www.zejournal.mobi
Jumat, 27 Desember 2024

Suriah: Para Pemenang dan yang Kalah Menjadi Jelas dalam Perang Ini

Penulis : Patrick Cockburn | Editor : Samus | Jumat, 19 Februari 2016 18:02

Pada tahap awal dari perang di Suriah, seorang pejabat Irak bertemu dengan seorang komandan NATO. “Apa perbedaan antara apa yang terjadi di Suriah dan Libya (di mana Muammar Ghaddafi baru saja digulingkan)?” ia bertanya. Jawaban dari jenderal NATO tersebut sangat sederhana dan garing. “Rusia telah kembali,” katanya.

Kelahiran kembali Rusia sebagai kekuatan yang besar tampak jelas pada awal tanggal 12 Februari di Munich ketika Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, mengumumkan sebuah rencana untuk mengirimkan bantuan ke kota-kota yang terkepung di Suriah dan sebuah “penghentian permusuhan”, yang akan diikuti oleh gencatan senjata yang resmi. Rusia dan AS memiliki kekuatan unutk membuat sesuatu hal terjadi atau menghentikannya di Suriah yang tidak mutlak tetapi lebih besar dari pihak lainnya.

Pengumuman tersebut disambut dengan skpetik oleh media-media dan diplomat, yang dengan cepat menunjuk banyak lubang dalam perjanjian tersebut dan banyak hal yang dapat menjadi salah. Namun keraguan ini mungkin dibesar-besarkan karena perkembangan militer dan diplomatik di Suriah memperkuat satu sama lain. Intervensi militer Rusia berarti bahwa Presiden Bashar al-Assad tidak akan kalah dalam perang dan sulit untuk melihat apa yang dapat dilakukan oleh pasukan oposisi Suriah untuk menghentikan tentara Suriah yang didukung oleh Rusia dan berkoalisi dengan kekuatan Syiah yang dipimpin oleh Iran. Presiden Bashar al-Assad mengatakan bahwa ia menginginkan kemenangan tetapi ini tidak mungkin karena AS dan sekutunya tidak akan menerima sebuah kekalahan total.

Keterlibatan Rusia dan Iran yang semakin besar dalam perang ini tidak mengejutkan. Sudah jelas sejak sekitar tahun 2012 bahwa Rusia dan kekuatan Syiah tidak akan membiarkan Presiden Bashar al-Assad digulingkan, dan akan melawan setiap eskalasi oleh Turki dan Arab Saudi. Ini terjadi tahun lalu ketika sebuah serangan oleh ISIS yang dipimpin oleh afiliasi al-Qaeda di Suriah, al-Nusra dan Ahrar al-Sham, memenangkan serangkaian kemenangan militer di provinsi Idlib bagian utara Suriah. Keberhasilan mereka memprovokasikan intervensi militer Rusia pada tanggal 30 September yang menggeser keseimbangan kekuatan di medan perang dalam mendukung Assad sampai pada tingkat yang dapat dibalikkan hanya dengan intervensi langsung dari militer Turki.

Sedikit terlambat bahkan untuk ini. Pada tanggal 2 Februari, tentara Suriah, dibantu oleh serangan udara Rusia, memotong jalan antara Aleppo dan Turki. Pemerintah Rusia dan Suriah semakin dekat dengan menutup wilayah utara Suriah dari Turki dalam aliansinya dengan Kurdi Suriah yang telah maju dari arah timur. Ini adalah saat-saat penting perang sementara Turki dan Arab Saudi mendebatkan intervensi militer.

Sesuatu hal yang mencolok dari serangan-serangan Rusia-Suriah-Iran ini adalah respon yang bisu dari AS dan sekutunya.

Arab Saudi dan Turki tidak terkunci dalam kebijakan Barat dalam perang yang mereka pernah jalani, ketika diasumsikan bahwa sekutu-sekutu Suriah dan perwakilan mereka akan berhasil dan Assad akan pergi. Tidak hanya ini tidak terjadi, tetapi munculnya ISIS pada tahun 2014 dan kemenangannya di Irak dan Suriah menunjukkan bahwa peperangan di Suriah tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Harapan bahwa krisis ini dapat dibendung hancur tahun lalu oleh dua peristiwa: banjir pengungsi dari Suriah dan Irak yang menuju Eropa Barat dan pembantaian 130 orang oleh kelompok bersenjata dan pelaku bom bunuh diri ISIS di Paris pada tanggal 13 November tahun lalu.

Perjanjian di Munich adalah sebuah berita buruk bagi ISIS. Pihak Barat mengklaim bahwa Rusia tidak berfokus untuk menghancurkan ISIS namun terfokus untuk mendepak oposisi “moderat” yang misterius, yang dikatakan menjadi sebuah ancaman besar bagi Assad, selalu menjadi sebuah slogan propaganda. Pada kenyataannya, pesawat-pesawat Rusia menyerang semua kelompok oposisi bersenjata yang mengancam Assad. Terutama al-Nusra dan Ahrar al-Sham di timur laut, Jaish al-Islam dekat Damaskus dan ISIS di timur jauh.

Ini adalah sebuah mitos bagi pihak oposisi Suriah dan pendukung luar negeri yang mengatakan bahwa baik tentara Suriah maupun Rusia tidak memerangi ISIS. “Rusia mengatakan bahwa mereka ingin menghancurkan ISIS, tetapi mereka tidak membomnya: mereka membom opoisi moderat,” kata Menteri Luar Negeri Phillip Hammond, yang mempertahankan keyakinyannnya pada adanya sebuah faksi moderat yang kuat.

Pada kenyataannya, tentara Suria yang sekarang didukung oleh angkatan udara Rusia, telah lama menghadapi ISIS di pusat Suriah meskipun pada umumnya tanpa banyak keberhasilan. ISIS memposting video-video yang menunjukkan tentara Suriah ditembak atau dipenggal.

ISIS itu sendiri merupakan sumber yang lebih terpercaya daripada Phillip Hammond mengenai siapa yang mereka bela dalam membela kehalifahan yang mereka nyatakan sendiri, seperti yang ditunjukan dalam jumlah “operasi mati syahid” nya atau bom bunuh diri yang dilakukannya pada bulan Januari. Dalam Instagram, ISIS mengklaim 85 serangan tersebut selama sebulan, di mana 47 di antaranya dalam bentuk Vehicle Borne Explosive Devices (VBEDs) dan 38 lainnya adalah serangan individu yang menggunakan rompi peledak. Namun jumlah terbesar target serangan mereka adalah tentara Suriah, yang merupakan 18 serangan VBEDs dan 11 rompi peledak.

ISIS sekarang mulai hancur di tepian, meskipun masih jauh dari kalah. Kelompok ini lebih rentan di Suriah daripada di Irak karena mereka terlahir dari perang Irak setelah invasi tahun 2003 dan para pemimpinnya kebanyakan berasal dari Irak. Di Irak, kelompok ini mendominasi oposisi Sunni bersenjata yang melawan pemerintah dan Kurdi, sementara di Suriah, kelompok tersebut hanyalah salah satu dari beberapa gerakan, meskipun mereka yang terkuat dari gerakan-gerakan ini. Titik tinggi keberhasilannya adalah pada tahun 2014 ketika merebut Mosul, dan umumnya menyerang target-target yang paling lemah. Tapi hari ini kelompok tersebut tidak lagi dapat memenangkan kemeangan-kemengangan yang mudah. Kelompok ini menghadapi empat musuh – tentara Irak, tentara Suriah, Kurdi Irak dan Kurdi Suriah – yang semuanya menerima dukungan serangan udara yang kuat dari AS atau Rusia yang melipatgandakan kekuatan tempur mereka.

Peperangan masih jauh dari usai, namun kemungkinan pemenang dan yang kalah menjadi lebih jelas. Tidak akan adal perubahan rezim radikal di Damaskus. Pihak oposisi Arab telah gagal untuk memenangkan kekuasaan di Suriah dan pada defensif di Irak. Pihak Kurdi, di kedua negara, secara politik dan militer lebih kuat dari sebelumnya karena mereka adalah lawan yang efektif untuk ISIS, tapi, setelah mengalahkannya kaum Kurdi khawatir akan terpinggirkan.

ISIS sedang terkurung dalam wilayah yang semakin terisolasi dan dibombardir, namun juga dapat menunjukkan bahwa mereka masih merupakan kekuatan yang harus ditakuti, dengan melakukan serangan-serangan kejam di luar negeri seperti meledakkan sebuah pesawat Rusia atau pembantaian di Paris tahun lalu.

Kekuatan-kekuatan regional seperti Turki, Arab Saudi dan Qatar gagal untuk menggulingkan Assad, dan tidak mendapatkan apa dari tujuan mereka dalam perang tersebut. Iran dan koalisi pimpinannya mengarah menjadi jauh lebih berhasil. Meskipun kebijakan Presiden Obama yang hati-hati sering dikritik, ia tidak mengalami kekalahan yang nyata. Ketika Rusia memasuki perang Suriah empat bulan yang lalu, para pakar meramalkan bahwa Rusia akan menyesal, namun sekarang telah menjadi pusat yang memutuskan bagaimana perang ini akan berakhir.


- Source : www.unz.com

Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar