www.zejournal.mobi
Senin, 23 Desember 2024

Neraka di Bumi

Penulis : Eric Margolis | Editor : Samus | Senin, 29 Februari 2016 18:16

Seratus tahun yang lalu pada minggu ini, artileri Jerman meluncurkan sebuah serangan besar satu juta mortir pada pertahanan Perancis di bukit-bukit berhutan dan jurang-jurang dalam di atas kota benteng kuno Verdun. Ledakan-ledakan bergemuruh dari “trummelfeuer” terdengar dari jarak 160 km.

Pada tahun kedua dari Perang Dunia I, peperangan parit statis diperpanjang sepanjang Front Barat dari pantai Belgia sampai ke Swiss – sebuah versi modern dari peperangan pengepungan berdarah abad pertengahan. Baik Kekaisaran Jerman maupun Sekutu tidak dapat memaksakan kemenangan yang menentukan. Serangan-serangan bunuh diri yang frontal terhadap senapan-senapan mesin dan artileri di medan membantai ratusan ribu tentara.

Kepala tentara Jerman, Eric Von Falkenhayn memutuskan untuk membantai Angkatan Darat Perancis dengan menyerang posisi yang tidak bisa diserahkan – Verdun. Artileri dan gas beracun adalah senjata pilihannya. Pertempuran gesekan ini adalah pilihan terakhir bagi para jenderal yang miskin, brutal dan tidak memiliki imajinasi.

Serangan infanteri Jerman awal datang di Bois Caures, dipertahankan oleh dua batalyon Perancis Kolonel Emile Driant. Pertahanannya yang gagah berani menunda serangan Jerman, namun Driant terbunuh dan dua batalyon nya dihancurkan.

Komandan Perancis, Jenderal Nivelle, memerintahakan kepada Tentara Ke-2 nya: “Tidak ada kata menyerah; tidak mundur, bahkan satu inci. Gugurlah di mana Anda berdiri.” Dan memang Tentara ke-2 ini tidak mundur dan gugur. Jerman mendorong ke arah selatan menuju kota, berjuang untuk setiap meter tanah terhadap serangan balasan sengit Perancis. Pada tanggal 4-5 Juni, Jerman menembakkan 100.000 rudal gas beracun – klorin, sianida, mustard, fosgen – hanya berjarak 4 km pada garis depan Perancis, kemudian meluncurkan serangan infanteri. Tentara Perancis tidak memiliki masker-masker gas. Ribuan orang tewas kesakitan atau buta. Namun mereka tetap bertahan.

Mortir-mortir mengaduk-aduk medan tempur sampai ke rawa-rawa yang penuh dengan ratusan ribu mayat manusia dan kuda yang membusuk, diperparah oleh gas beracun yang keluar dari rawa tersebut. Pasukan bertahan berhari-hari tanpa makanan, atau penanganan medis; mereka minum dari kawah yang disebabkan oleh mortir yang dipenuhi oleh mayat membusuk ketika hujan tiba – atau, sangat sering tenggelam di dalamnya. Senjata-senjata penyembur api menyebabkan banyak korban. Mortir ditembakkan setiap waktu.

Dua puluh benteng yang dibangun pada tahun 1880-1890 untuk mempertahankan Verdun, dan dipercayai telah usang, menjadi pusat pertempuran. Yang paling diserang adalah benteng Moulinville, Souville, Douaumont, Vacherauville, Froidterre, Two, Thiaumont dan Tavannes.

Pada puncak serangan Jerman pada Benteng Vaux, lebih dari 2.000 mortir mekedak setiap jamnya terhadap benteng tersebut. Ketika kita berbicara hari ini mengenai ketegangan prajurit tempur, pikirkanlah garnisun di Vaux, dibakar, digas, kelaparan, keracunan CO2, mati kehausan, minum air seni mereka sendiri dan takut bahwa mereka akan terkubur hidup-hidup jika benteng tersebut runtuh.

Utusan merpati terakhir benteng tersebut berjuang untuk mencapai garis Perancis, kemudian mati karena keracunan asap. Patungnya berdiri dekat pintu masuk benteng. Ketika Komandan Perancis, Sylvain Reynal akhirnya terpaksa untuk menyerah, ia secara sombong mengatakan kepada Pangeran Mahkota Jerman: “Bukanlah Anda yang mengalahkan kami; melainkan rasa haus.”

Selama sepuluh bulan mengerikan berikutnya, jutaan mortir Jerman mengguncangkan tanah, menghancurkan posisi-posisi Perancis dan para pembelanya. Artileri Perancis dengan cepat dihancurkan. Serangan-serangan balasan Perancis kehilangan sejumlah besar kekuatannya. Upaya Perancis untuk hanya merebut kembali Benteng Douaumount memakan korban sebanyak 100.000 jiwa.

Tiga perempat dari seluruh tentara Perancis (8 juta orang pada tahun 1918), seluruh generasi pria Perancis, diputar melalui neraka di Verdun, memastikan bahwa seluruh bangsa ini merasakan kengeriannya. Unit-unit tetap berada di garis depan sampai mereka kehilangan 60% korban.

Hampir setiap desa di Perancis memiliki peringatan perang dengan nama-nama anak mereka yang tewas di Verdun. Kesedihan atas Verdun memuncak dan menjadi Kalvari Perancis. Sumpah militer Perancis, “mereka tidak akan lewat” menjadi sumpah nasional Perancis dan seruan dari Marshall Pertain, komandan yang baru saat itu.

Pihak Jerman, yang berjuang seperti singa, kehilangna sekitar 700.000 tentara mereka. Bertempur seperi harimau, Perancis akhirnya mempertahankan garis pertahanan terakhir sebelum Verdun. Hampir satu juta tentara perancis tewas, terluka atau dimutilasi bagi kehidupan di Verdun. Perancis menderita kehilangan satu juta nyawa tambahan selama peperangan, banyak gugur dalam serangan-serangan bunuh diri di Chemin des Dammes.

Pada akhir perang, tidak cukup pria Perancis muda untuk membajak ladang atau menjadi seorang ayah. Pada bulan Mei 1940, Jerman yang menggunakan taktik lebih gesit dan dukungan serangan udara merebut Verdun dan benteng-benteng yang dipersenjatai hanya dalam waktu 24 jam.


- Source : www.unz.com

Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar