,” tambah Erdogan. “Mereka telah berbohong kepada kami berturut-turut selama 14 tahun. Dan mereka terus berbohong.”
Dalam beberapa bulan terakhir, ketegangan antara Turki dan negara-negara Eropa telah meningkat menjelang referendum Turki mendatang. Erdogan, bersama partai AKP, saat ini sedang berkampanye untuk pilihan “ya” dalam plebisit yang meberikan kantor presiden tersebut kekuasaan untuk mengeluarkan dekrit, menyatakan keadaan darurat, menunjuk menteri dan para pejabat negara, dan pembubaran parlemen.
Kritik mengatakan bahwa berhasilnya langkah tersebut akan menghapuskan sistem keseimbangan di negara ini. Erdogan mengandalkan dukungan dari 5,5 juta warga Turki yang tinggal di luar negeri untuk membantunya memenangkan referendum ini.
Ankara terlibat dalam perang kata dengan Jerman dan Belanda yang telah melarang beberapa rapat umum politik yang mendukung referendum konstitusi Turki ini. Erdogan menuduh kedua negara tersebut dengan Nazisme. Presiden Uni Eropa Donald Tusk telah menjelaskan komentar Erdogan tersebut sebagai “benar-benar terpisah dari kenyataan.”
Berbicara dalam sebuah konferensi Anglo-Turki pada bulan Maret, Erdogan mengatakan bahwa setelah referendum di bulan April ini, Turki akan meninjau kembali hubungan dengan blok Uni Eropa.
“Anda (Inggris) telah membuat sebuah keputusan dengan Brexit, mungkin ada hal yang berbeda setelah tanggal 16 April,” Erdogan mengatakan seperti dikutip oleh kantor berita Anadolu.
“Kami memiliki referendum pada tanggal 16 April. Setelah referendum ini, kami dapat mengadakan sebuah referendum seperti Brexit terhadap negosiasi Uni Eropa. Tidak peduli apa yang diputuskan bangsa kami, kami akan mematuhinya.”
- Source : www.rt.com