Tanggapan Luar Biasa Presiden terhadap Terorisme
Pada hari Kamis, para militan yang berafiliasi dengan ISIS memicu serangkaian ledakan di kota Jakarta, Indonesia, menewaskan sedikitnya dua warga sipil. Presiden Joko Widodo atau yang dikenal dengan Jokowi merespons dengan cara yang luar biasa. Rincian lebih lanjut dari The New York Times:
“Kami mengutuk tindakan-tindakan yang mengganggu keamanan publik dan mengganggu ketenangan rakyat dan menabur teror,” kata Jokowi. ...”Saya telah menginstruksikan kepala kepolisian dan Menko urusan politik, hukum dan keamanan unutk mengejar dan menangkap para pelaku dan jaringan mereka.”
“Warga tidak perlu takut dan tidak boleh dikalahkan oleh aksi-aksi terorisme ini,” tambahnya. “Saya berharap semua orang tetap tenang karena semuanya dalam keadaan terkendali.”
Pada keesokan harinya, sementara pihak berwenang meningkatkan pasukan keamanan dan anti-teror yang melakukan penggerebekan-penggerebekan, Jokowi mengunjungi lokasi serangan dan dengan setuju mengatakan bahwa situasinya telah kembali “normal”.
Apa yang membuat laproan-laporan ini penting adalah kehalusannya, dan sebagai bagian dari sebuah peredaan. Pertama, perhatikan cara Jokowi menjelaskan dampak dari serangan tersebut dengan lembut namun serius: Aksi-aksi ini mengganggu keamanan publik. Ia menekankan bahwa Indonesia tidak boleh ketakutan dan bahwa situasinya berada di bawah kendali pihak yang berwenang. Ia berfokus untuk menangkal tujuan utama dari terorisme – meneror penduduk yang lebih luas, mengacaukan situasi. “Rakyat tidak boleh takut,” katanya. (sebuah hashtag berbunyi “We Are Not Afraid” / “Kami Tidak Takut” bangkit di jejaring sosial Twitter Indonesia beberapa jam setelah serangan tersebut.)
Kemudian ada yang dihilangkan oleh Jokowi: Ia tidak menyatakan bahwa Indonesia akan berperang dengan ISIS, Islam radikal atau terorisme. Ia tidak menunjukkan bahwa masa depan Indonesia sedang dipertaruhkan. Ia tidak membunyikan peringatan-peringatan darurat.
Bandingkan respon Jokowi dan reaksi Francois Hollande terhadap serangan ISIS di Paris tahun lalu. Tiga hari setelah amukan, Presiden Prancis tersebut berdiri di hadapan Parlemen dan mentakan bahwa “Perancis sedang dalam perang.” Ia mengatakan beberapa poin yang sama dengan Jokowi, mendesak agar warga tenang dan mengekspresikan kepercayaan terhadap kemampuan pemerintah Perancis dan rakyat untuk menang melawan para pelaku penyerangan. Namun dalam menyerukan peningkatan serangan udara terhadap ISIS di Suriahh dan Irak, sebuah situasi darurat yang diperpanjang di Perancis, dan aparat nasional yang diperluas, ia menyusun pertempuran tersebut jauh lebih epik dan mengerikan daripada Presiden Indonesia:
Tidak bisa dikatakan bahwa kita terlibat dalam perang melawan negara lain, karena para pembunuh ini tidak mewakili sebuah negara. Kita berada dalam peperangan melawan terorisme jihad yang mengancam seluruh dunia, bukan hanya Perancis...
Terorisme tidak akan pernah menghancurkan Perancis karena Perancis akan menghancurkannya.
Berpanguk pada kata-kata Hollande, dan mereka menjadi kurang yakin daripada awalnya: Paris harus menghancurkan terorisme dan praktisi di luar negeri, ia tampaknya mengatakan, karena jika tidak, terorisme akan menhancurkan Republik tersebut dan membahayakan dunia.
Perlu ditekankan bahwa dua laporan ini terjadi dalam keadaan yang berbeda: Serangan di Paris menewaskan 130 warga sipil; di Jakarta hanya dua. Perancis baru saja pulih dari serangan jihad terhadap Charlie Hebdo; Indonesia tidak mengalami serangan teroris besar sejak tahun 2009. Perancis adalah anggota dari koalisi militer pimpinan AS melawan ISIS; Indonesia tidak. Di Perancis, ada 18 orang dalam satu juta orang diperkirakan sedang bertempur di Suriah dan Irak. Di Indonesia, jumlahnya diperkirakan hanya lebih satu. Dan seterusnya.
Namun Indonesia bisa dibilang memiliki kekhawatiran akan serangan teroris yang sama dengan Perancis, jika tidak lebih. Indonesia memiliki penduduk Muslim terbesar di Indonesia, dan ISIS secara agresif mencoba untuk merekrut para pendukungnya di negara ini. Seperti yang dicatat oleh rekan saya, Edward Delman, Indonesia juga memiliki sejarah panjang dan menyakitkan mengenai aktivitas jihad, yang membentang dari Darul Islam yang mendeklarasikan “negara Islam” pada tahun 1949 sampai pemboman dahsyat oleh Jamaah Islamiyah di Bali pada tahun 2002, dan seterusnya. Salah satu militan Islam yang paling terkemuka di negara ini telah berjanji setia kepada ISIS.
Namun Jokowi, yang juga seorang Muslim, menganjurkan gabungan kekuatan militer dengan “pendekatan halus” untuk ekstremisme Islam yang memanfaatkan kekuatan agama dan budaya. Langkah ini melibatkan kerjasama dengan organisasi-organisasi Islam moderat di Indonesia pada kampanye pendidikan dan kesadaran publik mengenai agama Islam dan bagaimana dapat disesatkan, dan menangani sumber sosial ekonomi terorisme. “Untuk menghadapi radikalisme dan ekstremisme, kita perlu menangani masalah kesenjangan ekonomi,” kata Jokowi kepada Kementerian Luar Negeri tak lama setelah menjadi presiden pada tahun 2014. “Saya akan berusaha untuk menyeimbangkan sisi pencegahan dengna sisi penegakan hukum dari kontraterorisme. Kami memiliki pengalaman lebih dari 20 tahun mengenai masalah ini.”
Ditanyai mengenai ISIS bagaimana ia menilai ancaman teroris di Indonesia saat ini, ia menjnawab, “Saya pikir ancaman tersebut lebih atau kurangnya semakin menurun.” (Jokowi lebih khawatir dan merupakan seorang garis keras mengenai kegiatan kriminal lainnya di negeri ini, seperti perdagangan narkoba.)
Telegram diplomatik AS yang dirilis oleh WikiLeaks merincikan upaya-upaya Jokowi untuk menempatkan teorinya dalam praktek ketika ia masih menjabat sebagai walikota Surakarta (juga dikenal dengan Solo). Salah satu telegram pada tahun 2006 mencatat bahwa kota Jawa ini telah menjadi sebuah kota perlindungan bagi kelompok Islam radikal dan sebuah tujuan berpotensi bagi Abu Bakar Ba’asyir, yang diduga sebagai pemimpin dari Jamaah Islamiyah, yang akan segera dibebaskan dari penjara. Namun walikota yang baru, yang datang ke bidang politik dari bisnis furniture, berencana untuk melakukan sesuatu mengenai hal itu:
Ia merasa optimis mengenai perekonomian kota Solo, memuji prospek lapangan kerja yang baik di pabrik-pabrik furniture dan tekstil lokal dan pendapatan per kapita yang tinggi di wilayah tersebut. Dia melihat tantangan terbesarnya dalam mendorong aktivitas investasi di Solo. “Saya tidak ingin Solo ditetapkan oleh Ba’asyir,” tegasnya. “Hanya dua atau tiga persen dari populasi yang dapat didefinisikan sebagai garis keras, sisanya adalah moderat.” Dia mencatat bahwa beberapa perusahaan asong baru-baru ini berinvestasi di Solo, termasuk Makro dan Carrefour. Jokowi juga membentuk sebuah diskusi lintas agama tak lama setelah terpilih, dan bertemu secara teratur dengan pemuka agama Kristen dan Islam lokal untuk membahas isu-isu masyarakat dan meningkatkan komunikasi antara kelompok-kelompok ini.
Sebuah telegram tahun 2009 menyarankan bahwa kampanye Jokowi telah terbukti berhasil (meskipun tidak cukup berhasil untuk membasmi ekstremisme dari wilayah tersebut; menurut pihak berwenang Indonesia, orang-orang di balik serangan di Sarinah berasal dari kelompok yang berbasis di Solo):
Walikota Joko Widodo mengatakan kepada kami bahwa ia terus melakukan upaya-upaya untuk membasmi radikalisme dan lainnya dari Solo. Jokowi mengatakan bahwa ia mengadakan rapat-rapat secara teratur dengan masyarakat Solo untuk mendidik mereka mengenai ancaman dari teroris dan ekstrimis. (Catatan... Walikota Joko Widodo telah sukses besar dalam mengembalikan hukum dan ketertiban di Solo. Hanya beberapa tahun yang lalu, ekstrimis Islam yang ganas berpatroli di jalan-jalan, menyebar kekerasan dan ancaman. Bekerja sama dengan pihak kepolisian dan berfokus pada peluang ekonomi, Joko Widodo mampu menghentikan kekerasan dan secara dramatis meningkatkan kehidupan sehari-hari di kota.)
Pendekatan Jokowi ini belum tentu yang benar, atau yang akan ia gunakan jika Indonesia mengalami serangan teroris seperti di Paris. Namun pendekatannya berfungsi sebagai pengingat bahwa ada lebih dari satu cara untuk menanggapi terorisme – bahwa ketahanan sosial dapat ditekankan seperti halnya tekad dalam dunia militer, bahwa ancaman terorisme dapat dicakup dan di-kontekstual bersama dengan berbagai ancaman lainnya yang dihadapi oleh negara.
Barack Obama menyuarakan gagasan ini dalam pidatonya di State of the Union pada hari Selasa. ISIS, presiden AS tersebut berpendapat, tidak meninmbulkan sebuah ancaman eksistensial terhadap Amerika Serikat, seperti yang disarankan oleh beberapa kritikus partai Republik:
Sementara kami berfokus untuk menghancurkan ISIS, pernyataan-pernyataan berlebihan mengatakan bahwa ini adalah Perang Dunia III. Para pejuang di belakan truk pickup dan jiwa-jiwa yang terkorupsi yang merencanakan serangan dari apartmen atau garasi mereka menimbulkan bahaya yang besar bagi warga sipil dan harus dihentikan. Namun mereka tidak mengancam keberadaan eksistensi nasional kita. Inilah cerita yang ingin diceritakan oleh ISIS; inilah jenis propaganda yang mereka gunakan untuk merekrut. Kita tidak perlu menggembar-gemborkan hal ini untuk menunjukkan bahwa kita serius, kita juga tidak perlu menjauhi sekutu-sekutu penting dengna menggemakan kebohongan bahwa ISIS merupakan perwakilan dari salah satu agama terbesar di dunia. Kita hanya perlu memanggil mereka dengan peran yang mereka sebenarnya lakukan – para pembunuh dan fanatik yang harus dibasmi, diburu dan dihancurkan.
Tulisan di atas dapat dibaca sebagai sebuah pembelaan dari kebijakan kontraterorisme Obama. Namun tulisan tersebut juga bisa dibaca sebagai meditasi bagi terorisme itu sendiri – sebuah tantangan untuk memberatkan ancaman terorisme melawan ancaman ketakutan terhadap terorisme, dan memutuskan yang mana yang sebenarnya lebih besar.
- Source : www.theatlantic.com